UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1997
TENTANG
PERADILAN MILITER
NOMOR 31 TAHUN 1997
TENTANG
PERADILAN MILITER
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa
Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945 bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman,
tenteram, dan tertib;
b. bahwa
untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut diperlukan upaya untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang mampu memberikan
pengayoman kepada masyarakat, dapat mendorong kreativitas dan peran aktif
masyarakat dalam pembangunan;
c. bahwa
salah satu upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan
kepastian hukum tersebut adalah melalui peradilan militer sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Sementara itu Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia menentukan bahwa Angkatan
Bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai
wewenang penyerahan perkara;
d. bahwa
pengaturan tentang pengadilan dan oditurat serta hukum acara pidana militer
yang selama ini berlaku dalam berbagai undang-undang sudah tidak sesuai lagi
dengan jiwa dan semangat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 20 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia serta
perkembangan hukum nasional;
e. bahwa
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia, pengadilan militer juga berwenang memerik-sa,
memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha Angkatan Bersenjata;
f. bahwa
sehubungan dengan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf
d, dan huruf e tersebut di atas dipandang perlu ditetapkan pengaturan kembali
susunan dan kekuasaan pengadilan dan oditurat di lingkungan peradilan militer,
hukum acara pidana militer, dan hukum acara tata usaha militer dalam satu
undang-undang;
Mengingat :
1. Pasal 5
ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2951);
3.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan
Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 20
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3368);
4.
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun
1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3316);
5.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran
Negara Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3344);
6.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3369);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN MILITER.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam
Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pengadilan adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan
peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi,
Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
2. Oditurat
Militer, Oditurat Militer Tinggi, Oditurat Jenderal Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia, dan Oditurat Militer Pertempuran yang selanjutnya disebut
Oditurat adalah badan di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang
melakukan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan
berdasarkan pelimpahan dari Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
3. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah Badan atau
Pejabat di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan Departemen
Pertahanan Keamanan serta badan atau pejabat lain yang berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, berwenang mengeluarkan keputusan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan pembinaan dan penggunaan Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan keamanan negara.
4. Hakim
Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut
Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada
pengadilan.
5. Hakim
Ketua adalah Hakim yang mengetuai majelis hakim dalam persidangan pengadilan.
6. Hakim
Anggota adalah Hakim yang menjadi anggota majelis hakim di persidangan
pengadilan.
7. Oditur
Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya disebut Oditur adalah
pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai
pelaksana putusan atau penetapan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan
sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
8. Oditur
Jenderal Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Oditur
Jenderal adalah penuntut umum ter-tinggi di lingkungan Angkatan Bersenjata,
pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat yang mengendalikan pelaksanaan
tugas dan wewenang Oditurat.
9. Atasan
yang Berhak Menghukum adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan hukuman disiplin menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan Undang-undang ini.
10. Perwira
Penyerah Perkara adalah perwira yang oleh atau atas dasar Undang-undang ini
mempunyai wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh
Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berada di bawah wewenang
komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di luar Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
11. Penyidik
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Penyidik adalah
Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur, yang
diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan penyidikan.
12. Penyidik
Pembantu adalah pejabat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tertentu yang
berada dan diberi wewenang khusus oleh Undang-undang ini untuk melakukan
penyidikan di kesatuannya.
13.
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan
tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang
yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang
diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang
menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu
melakukan tindak pidana itu.
14. Laporan
adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau
kewajibannya berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang
telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
15.
Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum
seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
16.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
17.
Penangkapan adalah suatu tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa
apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan
dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang
ini.
18.
Penggeledahan badan adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk
mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk
disita.
19.
Penggeledahan rumah adalah tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk
melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
20.
Penyitaan adalah serangkaian tindakan Penyidik Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda
bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan.
21.
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh
Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atas perintah Atasan yang
Berhak Menghukum, Perwira Penyerah Perkara atau Hakim Ketua atau Kepala
Pengadilan dengan keputusan/penetapannya dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam Undang-undang ini.
22.
Penyerahan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk menyerahkan
perkara pidana kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang, dengan menuntut
supaya diperiksa dan diadili dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang ini.
23.
Penutupan perkara adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak
menyerahkan perkara pidana kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum berdasarkan pertimbangan demi
kepentingan hukum atau kepentingan militer dan/atau kepentingan umum.
24.
Penghentian penuntutan adalah tindakan Perwira Penyerah Perkara untuk tidak
menyerahkan perkara pidana ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang berwenang karena tidak
terdapat cukup bukti atau perbuatannya ternyata bukan merupakan tindak pidana
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
25.
Tersangka adalah seseorang yang termasuk yustisiabel peradilan militer, yang
karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga
sebagai pelaku tindak pidana.
26. Terdakwa
adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.
27. Saksi
adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
28.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri, dengan menyebut alasan dari pengetahuannya
itu.
29.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.
30.
Penasihat hukum adalah seseorang yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, memenuhi persyaratan untuk memberikan bantuan
hukum menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.
31.
Rehabilitasi adalah hak Terdakwa untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya dalam hal Terdakwa diputus
oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang putusannya bukan pemidanaan menurut cara yang
diatur dalam Undang-undang ini.
32.
Terpidana adalah seorang yang dipidana berdasarkan putusan Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
33. Tata
Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Tata
Usaha Angkatan Bersenjata adalah administrasi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pembinaan dan
penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta pengelolaan pertahanan
keamanan negara.
34.
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya
disebut Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia yang berisi tindakan hukum berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan berkaitan dengan penyelenggaraan
pembinaan dan penggunaan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia serta
pengelolaan pertahanan keamanan negara di bidang personel, materiil, fasilitas
dan jasa yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi orang atau badan hukum perdata.
35. Sengketa
Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata adalah sengketa yang timbul dalam
bidang Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.
36. Gugatan
adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan diajukan kepada Pengadilan Militer
Tinggi untuk mendapatkan putusan.
37.
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang menggugat Tergugat.
38. Tergugat
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
39.
Penetapan adalah Keputusan Hakim Ketua atau Kepala Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer, baik di dalam maupun di luar sidang, mengenai perkara pidana
atau perkara Tata Usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang bukan
merupakan putusan akhir.
40. Ganti
rugi adalah hak seseorang yang menjadi korban dari tindak pidana yang langsung
atau tidak langsung mendapat kerugian, untuk mendapat pemenuhan atas
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang menurut cara yang diatur dalam
Undang-undang ini.
41. Upaya
hukum adalah:
a. dalam
Hukum Acara Pidana Militer, hak terdakwa atau Oditur untuk tidak menerima
putusan pengadilan tingkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir atau
tingkat banding atau tingkat kasasi yang berupa perlawanan atau banding atau
kasasi atau hak terpidana atau ahli warisnya atau Oditur untuk mengajukan
permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini;
b. dalam
Hukum Acara Tata Usaha Militer, tergugat atau penggugat untuk tidak menerima
putusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding atau tingkat kasasi
yang berupa banding atau kasasi, atau permohonan peninjauan kembali putusan
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap serta hak pihak ketiga untuk
mengajukan perlawanan pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
42. Prajurit
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Prajurit adalah
warga negara yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk
mengabdikan diri dalam usaha pembelaan negara dengan menyandang senjata, rela
berkorban jiwa raga, dan berperan serta dalam pembangunan nasional serta tunduk
kepada hukum militer.
43. Angkatan
Bersenjata adalah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
44. Menteri
adalah Menteri Pertahanan Keamanan Republik Indonesia.
45. Panglima
adalah Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Pasal 2
Tidak
termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata menurut
Undang-undang ini:
a. Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan dalam bidang operasi militer;
c. Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digunakan di bidang keuangan dan
perbendaharaan;
d. Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau
ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana, hukum
pidana militer, dan hukum disiplin prajurit;
f. Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
g. Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang masih memerlukan persetujuan.
Pasal 3
(1) Apabila
Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan keputusan,
sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, hal tersebut disamakan dengan Keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
(2) Apabila
suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata tidak mengeluarkan keputusan
yang dimohon, sedangkan tenggang waktu sebagaimana ditentukan dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan dimaksud sudah lewat, Badan atau Pejabat Tata
Usaha Angkatan Bersenjata tersebut dianggap sudah menolak mengeluarkan
keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam
hal ketentuan peraturan perundang-undangan yang ber-sangkutan tidak menentukan
tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesudah lewat tenggang waktu
4 (empat) bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dianggap sudah mengeluarkan keputusan
penolakan.
Pasal 4
Pengadilan
Militer Tinggi tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Angkatan Bersenjata tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan
itu dikeluarkan:
a. dalam
waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang
membahayakan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam
keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 5
(1)
Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan
Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
(2) Oditurat
merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan
dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari
Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan
negara.
Bagian Ketiga
Pembinaan
Pasal 6
Pembinaan
teknis pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dilakukan oleh Mahkamah
Agung.
Pasal 7
(1)
Pembinaan organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan
Pengadilan dan Oditurat dilakukan oleh Panglima.
(2)
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan
hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
BAB II
SUSUNAN DAN KEKUASAAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 8
(1)
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana
kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata.
(2)
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.
Pasal 9
Pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak
pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang
berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota
suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap
sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang
yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas
keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2.
Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3.
Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan
atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh
tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara
tersebut dalam satu putusan.
Pasal 10
Pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh
mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. tempat
kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b.
terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Pasal 11
Apabila
lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan
syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih
dahulu harus mengadili perkara tersebut.
Bagian Kedua
Susunan Pengadilan
Pasal 12
Pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari:
a.
Pengadilan Militer;
b.
Pengadilan Militer Tinggi;
c.
Pengadilan Militer Utama; dan
d.
Pengadilan Militer Pertempuran.
Pasal 13
Susunan
organisasi dan prosedur Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Nama, Tempat
Kedudukan, dan Daerah Hukum
Pasal 14
(1) Tempat
kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia
yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Nama,
tempat kedudukan, dan daerah hukum pengadilan lainnya ditetapkan dengan
Keputusan Panglima.
(3) Apabila
perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar
tempat kedudukannya.
(4) Apabila
perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar
daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.
Bagian Keempat
Susunan Persidangan
Pasal 15
(1)
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan
memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dan
2 (dua) orang Hakim Anggota yang dihadiri 1 (satu) orang Oditur Militer/ Oditur
Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(2)
Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat pertama dengan 1 (satu)
orang Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang
Panitera.
(3)
Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk
memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang
Hakim Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang
Panitera.
(4)
Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara sengketa
Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang Hakim
Ketua dan 2 (dua) orang Hakim Anggota yang dibantu 1 (satu) orang Panitera.
Pasal 16
(1) Hakim
Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Mayor,
sedangkan Hakim Anggota dan Oditur Militer paling rendah berpangkat Kapten.
(2) Hakim
Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat
Kolonel, sedangkan Hakim Anggota dan Oditur Militer Tinggi paling rendah
berpangkat Letnan Kolonel.
(3) Hakim
Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat
Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/ Marsekal Pertama, sedangkan Hakim Anggota
paling rendah berpangkat Kolonel.
(4) Hakim
Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan Hakim
Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling rendah berpangkat setingkat
lebih tinggi dari pada pangkat Terdakwa yang diadili.
(5) Dalam
hal Terdakwanya berpangkat Kolonel, Hakim Anggota, dan Oditur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat
Terdakwa dan dalam hal Terdakwanya perwira tinggi Hakim Ketua, Hakim Anggota
dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah ber-pangkat
setingkat dengan pangkat Terdakwa.
(6)
Kepangkatan Panitera dalam persidangan:
a.
Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua dan paling
tinggi berpangkat Kapten;
b.
Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat Kapten dan paling tinggi
berpangkat Mayor;
c.
Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Mayor dan paling tinggi
berpangkat Kolonel.
Pasal 17
(1)
Pengadilan Militer Pertempuran bersidang untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara pidana dengan 1 (satu) orang Hakim Ketua dengan beberapa Hakim Anggota
yang keseluruhannya selalu berjumlah ganjil, yang dihadiri 1 (satu) orang
Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.
(2) Hakim
Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Pertempuran paling rendah berpangkat
Letnan Kolonel, sedangkan Hakim Anggota dan Oditur paling rendah berpangkat
Mayor.
(3) Dalam
hal Terdakwanya berpangkat Letnan Kolonel, Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat setingkat dengan pangkat
Terdakwa yang diadili.
(4) Dalam
hal Terdakwanya berpangkat Kolonel dan/atau perwira tinggi, Hakim Ketua, Hakim Anggota,
dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah berpangkat
setingkat dengan pangkat Terdakwa yang diadili.
Bagian Kelima
Ketentuan bagi Pejabat
Pasal 18
Untuk dapat
diangkat menjadi Hakim Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan
taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak
terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling
rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 19
Untuk dapat
diangkat menjadi Hakim Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan
taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak
terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling
rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 20
Untuk dapat
diangkat menjadi Hakim Militer Utama, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan
taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak
terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling
rendah berpangkat Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai Oditur Militer Tinggi;
dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 21
Hakim
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 22
Sebelum
memangku jabatannya, Hakim wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya
sebagai berikut:
"Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun
juga".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar
1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti
selayaknya bagi seorang Hakim Militer/Hakim Militer Tinggi/Hakim Militer Utama
yang ber-budi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 23
Hakim
dilarang merangkap pekerjaan sebagai:
a. pelaksana
putusan pengadilan;
b. penasihat
hukum;
c.
pengusaha; atau
d. pekerjaan
lain selain tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 24
(1) Hakim
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. alih
jabatan;
b.
permintaan sendiri;
c. sakit
jasmani atau rohani terus-menerus;
d. menjalani
masa pensiun; atau
e. ternyata
tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Hakim
yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya.
Pasal 25
(1) Hakim
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana karena bersalah
melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan
kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar sumpah atau janji
jabatannya; atau
e. melanggar larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23.
(2)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat, dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e dilakukan sesudah
yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan susunan dan tata
kerja Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panglima sesudah mendengar pertimbangan
Kepala Pengadilan Militer Utama.
Pasal 26
Hakim sebelum
diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 27
Apabila
terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan dan yang diikuti dengan
penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan sementara dari
jabatannya.
Pasal 28
Ketentuan
mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25,
dan Pasal 26 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 29
Panitera
diangkat dan diberhentikan oleh Panglima.
Pasal 30
Sebelum
memangku jabatannya, Panitera wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agamanya sebagai berikut:
"Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun
juga".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar
1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti
selayaknya bagi seorang Panitera yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan".
Pasal 31
Untuk dapat
diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer, seorang Prajurit harus
memenuhi syarat:
a. sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a dan Pasal
18 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f;
b. berijazah
paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas; dan
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun di bidang administrasi
peradilan.
Pasal 32
Untuk dapat
diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer Tinggi, seorang Prajurit
harus memenuhi syarat:
a. sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf b dan Pasal
19 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f;
b. berijazah
paling rendah Sarjana Hukum; dan
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera pada Pengadilan
Militer.
Pasal 33
Untuk dapat
diangkat menjadi Panitera pada Pengadilan Militer Utama, seorang Prajurit harus
memenuhi syarat:
a. sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf c dan Pasal
20 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f;
b. berijazah
Sarjana Hukum; dan
c.
berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera pada Pengadilan
Militer Tinggi.
Pasal 34
Panitera
dilarang merangkap pekerjaan sebagai:
a. pelaksana
putusan pengadilan;
b. penasihat
hukum;
c.
pengusaha; atau
d. pekerjaan
lain selain tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 35
(1) Panitera
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. alih
jabatan;
b.
permintaan sendiri;
c. sakit
jasmani atau rohani terus-menerus;
d. menjalani
masa pensiun; atau
e. ternyata
tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Panitera
yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari
jabatannya.
Pasal 36
Panitera
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan
perbuatan tercela;
c.
terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar
sumpah atau janji jabatannya; atau
e. melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34.
Pasal 37
Ketentuan
mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal
36 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 38
(1) Panitera
bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan membantu Hakim dengan
mengikuti serta mencatat jalannya sidang.
(2) Panitera
wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di kepaniteraan.
(3) Panitera
bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, putusan, dokumen, akta, buku
daftar, surat-surat berharga dan surat-surat lainnya, biaya perkara, uang
titipan pihak ketiga, serta barang bukti yang semuanya disimpan di
kepaniteraan.
Pasal 39
Semua
daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak boleh dibawa
ke luar ruang kerja kepaniteraan, kecuali atas izin Kepala Pengadilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Keenam
Kekuasaan Pengadilan
Paragraf 1
Kekuasaan Pengadilan Militer
Pasal 40
Kekuasaan Pengadilan
Paragraf 1
Kekuasaan Pengadilan Militer
Pasal 40
Pengadilan
Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang
Terdakwanya adalah:
a. Prajurit
yang berpangkat Kapten ke bawah;
b. mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya
"termasuk tingkat kepangkatan" Kapten ke bawah; dan
c. mereka
yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer.
Paragraf 2
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi
Pasal 41
Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi
Pasal 41
(1)
Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama:
a. memeriksa
dan memutus perkara pidana yang Terdakwanya adalah:
1) Prajurit
atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya
atau salah satu Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke
atas; dan
3) mereka
yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer
Tinggi;
b.
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
(2)
Pengadilan Militer Tinggi memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara
pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang
dimintakan banding.
(3)
Pengadilan Militer Tinggi memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
Paragraf 3
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama
Pasal 42
Kekuasaan Pengadilan Militer Utama
Pasal 42
Pengadilan
Militer Utama memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah diputus pada tingkat pertama
oleh Pengadilan Militer Tinggi yang dimintakan banding.
Pasal 43
(1)
Pengadilan Militer Utama memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua
sengketa tentang wewenang mengadili:
a. antar
Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi
yang berlainan;
b. antar
Pengadilan Militer Tinggi; dan
c. antara
Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
(2) Sengketa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi:
a. apabila 2
(dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara
yang sama;
b. apabila 2
(dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili
perkara yang sama.
(3)
Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah
Perkara dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.
Pasal 44
(1)
Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap:
a.
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan
Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya
masing-masing;
b. tingkah
laku dan perbuatan para Hakim dalam menjalankan tugasnya.
(2)
Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer, Pengadilan
Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
(3)
Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang
dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan
Pengadilan Militer Pertempuran.
(4)
Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) tidak mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
(5)
Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kasasi, peninjauan
kembali, dan grasi kepada Mahkamah Agung.
Paragraf 4
Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran
Pasal 45
Pengadilan Militer
Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara
pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di
daerah pertempuran.
Pasal 46
Pengadilan
Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan
serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
BAB III
SUSUNAN DAN KEKUASAAN ODITURAT
Bagian Pertama
Umum
Pasal 47
(1) Oditurat
melaksanakan kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan
di lingkungan Angkatan Bersenjata sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(2) Oditurat
adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan.
Pasal 48
Pembinaan
teknis yustisial dan pengawasan bagi Oditurat dilakukan oleh Oditur Jenderal.
Bagian Kedua
Susunan Oditurat
Pasal 49
(1) Oditurat
terdiri dari:
a. Oditurat
Militer;
b. Oditurat
Militer Tinggi;
c. Oditurat
Jenderal; dan
d. Oditurat
Militer Pertempuran.
(2) Dalam
daerah hukum Oditurat Militer dapat dibentuk unit pelaksana teknis Oditurat
Militer sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 50
Susunan
organisasi dan prosedur Oditurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditetapkan
dengan Keputusan Panglima.
Bagian Ketiga
Nama, Tempat Kedudukan, dan Daerah Hukum
Pasal 51
(1) Tempat
kedudukan Oditurat Jenderal berada di Ibukota Negara Republik Indonesia dan
daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Nama,
tempat kedudukan, dan daerah hukum Oditurat Militer, dan Oditurat Militer
Tinggi ditetapkan dengan Keputusan Panglima.
(3) Oditurat
Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan berkedudukan
serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
Bagian Keempat
Ketentuan bagi Pejabat
Pasal 52
Untuk dapat
diangkat menjadi Oditur Militer, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan
taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak
terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling
rendah berpangkat Kapten dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 53
Untuk dapat
diangkat menjadi Oditur Militer Tinggi, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan
taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak
terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. paling
rendah berpangkat Letnan Kolonel dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 54
Untuk dapat
diangkat menjadi Oditur Jenderal, seorang Prajurit harus memenuhi syarat:
a. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. setia dan
taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
c. tidak
terlibat partai atau organisasi terlarang;
d. perwira
tinggi dan berijazah Sarjana Hukum;
e.
berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum; dan
f.
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
Pasal 55
Oditur dan
Oditur Jenderal diangkat dan diberhentikan oleh Panglima.
Pasal 56
Sebelum
memangku jabatannya, Oditur dan Oditur Jenderal wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya sebagai berikut:
"Saya
bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan
saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara
apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun
juga".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung
dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar
1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia".
"Saya
bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini
dengan jujur, saksama, dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku
dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti
selayaknya bagi seorang Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi/Oditur Jenderal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berbudi baik dan jujur dalam
menegakkan hukum dan keadilan".
Pasal 57
(1) Oditur
dan Oditur Jenderal adalah pejabat fungsional yang dalam melakukan penuntutan
bertindak untuk dan atas nama masyarakat, pemerintah, dan negara serta
bertanggung jawab menurut saluran hirarki.
(2) Oditur
melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah
"Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
(3) Dalam
melakukan penuntutan Oditur senantiasa mengindahkan norma keagamaan,
kemanusiaan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan
yang hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan pertahanan
keamanan negara.
Pasal 58
Oditur dan
Oditur Jenderal dilarang merangkap pekerjaan sebagai:
a. penasihat
hukum;
b.
pengusaha; atau
c. pekerjaan
lain selain tersebut pada huruf a dan huruf b yang diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Panglima.
Pasal 59
(1) Oditur
dan Oditur Jenderal diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena:
a. alih
jabatan;
b.
permintaan sendiri;
c. sakit
jasmani atau rohani terus-menerus;
d. menjalani
masa pensiun; atau
e. ternyata
tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Oditur
dan Oditur Jenderal yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya.
Pasal 60
(1) Oditur
dan Oditur Jenderal diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya karena:
a. dipidana
karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan
perbuatan tercela;
c. terus
menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas jabatannya;
d. melanggar
sumpah atau janji jabatannya; atau
e. melanggar
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(2)
Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat, dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d dan huruf e dilakukan sesudah
yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Oditur.
(3)
Pembentukan susunan dan tata kerja Majelis Kehormatan Oditur serta tata cara
pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Panglima
sesudah mendengar pertimbangan Oditur Jenderal.
Pasal 61
Oditur dan
Oditur Jenderal sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 62
Apabila
terhadap seorang Oditur dan Oditur Jenderal ada perintah penangkapan dan yang
diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Oditur dan Oditur Jenderal tersebut
diberhentikan sementara dari jabatannya.
Pasal 63
Ketentuan
mengenai tata cara pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60,
dan Pasal 61 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Bagian Kelima
Kekuasaan Oditurat
Paragraf 1
Kekuasaan Oditurat Militer
Pasal 64
(1) Oditurat
Militer mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan
penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya:
1) Prajurit
yang berpangkat Kapten ke bawah;
2) mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya
"termasuk tingkat kepangkatan" Kapten ke bawah;
3) mereka
yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer;
b.
melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;
c. melakukan
pemeriksaan tambahan.
(2) Selain
mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat
Militer dapat melakukan penyidikan.
Paragraf 2
Kekuasaan Oditurat Militer Tinggi
Pasal 65
(1) Oditurat
Militer Tinggi mempunyai tugas dan wewenang :
a. melakukan
penuntutan dalam perkara pidana yang Terdakwanya adalah:
1) Prajurit
atau salah satu Prajuritnya berpangkat Mayor ke atas;
2) mereka
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang Terdakwanya
atau salah satu Terdakwanya "termasuk tingkat kepangkatan" Mayor ke
atas; dan
3) mereka
yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Pengadilan Militer
Tinggi;
b. melaksanakan
penetapan Hakim atau putusan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum;
c. melakukan
pemeriksaan tambahan.
(2) Selain
mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat Militer
Tinggi dapat melakukan penyidikan.
Paragraf 3
Kekuasaan Oditurat Jenderal
Pasal 66
Oditurat
Jenderal mempunyai tugas dan wewenang:
a. membina,
mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat;
b.
menyelenggarakan pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan penegakan serta
kebijaksanaan pemidanaan; dan
c. dalam
rangka penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan perkara tindak pidana tertentu
yang acaranya diatur secara khusus, mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan
Agung, Polisi Militer, dan badan penegak hukum lain.
Pasal 67
Oditur
Jenderal mempunyai tugas dan wewenang:
a. selaku
pimpinan dan penanggung jawab tertinggi Oditurat, mengendalikan pelaksanaan
tugas dalam bidang penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata;
b.
mengendalikan dan mengawasi penggunaan wewenang penyidikan, penyerahan perkara,
dan penuntutan di lingkungan Angkatan Bersenjata;
c.
menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal
pidana mati, permohonan atau rencana pemberian amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi; dan
d.
melaksanakan tugas khusus dari Panglima sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf 4
Kekuasaan Oditurat Militer Pertempuran
Pasal 68
(1) Oditurat
Militer Pertempuran mempunyai tugas dan wewenang:
a. melakukan
penuntutan dalam perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 angka 1;
b.
melaksanakan penetapan Hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran.
(2) Selain
mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditurat
Militer Pertempuran dapat melakukan penyidikan sejak awal tanpa perintah Oditur
Jenderal dalam hal ada perintah langsung dari Panglima atau Komandan Komando
Operasi Pertempuran.
BAB IV
HUKUM ACARA PIDANA MILITER
Bagian Pertama
Penyidikan
Paragraf 1
Penyidik dan Penyidik Pembantu
Pasal 69
HUKUM ACARA PIDANA MILITER
Bagian Pertama
Penyidikan
Paragraf 1
Penyidik dan Penyidik Pembantu
Pasal 69
(1) Penyidik
adalah:
a. Atasan
yang Berhak Menghukum;
b. Polisi
Militer; dan
c. Oditur.
(2) Penyidik
Pembantu adalah:
a. Provos
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat;
b. Provos
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut;
c. Provos
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara; dan
d. Provos
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 70
Persyaratan,
pengangkatan, dan pemberhentian Penyidik dan Penyidik Pembantu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Panglima.
Pasal 71
(1) Penyidik
dalam melakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa yang diduga merupakan
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau diduga sebagai Tersangka,
mempunyai wewenang:
a. menerima
laporan atau pengaduan dari seseorang tentang terjadinya suatu peristiwa yang
diduga merupakan tindak pidana;
b. melakukan
tindakan pertama pada saat dan di tempat kejadian;
c. mencari
keterangan dan barang bukti;
d. menyuruh
berhenti seseorang yang diduga sebagai Tersangka dan memeriksa tanda
pengenalnya;
e. melakukan
penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat;
f. mengambil
sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil
seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai Tersangka atau Saksi;
h. meminta
bantuan pemeriksaan seorang ahli atau mendatangkan orang ahli yang diperlukan
dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; dan
i.
mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Selain
mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c, juga mempunyai wewenang:
a.
melaksanakan perintah Atasan yang Berhak Menghukum untuk melakukan penahanan
Tersangka; dan
b.
melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Atasan yang Berhak Menghukum.
Pasal 72
(1) Penyidik
membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 dengan tidak mengurangi ketentuan lain dalam Undang-undang ini.
(2) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c menyerahkan
berkas perkara hasil penyidikannya kepada Perwira Penyerah Perkara, Atasan yang
Berhak Menghukum, dan Oditur sebagai penuntut umum.
(3)
Penyerahan berkas perkara kepada Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
harus disertai penyerahan tanggung jawab atas Tersangka dan barang bukti.
Pasal 73
Penyidik
Pembantu mempunyai wewenang yang sama dengan wewenang Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 terhadap tindak pidana yang terjadi di
kesatuannya, kecuali dalam hal pemberkasan dan penyerahan berkas perkara kepada
Oditurat.
Pasal 74
Atasan yang
Berhak Menghukum mempunyai wewenang:
a. melakukan
penyidikan terhadap Prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya
yang pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69
ayat (1) huruf b atau huruf c;
b. menerima
laporan pelaksanaan penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf b atau huruf c;
c. menerima
berkas perkara hasil penyidikan dari Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 ayat (1) huruf b atau huruf c; dan
d. melakukan
penahanan terhadap Tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang
komandonya.
Paragraf 2
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 75
Penangkapan dan Penahanan
Pasal 75
(1) Untuk
kepentingan penyidikan, Penyidik berwenang melakukan penangkapan.
(2)
Penangkapan terhadap Tersangka di luar tempat kedudukan Atasan yang Berhak
Menghukum yang langsung membawahkannya dapat dilakukan oleh penyidik setempat
di tempat Tersangka ditemukan, berdasarkan permintaan dari Penyidik yang
menangani perkaranya.
(3)
Pelaksanaan penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan surat perintah.
Pasal 76
(1) Perintah
penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
(2) Terhadap
Tersangka pelaku pelanggaran tidak dapat dilakukan penangkapan, kecuali dalam
hal Tersangka sudah dipanggil secara sah 2 (dua) kali berturut-turut tidak
memenuhi panggilan tersebut tanpa alasan yang sah.
(3)
Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan
untuk paling lama 1 (satu) hari.
Pasal 77
(1)
Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh Penyidik atau anggota Polisi
Militer atau anggota bawahan Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan
dengan memperlihatkan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas
Tersangka, menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan, dan tempat ia diperiksa.
(2) Dalam
hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan Tersangka beserta barang
bukti yang ada kepada Penyidik yang terdekat.
(3) Tembusan
surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada
keluarganya segera sesudah penangkapan dilakukan.
(4) Sesudah
penangkapan dilaksanakan, Penyidik wajib segera melaporkan kepada Atasan yang
Berhak Menghukum yang bersangkutan.
Pasal 78
(1) Untuk
kepentingan penyidikan Atasan yang Berhak Menghukum dengan surat keputusannya,
berwenang melakukan penahanan Tersangka untuk paling lama 20 (dua puluh) hari.
(2) Tenggang
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan, dapat diperpanjang oleh Perwira Penyerah Perkara yang berwenang
dengan keputusannya untuk setiap kali 30 (tiga puluh) hari dan paling lama 180
(seratus delapan puluh) hari.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya Tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu
penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah dipenuhi.
(4) Sesudah
waktu 200 (dua ratus) hari, Tersangka harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi
hukum.
Pasal 79
(1)
Penahanan atau perpanjangan penahanan dilakukan terhadap Tersangka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa Tersangka akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana, atau membuat
keonaran.
(2)
Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan terhadap
Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 3 (tiga) bulan
atau lebih.
(3)
Penahanan atau perpanjangan penahanan hanya dapat dilakukan apabila persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipenuhi.
Pasal 80
(1) Penahanan
atau perpanjangan penahanan terhadap Tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal
78 ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Penyidik dengan surat perintah
berdasarkan surat keputusan penahanan atau surat keputusan perpanjangan
penahanan yang mencantumkan identitas Tersangka dan menyebutkan alasan
penahanan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta
tempat ia ditahan.
(2) Tembusan
surat perintah pelaksanaan penahanan atau perpanjangan penahanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada keluarganya.
(3)
Penahanan dilaksanakan di rumah tahanan militer atau tempat lain yang
ditentukan oleh Panglima.
Pasal 81
(1) Atas
permintaan Tersangka, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah
Perkara sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan saran Polisi Militer
atau Oditur dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan persyaratan yang
ditentukan.
(2) Karena
jabatannya, Atasan yang Berhak Menghukum atau Perwira Penyerah Perkara
sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal Tersangka
melanggar persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 3
Penggeledahan dan Penyitaan
Pasal 82
Penggeledahan dan Penyitaan
Pasal 82
Untuk
kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah,
penggeledahan pakaian, atau penggeledahan badan.
Pasal 83
(1) Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c dalam
melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2)
Pelaksanaan penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan surat perintah komandan/kepala dari Penyidik yang menangani perkara.
(3) Setiap
kali memasuki rumah harus disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dalam hal
Tersangka atau penghuni menyetujuinya, dan dalam hal Tersangka tidak hadir atau
penghuni menolak, pelaksanaan pemasukan rumah harus disaksikan oleh kepala desa
atau lurah atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang saksi.
(4)
Penggeledahan yang dilakukan di dalam kesatrian atau asrama Angkatan Bersenjata
dilakukan dengan seizin komandan/kepala kesatrian atau pimpinan asrama tersebut
dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(5) Dalam
waktu 2 (dua) hari setelah memasuki dan/atau menggeledah rumah, harus dibuat
berita acara dan salinannya disampaikan kepada penghuni, atau pemilik rumah,
atau komandan/kepala kesatrian, atau pimpinan asrama yang bersangkutan.
Pasal 84
(1) Dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak apabila Penyidik harus segera bertindak
dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat perintah penggeledahan terlebih
dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83
ayat (5), Penyidik dapat melakukan penggeledahan:
a. di
halaman rumah tempat Tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada, dan yang
ada di atasnya;
b. di setiap
tempat lain Tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada; dan
c. di tempat
tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya.
(2) Dalam
hal Penyidik melakukan penggeledahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku, dan tulisan lain
yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang
bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan atau diduga telah dipergunakan
untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkannya
kepada Atasan yang Berhak Menghukum yang bersangkutan.
Pasal 85
Kecuali
dalam hal tertangkap tangan, Penyidik dilarang memasuki:
a. ruang
yang di dalamnya sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. tempat
yang di dalamnya sedang berlangsung ibadah atau upacara keagamaan;
c. ruang
yang di dalamnya sedang berlangsung sidang pengadilan;
d. tempat di
lingkungan Angkatan Bersenjata yang berdasarkan kepentingan pertahanan keamanan
negara tidak bebas dimasuki.
Pasal 86
(1) Pada
waktu menangkap Tersangka, Penyidik atau anggota Polisi Militer atas perintah
Penyidik berwenang menggeledah pakaian, termasuk benda yang dibawanya.
(2)
Pelaksanaan penggeledahan badan Tersangka hanya dapat dilakukan oleh Penyidik.
Pasal 87
(1) Untuk
kepentingan penyidikan, Penyidik dapat melakukan penyitaan.
(2)
Pelaksanaan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat
perintah.
(3) Dalam
keadaan yang sangat perlu dan mendesak apabila Penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat perintah penyitaan terlebih dahulu, tanpa
mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyidik dapat
melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera
melaporkannya kepada atasan Penyidik yang berwenang mengeluarkan surat perintah
penyitaan untuk memperoleh persetujuannya.
Pasal 88
(1) Yang
dapat dikenakan penyitaan adalah:
a. benda
atau tagihan Tersangka seluruh atau sebagian yang diduga diperoleh dari tindak
pidana atau sebagai hasil tindak pidana;
b. benda
yang sudah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya;
c. benda
yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
d. benda
yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana; atau
e. benda
lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2) Benda
yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga
disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara pidana
sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 89
Dalam hal
tertangkap tangan Penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang
patut diduga sudah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain
yang dapat dipakai sebagai barang bukti.
Pasal 90
Dalam hal
tertangkap tangan, Penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang
pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan
telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang
paket atau surat atau benda tersebut diperuntukkan bagi Tersangka atau yang
berasal dari padanya dan untuk itu kepada Tersangka dan/atau kepada pejabat
kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.
Pasal 91
(1) Penyidik
berwenang memerintahkan orang yang menguasai benda yang dapat disita supaya
menyerahkan benda tersebut kepadanya untuk kepentingan pemeriksaan dan kepada yang
menyerahkan benda itu harus diberikan surat tanda penerimaan.
(2) Surat
atau tulisan lain hanya dapat diperintahkan untuk diserahkan kepada Penyidik
apabila surat atau tulisan itu berasal dari Tersangka atau ditujukan kepadanya
atau kepunyaannya atau diperuntukkan baginya atau apabila benda tersebut
merupakan alat untuk melakukan tindak pidana.
Pasal 92
Penyitaan
surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang
untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat
dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus Kepala Pengadilan yang
berwenang, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 93
(1) Benda
sitaan negara disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara dalam
lingkungan peradilan militer.
(2)
Penyimpanan benda sitaan negara dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung
jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan
dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh
siapapun juga.
(3) Rumah
penyimpanan benda sitaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 94
(1) Dalam
hal benda sitaan terdiri dari benda yang dapat lekas rusak atau yang
membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan Pengadilan
terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau apabila
biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi, sejauh mungkin
dengan persetujuan Tersangka atau kuasanya dapat diambil tindakan sebagai
berikut:
a. apabila
perkara masih ada di tangan Penyidik atau Oditur, benda tersebut dapat dijual
lelang atau dapat diamankan oleh Penyidik atau Oditur dengan disaksikan oleh
Tersangka atau kuasanya;
b. apabila
perkara sudah ada di tangan Pengadilan, benda ter-sebut dapat diamankan atau
dijual lelang oleh Oditur atas izin Hakim yang menyidangkan perkaranya dan
disaksikan oleh Terdakwa atau kuasanya.
(2) Uang
hasil penjualan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipakai sebagai
barang bukti.
(3) Guna
kepentingan pembuktian sedapat mungkin disisihkan sebagian kecil dari benda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Benda
sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, dirampas untuk
dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan.
Pasal 95
(1) Benda
yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari
siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak
apabila:
a.
kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. perkara
tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak
merupakan tindak pidana; atau
c. perkara
tersebut ditutup demi kepentingan umum, kepentingan militer atau kepentingan
hukum, kecuali apabila benda itu diduga diperoleh dari suatu tindak pidana atau
yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.
(2) Apabila
perkara sudah diputus, benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang
atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali apabila menurut
putusan Hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk
dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau apabila benda tersebut
masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.
Paragraf 4
Pemeriksaan Surat
Pasal 96
Pemeriksaan Surat
Pasal 96
(1) Penyidik
berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat lain yang dikirim melalui kantor
pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau jawatan atau
pengangkutan apabila benda tersebut dicurigai dengan alasan yang kuat mempunyai
hubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
(2) Untuk
kepentingan tersebut Penyidik dapat meminta kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau per-usahaan komunikasi atau pengangkutan
lain untuk menyerahkan kepadanya surat yang dimaksud dan untuk itu harus
diberikan surat tanda penerimaan.
(3) Hal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan menurut ketentuan yang diatur pada
ayat tersebut.
Pasal 97
(1) Apabila
sesudah dibuka dan diperiksa, ternyata bahwa surat itu ada hubungannya dengan
perkara yang sedang diperiksa, surat tersebut dilampirkan pada berkas perkara.
(2) Apabila
sesudah diperiksa, ternyata surat itu tidak ada hubungannya dengan perkara
tersebut, surat itu ditutup rapi dan segera diserahkan kembali kepada kantor
pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau jawatan atau
perusahaan pengangkutan lain sesudah dibubuhi cap yang berbunyi "sudah
dibuka oleh Penyidik" dengan dibubuhi tanggal, tanda tangan beserta
identitas Penyidik.
(3) Penyidik
dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan atas
kekuatan sumpah jabatan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh isi surat
yang dikembalikan.
Pasal 98
(1) Penyidik
membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dan
Pasal 97.
(2) Salinan
berita acara tersebut oleh Penyidik dikirimkan kepada kepala kantor pos dan
telekomunikasi, kepala jawatan atau perusahaan komunikasi, atau kepala jawatan
atau perusahaan pengangkutan yang bersangkutan.
Paragraf 5
Pelaksanaan Penyidikan
Pasal 99
Pelaksanaan Penyidikan
Pasal 99
(1) Penyidik
yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu
peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan
tindakan penyidikan yang diperlukan.
(2) Dalam
hal yang menerima laporan atau pengaduan adalah Atasan yang Berhak Menghukum,
ia segera menyerahkan pelaksanaan penyidikan kepada Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b atau huruf c untuk melakukan
penyidikan.
(3) Dalam
hal yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b
atau huruf c, mereka wajib melakukan penyidikan dan segera melaporkannya kepada
Atasan yang Berhak Menghukum Tersangka.
Pasal 100
(1) Setiap
orang yang menjadi korban atau yang mengalami atau menyaksikan atau melihat
dan/atau mendengar secara langsung tentang terjadinya tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 berhak
mengajukan laporan atau pengaduan kepada Penyidik baik lisan maupun tertulis.
(2) Setiap
orang yang mengetahui permufakatan jahat yang dilakukan oleh seseorang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 untuk melakukan tindak pidana
terhadap ketenteraman umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik, wajib
seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada Penyidik atau atasan yang
berwenang.
(3) Sesudah
menerima laporan, Penyidik harus membuat surat tanda terima laporan atau
pengaduan, diberikan kepada yang bersangkutan dengan ditandatangani oleh
pelapor dan penerima laporan.
Pasal 101
(1) Penyidik
sesudah selesai melakukan penyidikan wajib segera menyerahkan berkas perkara
itu kepada Atasan yang Berhak Menghukum, Perwira Penyerah Perkara, dan berkas
aslinya kepada Oditur yang bersangkutan.
(2) Perwira
Penyerah Perkara dapat menghentikan penyidikan dengan surat keputusan
berdasarkan pendapat hukum dari Oditur.
Pasal 102
(1) Dalam
hal tertangkap tangan setiap orang berhak menangkap, sedangkan setiap orang
yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum
wajib menangkap Tersangka guna diserahkan langsung kepada Penyidik.
(2) Sesudah
menerima penyerahan Tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik
wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain yang diperlukan dalam
rangka penyidikan.
(3) Sesudah
menerima laporan tersebut, Penyidik segera datang ke tempat kejadian dan dapat
melarang setiap orang meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan belum selesai.
(4)
Pelanggar larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dipaksa tinggal di
tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai.
Pasal 103
(1) Penyidik
yang melakukan penyidikan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas,
berwenang memanggil Tersangka dan Saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa
dengan surat panggilan yang sah, dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar
antara diterimanya surat panggilan dan tanggal seseorang diharuskan memenuhi
panggilan tersebut.
(2) Orang
yang dipanggil wajib datang kepada Penyidik dan apabila ia tidak datang,
Penyidik memanggil sekali lagi.
(3) Apabila
panggilan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipenuhi, Penyidik
memerintahkan petugas Polisi Militer untuk membawa Tersangka atau Saksi yang
dipanggil secara paksa.
(4)
Panggilan kepada Tersangka atau Saksi Prajurit melalui komandan/kepala
kesatuan.
(5)
Komandan/kepala kesatuan wajib memerintahkan anak buahnya yang dipanggil selaku
Tersangka atau Saksi untuk datang memenuhi panggilan tersebut.
Pasal 104
Apabila
Tersangka atau Saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa
ia tidak dapat datang kepada Penyidik yang melakukan pemeriksaan, pemeriksaan
dapat dilakukan di tempat kediamannya atau di tempat lain yang ditentukan
Penyidik.
Pasal 105
Dalam hal
seorang Tersangka melakukan suatu tindak pidana, sebelum dimulainya pemeriksaan
oleh Penyidik, Penyidik wajib memberitahukan kepada Tersangka tentang haknya
untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib
didampingi oleh Penasihat Hukum.
Pasal 106
(1) Dalam
hal Penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap Tersangka, Penasihat Hukum
dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar
pemeriksaan.
(2) Dalam hal
kejahatan terhadap keamanan negara, Penasihat Hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap Tersangka.
Pasal 107
(1) Saksi
diperiksa tidak dengan disumpah kecuali apabila ada cukup alasan untuk diduga
bahwa ia tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di Pengadilan.
(2) Saksi
diperiksa secara tersendiri, tetapi boleh dipertemukan yang satu dengan yang
lain dan mereka wajib memberikan keterangan yang sebenarnya.
(3) Dalam
pemeriksaan, Tersangka ditanya apakah ia menghendaki didengarnya Saksi yang
dapat menguntungkan dirinya dan apabila ada, hal itu dicatat dalam berita
acara.
(4) Dalam
hal Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui Penyidik, Saksi tersebut
wajib dipanggil dan diperiksa.
Pasal 108
(1) Keterangan
Tersangka dan/atau Saksi kepada Penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun
dan/atau dalam bentuk apapun.
(2) Penyidik
mencatat semua keterangan Tersangka dan/atau Saksi dalam berita acara secara
teliti sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh Tersangka atau Saksi.
(3)
Keterangan Tersangka dan/atau Saksi dicatat dalam berita acara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ditandatangani oleh Penyidik dan oleh yang memberi
keterangan sesudah mereka menyetujui isinya.
(4) Dalam
hal Tersangka dan/atau Saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, Penyidik
mencatat hal itu dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
(5) Dalam
pelanggaran lalu lintas, Penyidik membuat berita acara pelanggaran lalu lintas
yang memuat jenis pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Tersangka dan
ditandatangani Penyidik dan Tersangka, selanjutnya diserahkan kepada Pengadilan
Militer/ Pengadilan Militer Tinggi melalui Oditurat Militer/Oditurat Militer
Tinggi yang berwenang.
Pasal 109
Dalam hal
Tersangka dan/atau Saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum Penyidik yang melaksanakan penyidikan,
pemeriksaan terhadap Tersangka dan/atau Saksi dapat dibebankan kepada Penyidik
di tempat kediaman atau tempat tinggal Tersangka dan/atau Saksi tersebut.
Pasal 110
(1) Dalam hal Penyidik menganggap
perlu, ia dapat meminta pendapat seorang ahli atau seorang yang memiliki
keahlian khusus.
(2) Seorang ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah atau janji di muka Penyidik bahwa ia
akan memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya, kecuali
apabila karena harkat serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan
ia menyimpan rahasia, ia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang
diminta.
Pasal 111
Penyidik
wajib segera membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana
yang dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu
tindak pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari Tersangka dan/atau Saksi,
keterangan Tersangka dan/atau Saksi, catatan mengenai akta dan/atau benda serta
segala sesuatu yang dianggap perlu untuk kepentingan penyidikan.
Pasal 112
Dalam hal
Tersangka ditahan dalam waktu 1 (satu) hari sesudah perintah penahanan itu
dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh Penyidik.
Pasal 113
(1) Penyidik membuat berita acara
tentang jalannya dan hasil penggeledahan rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
83 ayat (5).
(2) Penyidik membacakan lebih dahulu
berita acara tentang penggeledahan rumah kepada yang bersangkutan, kemudian
diberi tanggal dan ditandatangani oleh Penyidik maupun penghuni dan/atau kepala
desa atau lurah atau ketua lingkungan dengan 2 (dua) orang Saksi.
(3) Dalam hal Tersangka atau
keluarganya tidak mau membubuhkan tandatangannya, hal itu dicatat dalam berita
acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 114
(1) Untuk
keamanan dan ketertiban penggeledahan rumah, Penyidik dapat mengadakan
penjagaan atau penutupan tempat yang bersangkutan.
(2) Penyidik
berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu untuk tidak meninggalkan
tempat tersebut selama penggeledahan berlangsung.
Pasal 115
(1) Dalam
hal Penyidik melakukan penyitaan, Penyidik membuat berita acara dengan diberi
tanggal dan ditandatangani oleh Penyidik maupun orang atau keluarganya dari siapa
benda tersebut disita, dan/atau kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan
dengan 2 (dua) orang Saksi.
(2) Dalam
hal orang darimana benda tersebut disita atau keluarganya tidak mau membubuhkan
tandatangannya, hal tersebut dicatat dalam berita acara dengan menyebut
alasannya.
(3) Salinan
dari berita acara itu disampaikan oleh Penyidik kepada orang darimana benda
tersebut disita atau keluarganya dan kepala desa atau lurah.
Pasal 116
(1) Dalam
hal sesuatu tindak pidana sedemikian rupa sifatnya sehingga ada dugaan kuat
dapat diperoleh keterangan dari berbagai surat, buku atau kitab, daftar, dan
sebagainya, Penyidik segera pergi ke tempat yang dipersangkakan untuk
menggeledah, memeriksa surat, buku atau kitab, daftar, dan sebagainya dan
apabila perlu menyitanya.
(2)
Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan menurut ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115.
Pasal 117
(1) Dalam
hal diterima pengaduan bahwa suatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan
atau diduga palsu oleh Penyidik, untuk kepentingan penyidikan, oleh Penyidik
dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari seorang ahli.
(2) Dalam
hal timbul dugaan kuat bahwa ada surat palsu atau yang dipalsukan, Penyidik
dapat datang atau dapat meminta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib
dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk
dipergunakan sebagai bahan perbandingan.
(3) Dalam
hal suatu surat yang dipandang perlu untuk pemeriksaan, menjadi bagian serta
tidak dapat dipisahkan dari daftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116,
Penyidik dapat meminta supaya daftar itu seluruhnya selama waktu yang
ditentukan dalam surat permintaan dikirimkan kepadanya untuk diperiksa, dengan
menyerahkan tanda penerimaan.
(4) Dalam
hal surat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menjadi bagian dari suatu
daftar, pejabat penyimpan umum membuat salinan sebagai penggantinya sampai
surat yang asli diterima kembali yang di bagian bawah dari salinan itu pejabat
penyimpan umum mencatat apa sebab salinan itu dibuat.
(5) Dalam
hal surat atau daftar itu tidak dikirimkan dalam waktu yang ditentukan dalam
surat permintaan tanpa alasan yang sah, Penyidik berwenang mengambilnya.
(6) Semua
biaya yang dikeluarkan untuk penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dibebankan pada dan sebagai biaya
perkara.
Pasal 118
(1) Dalam
hal Penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka,
keracunan maupun mati, yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli
kedokteran kehakiman atau dokter, dan/atau ahli lainnya.
(2)
Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebut dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan/atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat
yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit
harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat
tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilak, dan diberi cap
jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain pada mayat.
Pasal 119
(1) Dalam
hal sangat diperlukan untuk keperluan pembuktian dan bedah mayat tidak mungkin
lagi dihindari, Penyidik wajib memberitahukannya terlebih dahulu kepada
keluarga korban.
(2) Dalam
hal keluarga korban keberatan, Penyidik wajib menerangkan dengan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
(3) Apabila
dalam waktu 2 (dua) hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak
yang perlu diberitahukan tidak diketemukan, Penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118.
Pasal 120
Dalam hal
Penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat,
pelaksanaannya menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2)
dan Pasal 119 ayat (1).
Pasal 121
Semua biaya
yang dikeluarkan untuk kepentingan pelaksanaan penyidikan ditanggung oleh
negara.
Bagian Kedua
Penyerahan Perkara
Pasal 122
Penyerahan Perkara
Pasal 122
(1) Perwira
Penyerah Perkara adalah:
a. Panglima;
b. Kepala
Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Kepala Staf Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut, Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara,
dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Perwira
Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk
komandan/kepala kesatuan bawahan masing-masing paling rendah setingkat dengan
Komandan Komando Resor Militer, untuk bertindak selaku Perwira Penyerah
Perkara.
Pasal 123
(1) Perwira
Penyerah Perkara mempunyai wewenang:
a.
memerintahkan Penyidik untuk melakukan penyidikan;
b. menerima
laporan tentang pelaksanaan penyidikan;
c.
memerintahkan dilakukannya upaya paksa;
d.
memperpanjang penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78;
e. menerima
atau meminta pendapat hukum dari Oditur tentang penyelesaian suatu perkara;
f.
menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan
mengadili;
g.
menentukan perkara untuk diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit; dan
h. menutup
perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer.
(2)
Kewenangan penutupan perkara demi kepentingan umum/militer hanya ada pada
Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a.
(3) Panglima
selaku Perwira Penyerah Perkara tertinggi melakukan pengawasan dan pengendalian
penggunaan wewenang penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara lainnya.
Pasal 124
(1) Oditur
sesudah menerima hasil penyidikan dari Penyidik segera mempelajari dan meneliti
apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum.
(2) Dalam
hal persyaratan formal kurang lengkap, Oditur meminta supaya Penyidik segera
melengkapinya.
(3) Apabila
hasil penyidikan ternyata belum cukup, Oditur melakukan penyidikan tambahan
untuk melengkapi atau mengembalikan berkas perkara kepada Penyidik disertai
petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.
(4) Dalam
hal berkas perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan, berita acara
pemeriksaan Tersangka tidak merupakan persyaratan lengkapnya suatu berkas
perkara.
Pasal 125
(1) Kecuali
perkara desersi yang Tersangkanya tidak diketemukan sesudah meneliti berkas
perkara, Oditur membuat dan menyampaikan pendapat hukum kepada Perwira Penyerah
Perkara yang dapat berupa permintaan agar perkara diserahkan kepada Pengadilan
atau diselesaikan menurut Hukum Disiplin Prajurit, atau ditutup demi
kepentingan hukum, kepentingan umum, atau kepentingan militer.
(2) Dalam
hal Perwira Penyerah Perkara tidak sependapat dengan Oditur, ia wajib
memberikan jawaban tertulis.
Pasal 126
(1)
Berdasarkan pendapat hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1),
Perwira Penyerah Perkara mengeluarkan:
a. Surat
Keputusan Penyerahan Perkara;
b. Surat
Keputusan tentang Penyelesaian menurut Hukum Disiplin Prajurit; atau
c. Surat
Keputusan Penutupan Perkara demi kepentingan hukum.
(2) Dalam
perkara tertentu apabila kepentingan umum atau kepentingan militer
menghendakinya, Panglima dapat mempertimbangkan suatu penutupan perkara dengan
mengeluarkan surat keputusan penutupan perkara demi kepentingan umum atau
kepentingan militer.
(3) Sebelum
mengambil keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Panglima mendengar
pendapat dari Oditur Jenderal dan apabila dipandang perlu juga dari pejabat
lain.
Pasal 127
(1) Apabila
Perwira Penyerah Perkara menentukan bahwa perkara akan diselesaikan di luar
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, sedangkan Oditur berpendapat bahwa untuk kepentingan peradilan
perkara perlu diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, dan apabila Oditur tetap pada
pendiriannya, Oditur mengajukan permohonan dengan disertai alasan-alasannya
kepada Perwira Penyerah Perkara tersebut, supaya perbedaan pendapat diputuskan
oleh Pengadilan Militer Utama dalam sidang.
(2) Perwira
Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengirimkan
permohonan Oditur tersebut dan berkas perkara yang disertai dengan pendapatnya
kepada Pengadilan Militer Utama dan sesudah mendengar pendapat Oditur Jenderal
di persidangan Pengadilan Militer Utama, dengan putusannya Hakim menyatakan
perkara tersebut diajukan atau tidak diajukan ke Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
(3) Apabila
Pengadilan Militer Utama memutuskan perkara tersebut harus diajukan ke
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera
melaksanakan penyerahan perkara tersebut sesudah menerima berkas perkara yang
bersangkutan dari Pengadilan Militer Utama.
Pasal 128
Oditur dapat
melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila
pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara
dalam hal:
a. beberapa
tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan kepentingan pemeriksaan
tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya;
b. beberapa
tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lain; atau
c. beberapa
tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, tetapi satu
dengan yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut
perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 129
Dalam hal
Oditur menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang
dilakukan oleh beberapa orang Tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, Oditur dapat melakukan penuntutan
terhadap para Terdakwa secara terpisah.
Pasal 130
(1)
Penyerahan perkara oleh Perwira Penyerah Perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 123 ayat (1) huruf f dilaksanakan oleh Oditur dengan melimpahkan berkas
perkara kepada Pengadilan yang berwenang dengan disertai surat dakwaan.
(2) Oditur
membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda-tangani serta berisi:
a. nama
lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal
lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal Terdakwa;
b. uraian
fakta secara cermat, jelas, dan lengkap, mengenai tindak pidana yang didakwakan
dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
(3) Surat
dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
b batal demi hukum.
(4) Salinan
Surat Keputusan Penyerahan Perkara dan surat dakwaan disampaikan kepada
Tersangka atau Penasihat Hukumnya pada saat yang bersamaan dengan penyampaian
Surat Keputusan Penyerahan Perkara dan surat dakwaan tersebut ke Pengadilan,
dan tembusannya disampaikan kepada Penyidik.
Pasal 131
(1) Oditur
dapat mengubah surat dakwaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang
Pengadilan pada tingkat pertama/Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dimulai
dengan tujuan untuk menyempurnakan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(2) Salinan
perubahan surat dakwaan disampaikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan
Perwira Penyerah Perkara.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan
Paragraf 1
Persiapan Persidangan
Pasal 132
Sesudah
Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menerima pelimpahan berkas perkara
dari Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi, Kepala Pengadilan Militer/Kepala
Pengadilan Militer Tinggi segera mempelajarinya, apakah perkara itu termasuk
wewenang Pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 133
(1) Dalam
hal Kepala Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi berpendapat bahwa
perkara pidana itu tidak termasuk wewenang dari Pengadilan yang dipimpinnya, ia
membuat penetapan yang memuat alasannya dan segera mengembalikan berkas perkara
tersebut kepada Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan
untuk dilimpahkan kepada Pengadilan Militer/ Pengadilan Militer Tinggi lain
yang berwenang.
(2) Oditurat
Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan menyampaikan penetapan
beserta berkas perkaranya kepada Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi di
daerah hukum Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi lain yang tercantum
dalam penetapan itu.
(3) Salinan
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Terdakwa atau
Penasihat Hukumnya dan Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang
bersangkutan.
Pasal 134
(1) Dalam
hal Oditur berkeberatan terhadap penetapan Pengadilan Militer/Pengadilan
Militer Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, ia dapat mengajukan perlawanan
kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi dalam waktu 7 (tujuh) hari
sesudah penetapan diterima.
(2) Tidak
dipenuhinya waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan batalnya
perlawanan.
(3)
Perlawanan tersebut yang memuat alasannya disampaikan melalui Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.
(4) Dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari sesudah perlawanan diterima, Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada
Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang/Pengadilan Militer Utama.
Pasal 135
(1)
Pengadilan Militer Tinggi/Pengadilan Militer Utama dalam waktu paling lambat 14
(empat belas) hari sesudah menerima perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
134 ayat (1) dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan penetapan.
(2) Dalam
hal Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menguatkan perlawanan Oditur,
Pengadilan tersebut dengan penetapannya membatalkan penetapan Pengadilan
Militer/ Pengadilan Militer Tinggi dan selanjutnya memerintahkan Pengadilan
Militer/Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan untuk menyidangkan perkara
tersebut.
(3) Apabila
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak perlawanan Oditur,
Pengadilan tersebut dengan penetapannya mengirimkan berkas perkara beserta
surat lampirannya kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi lain yang
berwenang.
(4) Salinan
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada
Oditurat Militer/Oditurat Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 136
(1) Dalam
hal Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 berpendapat bahwa suatu
perkara termasuk wewenangnya, Kepala Pengadilan tersebut menunjuk Majelis Hakim
yang akan menyidangkan perkara yang bersangkutan.
(2) Hakim
Ketua yang ditunjuk sesudah mempelajari berkas perkara menetapkan hari sidang
dan memerintahkan supaya Oditur memanggil Terdakwa dan Saksi.
Paragraf 2
Penahanan
Pasal 137
(1) Dalam
pemeriksaan sidang tingkat pertama pada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer
Tinggi, Hakim Ketua berwenang:
a. apabila
Terdakwa berada dalam tahanan sementara, wajib menetapkan apakah Terdakwa tetap
ditahan atau dikeluarkan dari tahanan sementara;
b. guna
kepentingan pemeriksaan, mengeluarkan perintah untuk menahan Terdakwa paling
lama 30 ( tiga puluh) hari.
(2) Waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh Kepala Pengadilan
Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi untuk paling lama 60 (enam puluh)
hari.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) tidak menutup
kemungkinan dikeluarkannya Terdakwa dari tahanan sebelum berakhirnya waktu
penahanan tersebut, apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(4) Sesudah
waktu 90 (sembilan puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum diputus,
Terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(5)
Penahanan/perpanjangan penahanan terhadap Terdakwa hanya dapat dikenakan
apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 79 ayat (1) dan ayat
(2).
(6)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan
ayat (5) berlaku juga pada pemeriksaan tingkat banding di Pengadilan Militer
Tinggi dan Pengadilan Militer Utama.
Pasal 138
(1)
Dikecualikan dari waktu penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137, guna
kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap Terdakwa dapat diperpanjang
berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena:
a. Terdakwa
menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter; atau
b. perkara
yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 (sembilan) tahun atau
lebih.
(2)
Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk
paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dalam hal penahanan tersebut masih
diperlukan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3)
Perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas dasar permintaan
dan laporan pemeriksaan dalam tingkat:
a.
pemeriksaan tingkat pertama yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer diberikan
oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi;
b.
pemeriksaan tingkat pertama yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Tinggi
diberikan oleh Kepala Pengadilan Militer Utama;
c.
pemeriksaan tingkat banding yang dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Tinggi
dan Pengadilan Militer Utama diberikan oleh Mahkamah Agung.
(4)
Penggunaan kewenangan perpanjangan penahanan oleh pejabat sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dan dengan penuh tanggung jawab.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menutup kemungkinan Terdakwa
dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhirnya waktu penahanan tersebut, apabila
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(6) Sesudah
waktu 60 (enam puluh) hari, walaupun perkara tersebut belum selesai diperiksa
atau belum diputus, Terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
(7) Terhadap
perpanjangan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Terdakwa dapat
mengajukan keberatan dalam pemeriksaan tingkat pertama dan dalam pemeriksaan
tingkat banding kepada Ketua Mahkamah Agung.
Paragraf 3
Pemanggilan
Pasal 139
(1)
Berdasarkan penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat
(2), Oditur mengeluarkan surat panggilan kepada Terdakwa dan Saksi yang memuat
hari, tanggal, waktu, tempat sidang, dan untuk perkara apa mereka dipanggil.
(2) Surat
panggilan harus sudah diterima oleh Terdakwa atau Saksi paling lambat 3 (tiga)
hari sebelum sidang dimulai.
Pasal 140
(1)
Pemanggilan untuk datang ke sidang Pengadilan dimaksud dalam Pasal 139
dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada:
a. Terdakwa
dan/atau Saksi Prajurit melalui Atasan yang Berhak Menghukum atau Atasan
langsungnya yang selanjutnya ia wajib memerintahkan Terdakwa dan/atau Saksi
untuk menghadap ke sidang Pengadilan;
b. Terdakwa
dan/atau Saksi Prajurit yang berada dalam tahanan karena perkara lain melalui
pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan tersebut;
c. Terdakwa
dan/atau Saksi orang sipil langsung kepada yang bersangkutan di tempat
tinggalnya atau tempat kediaman terakhir atau apabila Terdakwa dan/atau Saksi
sedang tidak ada di tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir melalui
instansi kepolisian setempat atau kepala desa atau lurah atau ketua lingkungan;
d. Terdakwa
dan/atau Saksi orang sipil yang berada dalam tahanan karena perkara lain,
melalui instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penahanan dan atas
izin pejabat yang memerintahkan penahanan tersebut.
(2) Apabila
yang dipanggil di luar negeri, pemanggilan dilakukan melalui perwakilan
Republik Indonesia di tempat orang yang dipanggil itu biasa berdiam.
(3)
Penerimaan surat panggilan oleh Terdakwa, Saksi, atau orang lain, dilakukan
dengan surat tanda terima.
(4) Atasan
yang Berhak Menghukum atau Atasan langsung Terdakwa dan/atau Saksi atau pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesudah menerima surat panggilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memerintahkan Terdakwa dan/atau Saksi
untuk menghadap ke sidang Pengadilan.
Bagian Keempat
Acara Pemeriksaan Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan dan Pembuktian
Pasal 141
(1) Pada
hari sidang yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2)
Pengadilan bersidang.
(2) Untuk
keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan sidang terbuka
untuk umum, kecuali dalam perkara kesusilaan sidang dinyatakan tertutup untuk
umum.
(3) Dalam
perkara yang menyangkut rahasia militer dan/atau rahasia negara, Hakim Ketua
dapat menyatakan sidang tertutup untuk umum.
(4) Hakim
Ketua memimpin pemeriksaan di sidang Pengadilan yang dilakukan secara lisan
dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh Terdakwa dan Saksi.
(5) Apabila
Terdakwa dan/atau Saksi tidak memahami bahasa Indonesia, bisu dan/atau tuli,
Hakim Ketua dapat menunjuk seorang juru bahasa atau penerjemah yang bersumpah
atau berjanji akan menerjemahkan dengan benar.
(6) Apabila
Terdakwa dan/atau Saksi bisu dan/atau tuli tetapi dapat menulis, pemeriksaan
terhadapnya dilakukan secara tertulis dan harus dibacakan.
(7) Dalam
hal seseorang tidak boleh menjadi Saksi dalam suatu perkara, ia tidak boleh
menjadi juru bahasa atau penerjemah.
(8) Hakim
Ketua wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang
mengakibatkan Terdakwa dan/atau Saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(9) Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat
(8) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
(10) Dalam
perkara desersi yang Terdakwanya tidak diketemukan, pemeriksaan dilaksanakan
tanpa hadirnya Terdakwa.
Pasal 142
(1) Hakim
Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil masuk ke ruang sidang, dan
dihadapkan dengan pengawalan tetapi dalam keadaan bebas.
(2) Apabila
dalam pemeriksaan Terdakwa yang tidak ditahan dan tidak hadir pada hari sidang
yang sudah ditetapkan, Hakim Ketua meneliti apakah Terdakwa sudah dipanggil
secara sah.
(3) Apabila
Terdakwa dipanggil secara tidak sah, Hakim Ketua menunda persidangan dan
memerintahkan supaya Terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada hari sidang
berikutnya.
(4) Apabila
Terdakwa ternyata sudah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang
tanpa alasan yang sah, Hakim Ketua memerintahkan supaya Terdakwa dihadirkan
secara paksa pada sidang berikutnya.
(5) Apabila
Terdakwa lebih dari 1 (satu) orang dan tidak semua hadir pada hari sidang,
pemeriksaan terhadap yang hadir dapat dilangsungkan.
(6) Panitera
mencatat laporan dari Oditur mengenai pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) kemudian menyampaikannya kepada Hakim Ketua.
Pasal 143
Perkara
tindak pidana desersi sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Militer, yang Terdakwanya melarikan diri dan tidak diketemukan lagi
dalam waktu 6 (enam) bulan berturut-turut serta sudah diupayakan pemanggilan 3
(tiga) kali berturut-turut secara sah, tetapi tidak hadir di sidang tanpa suatu
alasan, dapat dilakukan pemeriksaan dan diputus tanpa hadirnya Terdakwa.
Pasal 144
(1) Pada
permulaan sidang, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang nama lengkap,
pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal
lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal, kemudian
mengingatkan Terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan
dilihatnya di sidang.
(2) Hakim
Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang Penasihat Hukum yang akan
mendampinginya dan apabila ada, Hakim Ketua meminta surat perintah atau surat
izin tentang penunjukan Penasihat Hukumnya dan surat kuasa dari Terdakwa kepada
Penasihat Hukumnya supaya diserahkan dan apabila Penasihat Hukum ditunjuk oleh
Pengadilan, Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa tentang kesediaannya
didampingi oleh Penasihat Hukum tersebut di persidangan.
(3) Hakim
Ketua memerintahkan Oditur supaya membacakan surat dakwaan dengan berdiri dan
memerintahkan Terdakwa supaya berdiri dalam keadaan sikap sempurna.
(4) Hakim
Ketua menanyakan kepada Terdakwa apakah ia benar-benar mengerti isi surat
dakwaan itu, dan apabila Terdakwa belum mengerti atau kurang jelas, Hakim Ketua
memerintahkan supaya Oditur memberi penjelasan.
Pasal 145
(1) Dalam
hal Terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan bahwa Pengadilan tidak
berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat
dakwaan harus dibatalkan, sesudah diberi kesempatan kepada Oditur untuk menyatakan
pendapatnya, Majelis Hakim mengadakan musyawarah untuk mempertimbangkan
keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil putusan.
(2) Apabila
Majelis Hakim menyatakan keberatan tersebut diterima, perkara itu tidak
diperiksa lebih lanjut, sebaliknya dalam hal keberatan itu tidak diterima atau
Hakim berpendapat keberatan tersebut baru dapat diputuskan sesudah selesai
pemeriksaan, sidang dilanjutkan.
Pasal 146
(1) Terhadap
putusan Majelis Hakim yang menyatakan keberatan diterima, Oditur dapat mengajukan
perlawanan kepada Pengadilan tingkat banding melalui Pengadilan yang
bersangkutan dan paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak perlawanan
diterima, Pengadilan wajib meneruskan perkara tersebut kepada Pengadilan
tingkat banding.
(2) Dalam
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari sesudah diterima perlawanan Oditur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengadilan tingkat banding dengan
putusannya menerima atau menolak keberatan Oditur.
(3) Dalam
hal perlawanan Oditur diterima, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya
membatalkan putusan Pengadilan yang bersangkutan dengan memerintahkan
pemeriksaan tetap dilanjutkan, sebaliknya apabila perlawanan Oditur ditolak,
Pengadilan tingkat banding menguatkan putusan Pengadilan yang bersangkutan.
Pasal 147
(1) a. Dalam
hal perlawanan diajukan bersama-sama dengan permintaan banding oleh Terdakwa
atau Penasihat Hukumnya kepada Pengadilan tingkat banding, dalam waktu 14
(empat belas) hari sesudah ia menerima perkara dan membenarkan perlawanan
Terdakwa, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya membatalkan putusan
Pengadilan yang bersangkutan dan menunjuk Pengadilan lain yang berwenang;
b.
Pengadilan tingkat banding menyampaikan salinan putusan tersebut kepada
Pengadilan yang semula mengadili perkara yang bersangkutan dengan disertai
berkas perkara untuk diteruskan kepada Oditurat yang melimpahkan perkara itu.
(2) Apabila
Pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di
daerah hukum Pengadilan tingkat banding lain, Oditurat mengirimkan berkas
perkara tersebut kepada Oditurat di daerah hukum Pengadilan yang berwenang itu.
Pasal 148
Hakim Ketua
karena jabatannya, walaupun tidak ada keberatan, sesudah mendengar pendapat
Oditur dan Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dengan putusannya yang memuat
alasan-alasannya dapat menyatakan Pengadilan tidak berwenang.
Pasal 149
(1) Seorang
Hakim wajib mengundurkan diri dari mengadili suatu perkara apabila ia terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami
atau istri meskipun sudah bercerai dengan Hakim Ketua, salah seorang Hakim
Anggota, Oditur, atau Panitera.
(2) Hakim
Ketua, Hakim Anggota, Oditur, atau Panitera wajib mengundurkan diri dari
menangani perkara apabila ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai
dengan Terdakwa atau dengan Penasihat Hukum.
(3) Apabila
dipenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), mereka
harus diganti dan apabila tidak diganti sedangkan perkara sudah diputus,
perkara wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 150
(1) Tidak
seorang Hakim pun diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri
berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung.
(2) Dalam
hal seorang Hakim mengadili suatu perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Hakim yang bersangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri
maupun atas permintaan Oditur, Terdakwa, atau Penasihat Hukum.
(3) Apabila
ada keraguan atau perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pejabat Pengadilan yang berwenang yang menetapkannya.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku
juga bagi Oditur dan Panitera.
Pasal 151
Hakim
dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang
keyakinan mengenai salah atau tidaknya Terdakwa.
Pasal 152
(1) Hakim
Ketua meneliti apakah semua Saksi yang dipanggil sudah hadir dan memberi
perintah untuk mencegah jangan sampai Saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum
memberi keterangan di sidang.
(2) Dalam
hal Saksi tidak hadir, meskipun sudah dipanggil dengan sah dan Hakim Ketua
mempunyai cukup alasan untuk menduga bahwa Saksi itu tidak akan mau hadir,
Hakim Ketua dapat memerintahkan supaya Saksi tersebut dihadapkan ke
persidangan.
Pasal 153
Pemeriksaan
perkara di persidangan dapat dimulai dengan pemeriksaan Saksi atau Terdakwa
terlebih dahulu menurut pertimbangan Hakim Ketua.
Pasal 154
(1) a. Saksi
dipanggil ke dalam ruang sidang dengan pengawalan;
b. Saksi dipanggil
ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut pertimbangan Hakim Ketua;
c. Dalam hal
ada Saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan Terdakwa yang
tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh Terdakwa
atau Penasihat Hukum atau Oditur selama berlangsungnya sidang atau sebelum
dijatuhkannya putusan, Hakim Ketua wajib mendengar keterangan Saksi tersebut.
(2) Hakim
Ketua menanyakan kepada Saksi tentang nama lengkap, pangkat, nomor registrasi
pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin,
kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal, selanjutnya apakah ia kenal dengan
Terdakwa sebelum Terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dan
apakah ia terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
keberapa dengan Terdakwa, dan apakah ia ada hubungan suami atau istri dengan
Terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum
memberi keterangan, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya.
(4) Apabila
Pengadilan menganggap perlu, seorang Saksi atau ahli wajib bersumpah atau
berjanji sesudah Saksi atau ahli itu selesai memberi keterangan.
(5) Dalam
hal Saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), pemeriksaan terhadapnya tetap
dilakukan dan ia dengan penetapan Hakim Ketua dapat disandera di rumah tahanan
militer paling lama 14 (empat belas) hari.
(6) Dalam
hal tenggang waktu penyanderaan tersebut sudah lampau dan Saksi atau ahli tetap
tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, keterangan yang sudah diberikan
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim.
Pasal 155
(1) Apabila
Saksi sesudah memberi keterangan dalam penyidikan meninggal dunia atau karena
halangan yang sah tidak hadir di sidang atau tidak dapat dipanggil karena jauh
tempat kediaman atau tempat tinggalnya atau karena sebab lain yang berhubungan
dengan kepentingan negara, keterangan yang sudah diberikan itu dibacakan.
(2) Apabila
keterangan itu sebelumnya sudah diberikan di bawah sumpah, keterangan itu
disamakan nilainya dengan keterangan Saksi di bawah sumpah yang diucapkan di sidang.
Pasal 156
Apabila
keterangan Saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam
berita acara, Hakim Ketua mengingatkan Saksi tentang hal itu serta meminta
keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara
pemeriksaan sidang.
Pasal 157
(1) Hakim
Ketua dan Hakim Anggota dapat meminta kepada Saksi segala keterangan yang
dipandang perlu untuk mendapatkan kebenaran.
(2) Oditur,
Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua diberi kesempatan
untuk mengajukan pertanyaan kepada Saksi.
(3) Hakim
Ketua dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh Oditur, Terdakwa atau
Penasihat Hukum kepada Saksi dengan memberikan alasannya.
(4) Setiap
kali seorang Saksi selesai memberikan keterangan, Hakim Ketua menanyakan kepada
Terdakwa bagaimana pendapatnya tentang keterangan tersebut.
(5) Oditur
atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua diberi kesempatan untuk
mengajukan pertanyaan kepada Saksi dan Terdakwa.
(6) Hakim
Ketua dapat menolak pertanyaan yang diajukan oleh Oditur atau Penasihat Hukum
kepada Saksi atau Terdakwa dengan memberikan alasannya.
(7) Hakim
dan Oditur atau Terdakwa atau Penasihat Hukum dengan perantaraan Hakim Ketua,
dapat saling menghadapkan Saksi untuk menguji kebenaran keterangan mereka
masing-masing.
Pasal 158
(1) Sesudah
Saksi memberi keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali Hakim Ketua memberi
izin untuk meninggalkannya.
(2) Izin itu
tidak diberikan apabila Oditur atau Terdakwa atau Penasihat Hukum mengajukan
permintaan supaya Saksi itu tetap menghadiri sidang.
(3) Sesudah
Saksi memberi keterangan, Terdakwa atau Penasihat Hukum atau Oditur dapat
mengajukan permintaan kepada Hakim Ketua, supaya di antara Saksi tersebut yang
tidak mereka kehendaki kehadirannya dikeluarkan dari ruang sidang, supaya Saksi
lainnya dipanggil masuk oleh Hakim Ketua untuk didengar keterangannya, baik
seorang demi seorang maupun bersama-sama tanpa hadirnya Saksi yang dikeluarkan
tersebut.
(4) Apabila
dipandang perlu, Hakim Ketua karena jabatannya dapat memerintahkan supaya Saksi
yang sudah didengar keterangannya dikeluarkan dari ruang sidang untuk
selanjutnya mendengar keterangan Saksi yang lain.
(5) Para
Saksi selama sidang dilarang saling bercakap-cakap.
Pasal 159
Kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini, tidak dapat didengar keterangannya dan
dapat mengundurkan diri sebagai Saksi:
a. keluarga
sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat
ketiga dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa;
b. saudara
dari Terdakwa atau yang bersama-sama sebagai Terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak
saudara Terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami
atau istri Terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai
Terdakwa.
Pasal 160
(1) Dalam
hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 menghendakinya dan Oditur serta
Terdakwa secara tegas menyetujuinya, mereka dapat memberi keterangan di bawah
sumpah.
(2) Tanpa
persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka diperbolehkan memberikan
keterangan tanpa sumpah.
Pasal 161
(1) Mereka
yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan
rahasia, dapat meminta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan
sebagai Saksi tentang hal yang dipercayakan kepadanya menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hakim
menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.
Pasal 162
Yang boleh
diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
a. anak yang
umurnya belum cukup 15 (lima belas) tahun dan belum pernah kawin;
b. orang
sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Pasal 163
(1) Hakim
Ketua dapat mendengar keterangan Saksi mengenai hal tertentu tanpa hadirnya
Terdakwa, untuk itu ia memerintahkan Terdakwa keluar dari ruang sidang.
(2) Apabila
Hakim Ketua memerintahkan Terdakwa keluar dari ruang sidang dan Saksi sudah
didengar keterangannya, pemeriksaan perkara tidak boleh diteruskan sebelum
Terdakwa diperintahkan masuk kembali ke ruang sidang dan kepadanya
diberitahukan semua hal yang pada waktu ia tidak hadir.
Pasal 164
(1) Apabila
keterangan Saksi di sidang diduga palsu, Hakim Ketua memperingatkan dengan
sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan
mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap
memberikan keterangan palsu.
(2) Apabila
Saksi tetap pada keterangannya itu, Hakim Ketua karena jabatannya atau atas
permintaan Oditur atau Terdakwa dapat memberi perintah penahanan terhadap Saksi
untuk selanjutnya dilakukan penyidikan dan dituntut perkara dengan dakwaan
sumpah palsu.
(3) Dalam
hal yang demikian, oleh Panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang
yang memuat keterangan Saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan bahwa
keterangan Saksi itu palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh Hakim
Ketua serta Panitera dan segera diserahkan kepada Oditur untuk diselesaikan
menurut ketentuan Undang-undang ini.
(4) Apabila
perlu, Hakim Ketua menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan
perkara pidana terhadap Saksi itu selesai.
Pasal 165
(1) Apabila
Terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang
diajukan kepadanya, Hakim Ketua menganjurkan untuk menjawab dan sesudah itu
pemeriksaan dilanjutkan.
(2) Apabila
Terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban
sidang, Hakim Ketua menegurnya dan apabila teguran itu tidak diindahkan ia
memerintahkan supaya Terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian
pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya Terdakwa.
(3) Dalam
hal Terdakwa secara terus-menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga
mengganggu ketertiban sidang, Hakim Ketua mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga
putusan tetap dapat dijatuhkan dengan hadirnya Terdakwa.
Pasal 166
(1) Setiap
orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter
atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan yang sebenarnya menurut
pengetahuan dalam bidang keahliannya demi keadilan.
(2) Semua
ketentuan untuk Saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli,
dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan
keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam
bidang keahliannya.
Pasal 167
(1) Dalam
hal diperlukan untuk menjernihkan duduk persoalan yang timbul di sidang
Pengadilan, Hakim Ketua dapat meminta keterangan ahli dan dapat pula meminta
supaya diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
(2) Dalam
hal timbul keberatan yang beralasan dari Terdakwa atau Penasihat Hukum terhadap
hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim memerintahkan
supaya hal itu dilakukan penelitian ulang.
(3) Hakim
karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)
Penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh
instansi semula dengan komposisi personel yang berbeda dan instansi lain yang
mempunyai wewenang untuk itu.
Pasal 168
(1) Hakim
Ketua memperlihatkan kepada Terdakwa dan apabila perlu juga kepada Saksi segala
barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 serta menanyakan
sangkut paut barang itu dengan perkara untuk memperoleh kejelasan tentang
peristiwanya.
(2) Apabila
dianggap perlu untuk pembuktian, Hakim Ketua membacakan atau memperlihatkan
surat atau berita acara yang bersangkut paut dengan barang bukti sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Terdakwa dan/atau Saksi, dan selanjutnya meminta
keterangan seperlunya tentang hal itu.
Pasal 169
Pertanyaan
yang bersifat menjerat, mempengaruhi atau bertentangan dengan kehormatan
Prajurit tidak boleh diajukan baik kepada Terdakwa maupun kepada Saksi.
Pasal 170
(1) Selama
pemeriksaan di sidang, apabila Terdakwa tidak ditahan, Hakim Ketua dapat
memerintahkan dengan penetapannya untuk menahan Terdakwa apabila dipenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (1) huruf b dan terdapat
alasan cukup untuk itu.
(2) Dalam
hal Terdakwa ditahan, Hakim Ketua dapat memerintahkan dengan penetapannya untuk
membebaskan Terdakwa apabila terdapat alasan cukup untuk itu dengan mengingat
Pasal 137 ayat (3).
Pasal 171
Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2
(dua) alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pasal 172
(1) Alat
bukti yang sah ialah:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
keterangan terdakwa;
d. surat;
dan
e. petunjuk.
(2) Hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Pasal 173
(1)
Keterangan Saksi sebagai alat bukti adalah keterangan yang dinyatakan Saksi di
sidang Pengadilan.
(2)
Keterangan seorang Saksi saja tidak cukup membuktikan bahwa Terdakwa bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.
(3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku apabila disertai
dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4)
Keterangan beberapa Saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian
atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila
keterangan Saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa,
sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik
pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan
keterangan Saksi.
(6) Dalam
menilai kebenaran keterangan seorang Saksi, Hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan:
a.
persesuaian antara keterangan Saksi satu dan yang lain;
b.
persesuaian antara keterangan Saksi dan alat bukti lain;
c. alasan
yang mungkin dipergunakan oleh Saksi untuk memberi keterangan yang tertentu;
dan
d. cara hidup
dan kesusilaan Saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi
dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
(7)
Keterangan Saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain,
tidak merupakan alat bukti, tetapi apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari Saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat
bukti sah yang lain.
Pasal 174
Keterangan
ahli sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan seorang ahli di sidang
Pengadilan.
Pasal 175
(1)
Keterangan Terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan yang dinyatakan
Terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui
sendiri atau yang ia alami sendiri.
(2)
Keterangan Terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk
membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu
alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
(3)
Keterangan Terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
(4)
Keterangan Terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, tetapi harus disertai dengan
alat bukti yang lain.
Pasal 176
Surat
sebagai alat bukti yang sah, apabila dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, berupa:
a. berita
acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. surat
yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau
sesuatu keadaan;
c. surat
keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari
padanya;
d. surat
lain yang hanya dapat berlaku apabila ada hubungannya dengan isi alat
pembuktian yang lain.
Pasal 177
(1) Petunjuk
adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik
antara satu dan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa sudah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan terdakwa; dan/atau
c. surat.
(3)
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu
dilakukan oleh Hakim dengan arif dan bijaksana sesudah ia mengadakan
pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pasal 178
(1) Dalam
hal seorang Hakim atau Oditur berhalangan, Kepala Pengadilan yang berwenang atau
Kepala Oditurat yang berwenang wajib segera menunjuk pengganti pejabat yang
berhalangan tersebut.
(2) Apabila
dalam Pengadilan Militer Pertempuran Hakim atau Oditur berhalangan, Hakim atau
Oditur Pengganti segera menggantikannya.
(3) Dalam
hal Penasihat Hukum dalam sidang Pengadilan berhalangan, Penasihat Hukum
Pengganti segera menggantikannya, dan apabila penggantinya tidak ada atau juga
berhalangan sidang berjalan terus.
Pasal 179
Hakim di
sidang atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan Terdakwa atau Penasihat
Hukumnya dapat memberikan penjelasan hukum terhadap perkara tersebut.
Pasal 180
(1) Siapapun
yang dipidana dibebani membayar biaya perkara dan dalam hal putusan bebas dari
segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, biaya perkara
dibebankan pada negara.
(2) Dalam
hal Terdakwa sebelumnya telah mengajukan permohonan pembebasan dari pembayaran
biaya perkara berdasarkan syarat tertentu dengan persetujuan Pengadilan, biaya
perkara dibebankan pada negara.
Pasal 181
Tenggang
waktu menurut Hukum Acara Pidana Militer sebagaimana dimaksud dalam Bab IV ini
diperhitungkan mulai pada hari berikutnya.
Paragraf 2
Penuntutan
dan Pembelaan
Pasal 182
(1) Sesudah
pemeriksaan dinyatakan selesai, Oditur mengajukan tuntutan pidana.
(2) Terhadap
tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Terdakwa dan/atau Penasihat Hukum
mengajukan pembelaannya yang dapat dijawab oleh Oditur, dengan ketentuan bahwa
Terdakwa atau Penasihat Hukum selalu mendapat giliran terakhir.
(3)
Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan
sesudah dibacakan segera diserahkan kepada Hakim Ketua dan salinannya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.
(4) Dalam
hal perkara yang mudah pembuktiannya, pembelaan dan jawaban atas pembelaan
dapat dilakukan secara lisan, dan Panitera harus mencatatnya dalam berita acara
persidangan.
(5) Apabila
acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
sudah selesai, Hakim Ketua menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup,
dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan Hakim Ketua
karena jabatannya maupun atas permintaan Oditur, atau Terdakwa atau Penasihat
Hukum dengan memberikan alasannya.
Paragraf 3
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Rugi
Pasal 183
(1) Apabila suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana
oleh Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menimbulkan kerugian bagi
orang lain, Hakim Ketua atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti rugi kepada perkara pidana itu.
(2)
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan paling
lambat sebelum Oditur mengajukan tuntutan pidana.
Pasal 184
(1) Apabila
pihak yang dirugikan meminta penggabungan perkara gugatannya kepada perkara
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Pengadilan Militer/Pengadilan
Militer Tinggi menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan
tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan, dan tentang hukuman penggantian
biaya yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan tersebut.
(2) Kecuali
dalam hal Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi menyatakan tidak
berwenang mengadili gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau gugatan
dinyatakan tidak dapat diterima, putusan Hakim hanya memuat tentang penetapan
hukuman penggantian biaya yang sudah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan.
(3) Putusan
mengenai ganti rugi dengan sendirinya mendapat kekuatan hukum tetap, apabila
putusan pidananya juga sudah mendapat kekuatan hukum tetap.
Pasal 185
(1) Apabila
terjadi penggabungan gugatan ganti rugi kepada perkara pidana, penggabungan itu
dengan sendirinya berlangsung dalam pemeriksaan tingkat banding.
(2) Apabila
terhadap suatu perkara pidana tidak diajukan permintaan banding, permintaan
banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan.
Pasal 186
Kepala
Kepaniteraan Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi karena jabatannya
adalah juru sita, khusus untuk pelaksanaan putusan ganti rugi akibat
penggabungan gugatan ganti rugi kepada perkara pidana.
Pasal 187
Ketentuan
dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti rugi sepanjang dalam
Undang-undang ini tidak diatur lain.
Paragraf 4
Musyawarah
dan Putusan
Pasal 188
(1) Sesudah
pemeriksaan dinyatakan ditutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (5),
Hakim mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia.
(2)
Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didasarkan pada surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
(3) Dalam
musyawarah tersebut, Hakim Ketua mengajukan pertanyaan dimulai dari Hakim yang
termuda sampai Hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir mengemukakan
pendapatnya adalah Hakim Ketua dan semua pendapat harus disertai pertimbangan
beserta alasannya.
(4) Pada
asasnya putusan dalam musyawarah merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali
apabila hal itu sesudah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. putusan
diambil dengan suara terbanyak;
b. apabila
ketentuan tersebut pada huruf a tidak dapat diperoleh, putusan yang dipilih
adalah pendapat Hakim yang paling menguntungkan Terdakwa.
(5)
Pelaksanaan pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatat
dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi
buku tersebut sifatnya rahasia.
(6) Putusan
Pengadilan dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari
lain, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada Oditur, Terdakwa, atau
Penasihat Hukumnya.
Pasal 189
(1) Apabila
Pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang kesalahan
Terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan.
(2) Apabila
Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, Terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
(3) Dalam
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Terdakwa yang ada dalam
status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga, kecuali karena
alasan lain yang sah Terdakwa perlu ditahan.
(4) Dalam
hal Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas dari segala
tuntutan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), apabila
perbuatan yang dilakukan Terdakwa menurut penilaian Hakim tidak layak terjadi
didalam ketertiban atau disiplin Prajurit, Hakim memutus perkara dikembalikan
kepada Perwira Penyerah Perkara untuk diselesaikan menurut saluran Hukum
Disiplin Prajurit.
Pasal 190
(1) Apabila
Pengadilan berpendapat bahwa Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, Pengadilan menjatuhkan pidana.
(2)
Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, apabila Terdakwa tidak ditahan, dapat
memerintahkan supaya Terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan terdapat alasan cukup untuk itu.
(3) Dalam
hal Terdakwa ditahan, Pengadilan dalam menjatuhkan putusannya dapat menetapkan
Terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya apabila terdapat alasan
cukup untuk itu.
(4) Waktu
penahanan wajib dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(5) Dalam
hal Terdakwa pernah dijatuhi hukuman disiplin yang berupa penahanan, hukuman
disiplin tersebut wajib dipertimbangkan dari pidana yang dijatuhkan.
Pasal 191
(1) Dalam
hal putusan pemidanaan atau bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala
tuntutan hukum, Pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita
diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya
tercantum dalam putusan tersebut, kecuali apabila menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan barang bukti tersebut harus dirampas untuk kepentingan
negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.
(2) Kecuali
apabila terdapat alasan yang sah, Pengadilan dapat menetapkan supaya barang
bukti diserahkan segera sesudah sidang selesai.
(3) Perintah
penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai syarat apapun, kecuali dalam
hal putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 192
Putusan
Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang
terbuka untuk umum.
Pasal 193
(1)
Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya Terdakwa, kecuali dalam hal
Undang-undang ini menentukan lain.
(2) Dalam
hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang Terdakwa dalam satu perkara, putusan
dapat diucapkan dengan hadirnya salah seorang Terdakwa.
(3) Segera
sesudah putusan pemidanaan diucapkan, Hakim Ketua wajib memberitahukan kepada
Terdakwa tentang segala haknya, yaitu:
a. hak
segera menerima atau segera menolak putusan;
b. hak
mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam
tenggang waktu yang ditentukan oleh Undang-undang ini;
c. hak
meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan;
d. hak
meminta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh Undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e. hak
mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh Undang-undang ini.
Pasal 194
(1) Surat
putusan pemidanaan memuat:
a. kepala
putusan yang dituliskan berbunyi:
"DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama
lengkap Terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat
dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, dan tempat
tinggal;
c. dakwaan
sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d.
pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta
alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar
penentuan kesalahan Terdakwa;
e. tuntutan
pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;
g. hari dan
tanggal diadakannya musyawarah Hakim, kecuali perkara diperiksa oleh Hakim
tunggal;
h.
pernyataan kesalahan Terdakwa, pernyataan sudah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau
tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan
kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti
dan ketentuan mengenai barang bukti;
j.
keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya
kepalsuan itu, apabila terdapat surat autentik dianggap palsu;
k. perintah
supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l. hari dan
tanggal putusan, nama Hakim yang memutuskan, nama Oditur, dan nama Panitera.
(2) Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, dan
huruf l mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan
dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.
Pasal 195
(1) Surat
putusan bukan pemidanaan memuat:
a. ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) kecuali huruf e, huruf f, dan
huruf h;
b.
pernyataan bahwa Terdakwa diputus bebas dari segala dakwaan atau diputus lepas
dari segala tuntutan hukum, dengan menyebutkan alasan dan pasal peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar putusan;
c. perintah
supaya Terdakwa segera dibebaskan apabila ia ditahan;
d.
pernyataan bahwa perkara dikembalikan kepada Perwira Penyerah Perkara untuk
diselesaikan melalui saluran Hukum Disiplin Prajurit;
e.
pernyataan rehabilitasi.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (2) dan ayat (3) berlaku
juga bagi Pasal ini.
Pasal 196
(1) Putusan
ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika sesudah putusan itu diucapkan.
(2) Petikan
putusan Pengadilan diberikan kepada Terdakwa atau Penasihat Hukumnya dan
Oditur, segera sesudah putusan diucapkan.
(3) Salinan
putusan Pengadilan diberikan kepada Perwira Penyerah Perkara, Oditur, Polisi
Militer, dan Atasan yang Berhak Menghukum, sedangkan kepada Terdakwa atau
Penasihat Hukumnya diberikan atas permintaan.
(4) Salinan
putusan Pengadilan boleh diberikan pada orang lain hanya dengan seizin Kepala
Pengadilan sesudah mempertimbangkan kepentingan dari permintaan tersebut.
Pasal 197
(1) Panitera
membuat berita acara sidang yang memuat segala kejadian di sidang yang
berhubungan dengan pemeriksaan itu.
(2) Berita
acara sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga hal yang penting
dari keterangan Saksi, Terdakwa, dan ahli kecuali apabila Hakim Ketua
menyatakan bahwa untuk ini cukup ditunjuk kepada keterangan dalam berita acara
pemeriksaan dengan menyebut perbedaan yang terdapat antara yang satu dan yang
lainnya.
(3) Atas
permintaan Oditur, Terdakwa atau Penasihat Hukum, Hakim Ketua wajib
memerintahkan Panitera supaya dibuat catatan secara khusus tentang suatu
keadaan atau keterangan.
(4) Berita
acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Panitera, kecuali apabila
salah seorang dari mereka berhalangan, hal itu dinyatakan dalam berita acara
tersebut.
Bagian Kelima
Acara Pemeriksaan Koneksitas
Pasal 198
(1) Tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel
peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan
Menteri dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(2)
Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh
suatu tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur, dan Penyidik dalam
lingkungan peradilan umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut
hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara pidana.
(3) Tim
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama
Menteri dan Menteri Kehakiman.
Pasal 199
(1) Untuk
menetapkan apakah Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), diadakan penelitian bersama oleh Jaksa/Jaksa
Tinggi dan Oditur atas dasar hasil penyidikan tim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 198 ayat (2).
(2) Pendapat
dari penelitian bersama tersebut dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh para pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila
dalam penelitian bersama itu terdapat persesuaian pendapat tentang Pengadilan
yang berwenang mengadili perkara tersebut, hal itu dilaporkan oleh Jaksa/Jaksa
Tinggi kepada Jaksa Agung dan oleh Oditur kepada Oditur Jenderal.
Pasal 200
(1) Apabila
menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3) titik berat
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan
umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum, Perwira Penyerah Perkara segera membuat surat
keputusan penyerahan perkara yang diserahkan melalui Oditur kepada Penuntut
Umum, untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut kepada Pengadilan
Negeri yang berwenang.
(2) Apabila
menurut pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), titik berat kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer
sehingga perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer, pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (3)
dijadikan dasar bagi Oditur Jenderal untuk mengusulkan kepada Menteri, agar
dengan persetujuan Menteri Kehakiman dikeluarkan keputusan Menteri yang
menetapkan, bahwa perkara pidana tersebut diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.
(3) Surat
keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar bagi Perwira
Penyerah Perkara dan Jaksa/Jaksa Tinggi untuk menyerahkan perkara tersebut
kepada Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 201
(1) Apabila
perkara diajukan kepada Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200
ayat (1), berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh tim sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 198 ayat (2) dibubuhi catatan oleh Penuntut Umum yang mengajukan
perkara, bahwa berita acara tersebut telah diambil alih olehnya.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi Oditur apabila
perkara tersebut akan diajukan kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
Pasal 202
(1) Apabila
dalam penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1) terdapat
perbedaan pendapat antara Penuntut Umum dan Oditur, mereka masing-masing
melaporkan perbedaan pendapat itu secara tertulis, dengan disertai berkas
perkara yang bersangkutan melalui Jaksa Tinggi kepada Jaksa Agung dan kepada
Oditur Jenderal.
(2) Jaksa
Agung dan Oditur Jenderal bermusyawarah untuk mengambil keputusan guna
mengakhiri perbedaan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam
hal terjadi perbedaan pendapat antara Jaksa Agung dan Oditur Jenderal, pendapat
Jaksa Agung yang menentukan.
Pasal 203
(1) Dalam
hal perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1) diadili oleh
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer, yang mengadili perkara tersebut adalah Majelis Hakim yang
terdiri dari sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2) Dalam
hal Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), Majelis Hakim terdiri dari Hakim
Ketua dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Hakim Anggota yang
masing-masing ditetapkan secara berimbang dari Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
(3) Dalam
hal Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer yang mengadili perkara pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (1), Majelis Hakim terdiri dari Hakim
Ketua dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dan Hakim Anggota
ditetapkan secara berimbang yang masing-masing dari Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer dan dari Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum yang
diberi pangkat militer tituler.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga bagi
Pengadilan Tingkat Banding.
(5) Menteri
Kehakiman dan Menteri secara timbal balik mengusulkan pengangkatan Hakim
Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
Bagian
Keenam
Acara
Pemeriksaan Khusus
Pasal 204
(1) Acara
pemeriksaan khusus dilaksanakan oleh Pengadilan Militer Pertempuran.
(2)
Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana dalam
tingkat pertama dan terakhir.
(3)
Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus perkara pidana yang
dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 di daerah
pertempuran.
(4) Terhadap
putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Terdakwa atau Oditur hanya dapat
mengajukan Kasasi.
Pasal 205
Pembuktian
dalam acara pemeriksaan khusus berlaku ketentuan bahwa:
a.
pengetahuan Hakim dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti;
b. barang
bukti cukup dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah
pejabat yang bersangkutan.
Pasal 206
Putusan
Pengadilan Militer Pertempuran diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Pasal 207
(1)
Pelaksanaan putusan Pengadilan Militer Pertempuran yang tidak memuat hukuman
mati tidak tertunda karena permohonan grasi.
(2) Apabila
dijatuhkan hukuman mati, pelaksanaannya baru dapat dilakukan sesudah Presiden
mengambil keputusan tentang soal grasi terhadap perkara yang bersangkutan.
Pasal 208
(1) Apabila
permohonan grasi diajukan, Panitera pada Pengadilan Militer Pertempuran
menyampaikan berkas perkara kepada Pengadilan Militer Utama.
(2)
Pengadilan Militer Utama sesudah mendengar pendapat Oditur Jenderal memberikan
pendapatnya kepada Presiden.
Pasal 209
Ketentuan
acara pemeriksaan di sidang Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketiga
dan acara pemeriksaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku
sepanjang ketentuan dimaksud tidak bertentangan dengan acara pemeriksaan khusus
sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keenam ini.
Pasal 210
Penunjukan
pejabat dan administrasi peradilan pada Pengadilan Militer Pertempuran dan
Oditurat Militer Pertempuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d dan
Pasal 49 ayat (1) huruf d diatur lebih lanjut dengan Keputusan Panglima.
Bagian
Ketujuh
Acara
Pemeriksaan Cepat
Pasal 211
(1) Yang
diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat adalah perkara pelanggaran tertentu
terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Untuk
perkara pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan, tidak diperlukan berita
acara pemeriksaan, cukup berita acara pelanggaran lalu lintas dan angkutan
jalan.
(3)
Pengadilan Militer/Pengadilan Militer Tinggi mengadili dengan Hakim tunggal
yang dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari sesudah bukti pelanggaran
diterima.
(4) Putusan
dapat dijatuhkan meskipun Terdakwa tidak hadir di sidang.
(5) Dalam
hal dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, Terdakwa dapat mengajukan
banding.
(6) Dalam
hal putusan dijatuhkan di luar hadirnya Terdakwa dan putusan itu berupa pidana
perampasan kemerdekaan, Terdakwa dapat mengajukan perlawanan.
(7) Dalam
waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diberitahukan secara sah kepada Terdakwa,
ia dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan yang menjatuhkan putusan itu.
(8) Dengan
perlawanan itu putusan di luar hadirnya Terdakwa menjadi gugur.
(9) Sesudah
Panitera memberitahukan kepada Oditur tentang perlawanan itu, Hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) menetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali perkara
itu.
(10) Apabila
putusan sesudah diajukannya perlawanan tetap berupa pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), terhadap putusan tersebut Terdakwa dapat mengajukan banding.
Pasal 212
Dalam acara
pemeriksaan cepat, Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 ayat (3) dapat
menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang didukung oleh 1 (satu) alat
bukti yang sah.
Pasal 213
Pengembalian
barang sitaan dilakukan tanpa syarat kepada yang berhak, segera sesudah putusan
dijatuhkan, apabila Terpidana sudah memenuhi amar putusan.
Pasal 214
Ketentuan
acara pemeriksaan di sidang Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketiga
dan acara pemeriksaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Bagian Keempat berlaku
sepanjang ketentuan dimaksud tidak bertentangan dengan acara pemeriksaan cepat
sebagaimana dimaksud dalam Bagian Ketujuh ini.
Bagian
Kedelapan
Bantuan
Hukum
Pasal 215
(1) Untuk
kepentingan pembelaan perkaranya, Tersangka atau Terdakwa berhak mendapat
bantuan hukum di semua tingkat pemeriksaan.
(2) Bantuan
hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dari dinas bantuan hukum
yang ada di lingkungan Angkatan Bersenjata.
(3) Tata
cara pemberian bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Panglima.
Pasal 216
(1)
Penasihat Hukum yang mendampingi Tersangka di tingkat penyidikan atau Terdakwa
di tingkat pemeriksaan di sidang Pengadilan harus atas perintah atau seizin
Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya.
(2)
Penasihat Hukum yang mendampingi Terdakwa sipil dalam persidangan perkara
koneksitas, harus seizin Kepala Pengadilan.
Pasal 217
(1) Dalam
hal Tersangka atau Terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau diancam dengan pidana penjara 15 (lima belas)
tahun atau lebih, Perwira Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya
wajib menunjuk Penasihat Hukum bagi Tersangka atau Terdakwa.
(2) Setiap
Penasihat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.
(3)
Penasihat Hukum berhak mengirim dan menerima surat dari Tersangka atau Terdakwa
setiap kali dikehendaki olehnya.
Pasal 218
(1)
Penasihat Hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 berhak menghubungi dan
berbicara dengan Tersangka atau Terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan untuk
kepentingan pembelaan perkaranya dengan pengawasan oleh pejabat yang
bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(2)
Penasihat Hukum yang terbukti menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan
Tersangka atau Terdakwa, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, Penyidik, Oditur,
atau petugas Rumah Tahanan Militer memberikan peringatan kepadanya.
(3) Apabila
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilanggar, hubungan selanjutnya
dilarang.
Bagian Kesembilan
Upaya Hukum Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 219
Terdakwa
atau Oditur berhak untuk meminta banding terhadap putusan Pengadilan tingkat
pertama kecuali terhadap putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum
dan putusan Pengadilan dalam acara cepat yang berupa pidana perampasan
kemerdekaan.
Pasal 220
(1)
Permintaan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 dapat diajukan ke
Pengadilan tingkat banding oleh Terdakwa atau Oditur dan untuk pelanggaran lalu
lintas oleh Terdakwa atau orang yang khusus dikuasakan untuk itu.
(2)
Permintaan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) boleh diterima oleh Panitera
Pengadilan tingkat pertama dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan
dijatuhkan atau sesudah putusan diberitahukan kepada Terdakwa yang tidak hadir.
(3) Panitera
dilarang menerima permintaan banding putusan yang tidak dapat dibanding atau
permintaan banding yang diajukan sesudah tenggang waktu yang ditentukan
berakhir dan mencantumkan penolakan tersebut dalam akta penolakan permohonan
banding yang ditandatangani oleh Panitera dan pemohon yang bersangkutan.
(4)
Permintaan banding terhadap perkara yang diperiksa dan diputus tanpa hadirnya
Terdakwa diajukan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan diumumkan.
(5) Panitera
wajib membuat surat keterangan atas permohonan banding tersebut dengan
ditandatangani olehnya dan pemohon banding serta salinannya diberikan kepada
pemohon yang bersangkutan.
(6) Dalam
hal pemohon tidak dapat menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan
disertai alasannya dan catatan harus dilampirkan dalam berkas perkara dan juga
ditulis dalam buku register perkara.
(7) Dalam
hal Pengadilan tingkat pertama menerima permintaan banding, baik yang diajukan
oleh Oditur atau Terdakwa maupun yang diajukan oleh Oditur dan Terdakwa
sekaligus, Panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada
pihak yang lain.
Pasal 221
(1) Apabila
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (2) sudah lewat tanpa
diajukan permintaan banding, yang bersangkutan dianggap menerima putusan.
(2) Dalam
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera mencatat dan membuat akta mengenai
hal itu serta melampirkannya pada berkas perkara.
Pasal 222
(1) Selama
perkara banding belum diputus oleh Pengadilan tingkat banding, permintaan
banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan
banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi.
(2) Apabila
perkara sudah mulai diperiksa tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permintaan bandingnya, pemohon dibebani biaya perkara yang
sudah dikeluarkan oleh Pengadilan tingkat banding hingga saat pencabutannya.
Pasal 223
(1) Paling
lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak permintaan banding diajukan,
Panitera mengirimkan salinan Putusan Pengadilan tingkat pertama dan berkas
perkara serta surat bukti kepada Pengadilan tingkat banding.
(2) Selama 7
(tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan tingkat
banding, pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas
perkara tersebut di Pengadilan tingkat pertama.
(3) Dalam
hal pemohon banding yang dengan jelas menyatakan secara tertulis bahwa ia akan
mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan tingkat banding, kepadanya
wajib diberi kesempatan untuk itu secepatnya 7 (tujuh) hari sesudah berkas
perkara diterima oleh Pengadilan tingkat banding.
(4) Kepada
setiap pemohon banding wajib diberi kesempatan untuk sewaktu-waktu meneliti
keaslian berkas perkaranya yang sudah ada di Pengadilan tingkat banding.
Pasal 224
Selama
Pengadilan tingkat banding belum memulai memeriksa suatu perkara, baik Terdakwa
atau kuasanya maupun Oditur dapat menyerahkan memori banding atau kontra memori
banding kepada Pengadilan tingkat banding.
Pasal 225
(1)
Pemeriksaan pada tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan tingkat banding atas
dasar berkas perkara yang diterima dari Pengadilan tingkat pertama yang terdiri
dari berita acara pemeriksaan dari Penyidik, berita acara pemeriksaan di sidang
Pengadilan tingkat pertama, beserta semua surat yang timbul di sidang yang
berhubungan dengan perkara itu dan putusan Pengadilan tingkat pertama.
(2) Wewenang
untuk menentukan penahanan beralih ke Pengadilan tingkat banding sejak saat
diajukannya permintaan banding.
(3) Dalam
waktu 3 (tiga) hari sejak menerima berkas perkara banding dari Pengadilan
tingkat pertama, Pengadilan tingkat banding wajib mempelajarinya untuk
menetapkan apakah Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang
jabatannya maupun karena permintaan Terdakwa.
(4) Apabila
dipandang perlu, Pengadilan tingkat banding mendengar sendiri keterangan
Terdakwa atau Saksi atau Oditur dengan menjelaskan secara singkat dalam surat
panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya.
Pasal 226
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) dan Pasal 150 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) berlaku juga bagi pemeriksaan perkara pada tingkat
banding.
(2) Hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (2) berlaku juga antara
Hakim dan/atau Panitera tingkat banding dengan Hakim atau Panitera tingkat
pertama yang sudah mengadili perkara yang sama.
(3) Apabila
seorang Hakim yang memutus perkara pada Pengadilan tingkat pertama menjadi
Hakim pada Pengadilan tingkat banding, Hakim tersebut dilarang memeriksa
perkara yang sama pada tingkat banding.
Pasal 227
(1) Apabila
Pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa dalam pemeriksaan pada tingkat
pertama ternyata ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau
ada yang kurang lengkap, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya dapat
memerintahkan Pengadilan tingkat pertama untuk memperbaiki hal itu atau Pengadilan
tingkat banding melakukannya sendiri.
(2) Apabila
perlu, Pengadilan tingkat banding dengan putusannya dapat membatalkan putusan
Pengadilan tingkat pertama sebelum Pengadilan tingkat banding menjatuhkan
putusan akhir.
Pasal 228
(1) Sesudah
semua hal dalam ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 dipertimbangkan
dan dilaksanakan, Pengadilan tingkat banding mengambil putusan, menguatkan atau
mengubah atau membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama.
(2) Dalam
hal Pengadilan tingkat banding membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama,
Pengadilan tingkat banding memutus sendiri.
(3) Dalam
hal pembatalan tersebut terjadi atas putusan Pengadilan tingkat pertama karena
ia tidak berwenang memeriksa perkara itu, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 133.
Pasal 229
Apabila
dalam pemeriksaan tingkat banding Terdakwa ada dalam tahanan, Pengadilan
tingkat banding dalam putusannya memerintahkan supaya Terdakwa perlu tetap
ditahan atau dibebaskan.
Pasal 230
(1) Salinan
putusan Pengadilan tingkat banding beserta berkas perkara, dalam waktu 7
(tujuh) hari sesudah putusan tersebut dijatuhkan, dikirimkan kepada Pengadilan
yang memutus pada tingkat pertama.
(2) Isi
putusan segera diberitahukan kepada Terdakwa dan Oditur oleh Panitera
Pengadilan tingkat pertama dan selanjutnya pemberitahuan tersebut dicatat dalam
salinan putusan Pengadilan tingkat banding.
(3)
Ketentuan mengenai putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196
berlaku juga bagi putusan Pengadilan tingkat banding.
(4) Dalam
hal Terdakwa bertempat tinggal di luar daerah hukum Pengadilan tingkat pertama
tersebut, Panitera meminta bantuan kepada Panitera Pengadilan tingkat pertama
yang dalam daerah hukumnya Terdakwa bertempat tinggal untuk memberitahukan isi
putusan kepadanya.
(5) Dalam
hal Terdakwa tidak diketahui tempat tinggalnya atau bertempat tinggal di luar
negeri, isi surat putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
melalui kepala desa atau pejabat atau melalui perwakilan Republik Indonesia di
tempat Terdakwa biasa bertempat tinggal dan apabila juga masih belum berhasil
disampaikan, Terdakwa dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui 2 (dua)
buah surat kabar yang terbit di daerah hukum Pengadilan tingkat pertama itu
sendiri atau daerah yang berdekatan dengan daerah itu.
(6) Dalam
hal Terdakwa sudah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat/dipecat
dari dinas keprajuritan dan tidak diketahui lagi tempat tinggalnya, isi putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan melalui kepala desa di tempat semula
Terdakwa bertempat tinggal dan apabila masih belum juga berhasil disampaikan,
Terdakwa dipanggil 2 (dua) kali berturut-turut melalui 2 (dua) buah surat kabar
yang terbit di daerah hukum Pengadilan yang memutus perkaranya.
Paragraf 2
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Pasal 231
Terhadap
putusan perkara pidana yang diberikan oleh Pengadilan tingkat banding atau
Pengadilan tingkat pertama dan terakhir, Terdakwa atau Oditur dapat mengajukan
permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali terhadap putusan bebas dari
segala dakwaan.
Pasal 232
(1)
Permohonan kasasi disampaikan oleh pemohon kepada Panitera Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah
putusan Pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada Terdakwa.
(2)
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), oleh Panitera ditulis dalam
sebuah surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera serta pemohon dan
dicatat dalam daftar yang dilampirkan pada berkas perkara.
(3) Dalam
hal Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerima permohonan kasasi,
baik yang diajukan oleh Oditur atau Terdakwa maupun yang diajukan Oditur dan
Terdakwa sekaligus, Panitera wajib memberitahukan permintaan dari pihak yang
satu kepada pihak yang lain.
Pasal 233
(1) Apabila
tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (1) sudah lampau tanpa
diajukan permohonan kasasi oleh yang bersangkutan, yang bersangkutan dianggap
menerima putusan.
(2) Apabila
dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon terlambat
mengajukan permohonan kasasi, hak itu gugur.
(3) Dalam
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Panitera mencatat dan
membuat akta mengenai hal itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas
perkara.
Pasal 234
(1) Selama
perkara permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi
dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permohonan kasasi
dalam perkara itu tidak dapat diajukan lagi.
(2) Apabila
pencabutan dilakukan sebelum berkas perkara dikirim kepada Mahkamah Agung,
berkas tersebut tidak jadi dikirimkan.
(3) Apabila
perkara sudah mulai diperiksa tetapi belum diputus, sedangkan sementara itu
pemohon mencabut permohonan kasasinya, pemohon dibebani biaya perkara yang
sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Agung hingga saat pencabutannya.
(4)
Permohonan kasasi hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali.
Pasal 235
(1) Pemohon
kasasi wajib mengajukan memori kasasi yang memuat alasan permohonan kasasinya
dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah mengajukan permohonan tersebut,
harus sudah menyerahkannya kepada Panitera yang untuk itu ia memberikan surat
tanda terima.
(2) Dalam
hal pemohon kasasi adalah Terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada
waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan
permohonan tersebut dan untuk itu Panitera membuat memori kasasinya.
(3) Apabila
dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon terlambat
menyerahkan memori kasasi, hak untuk mengajukan permohonan kasasi gugur.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 ayat (3) berlaku juga untuk ayat
(3) Pasal ini.
(5) Salinan
memori kasasi yang diajukan oleh salah satu pihak, oleh Panitera disampaikan
kepada pihak lainnya dan pihak lain itu berhak mengajukan kontra memori kasasi.
(6) Dalam
tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Panitera menyampaikan
salinan kontra memori kasasi kepada pihak yang semula mengajukan memori kasasi.
Pasal 236
(1) Dalam
hal salah satu pihak berpendapat masih ada sesuatu yang perlu ditambahkan dalam
memori kasasi atau kontra memori kasasi, kepadanya diberikan kesempatan untuk
mengajukan tambahan itu dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
235 ayat (1).
(2) Tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan kepada Panitera Pengadilan
tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
(3) Paling
lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah tenggang waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), permohonan kasasi tersebut selengkapnya oleh Panitera
Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir segera
disampaikan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama.
(4) Sesudah
Panitera Pengadilan Militer Utama menerima berkas perkara kasasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), ia wajib segera menyampaikan berkas perkara tersebut
kepada Mahkamah Agung.
Pasal 237
(1) Sesudah
Panitera Pengadilan tingkat pertama menerima memori dan/atau kontra memori
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) dan ayat (3), ia wajib segera
mengirim berkas perkara kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama.
(2) Sesudah
Panitera Pengadilan Militer Utama menerima memori dan/atau kontra memori
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ia wajib segera menyampaikan memori
dan/atau kontra memori tersebut kepada Mahkamah Agung.
(3) Sesudah
Panitera Mahkamah Agung menerima berkas perkara tersebut, ia seketika
mencatatnya dalam buku agenda surat, buku register perkara, dan kartu penunjuk.
(4) Buku
register perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikerjakan, ditutup,
dan ditandatangani oleh Panitera pada setiap hari kerja dan untuk diketahui
ditandatangani juga karena jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.
(5) Dalam
hal Ketua Mahkamah Agung berhalangan, penandatanganan dilakukan oleh Wakil
Ketua Mahkamah Agung dan apabila keduanya berhalangan, ditunjuk Hakim Anggota
yang tertua dalam jabatan dengan surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung.
(6)
Selanjutnya Panitera Mahkamah Agung mengeluarkan surat bukti penerimaan yang
aslinya dikirimkan kepada Panitera Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan
tingkat pertama dan terakhir yang bersangkutan, sedangkan salinannya dikirimkan
kepada para pihak.
Pasal 238
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 berlaku juga bagi pemeriksaan
perkara pada tingkat kasasi.
(2) Hubungan
keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) berlaku juga antara
Hakim dan/atau Panitera tingkat kasasi dengan Hakim dan/atau Panitera tingkat
banding serta tingkat pertama yang sudah mengadili perkara yang sama.
(3) Apabila
seorang Hakim yang mengadili perkara pada tingkat pertama atau pada tingkat
pertama dan terakhir atau pada tingkat banding, kemudian sudah menjadi Hakim
atau Panitera pada Mahkamah Agung, mereka dilarang bertindak sebagai Hakim atau
Panitera untuk perkara yang sama pada tingkat kasasi.
Pasal 239
(1)
Pemeriksaan pada tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 231 dan Pasal 235 guna menentukan:
a. apakah
benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana
mestinya;
b. apakah
benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang;
c. apakah
benar Pengadilan sudah melampaui batas kewenangannya.
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim atas dasar berkas perkara yang diterima
dari Pengadilan lain selain Mahkamah Agung yang terdiri dari berita acara
pemeriksaan dari Penyidik, berita acara pemeriksaaan di sidang, semua surat
yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu beserta putusan
Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan tingkat pertama dan terakhir.
(3) Apabila
dipandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Mahkamah Agung dapat mendengar secara langsung keterangan Terdakwa atau
Saksi atau Oditur, dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan
kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya atau Mahkamah Agung dapat
pula memerintahkan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk
mendengar keterangan mereka, dengan cara pemanggilan yang sama.
(4) Wewenang
untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya
permohonan kasasi.
(5) a. Dalam
waktu 3 (tiga) hari sejak menerima berkas perkara kasasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Mahkamah Agung wajib mempelajarinya untuk menetapkan apakah
Terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak, baik karena wewenang jabatannya maupun
karena permintaan Terdakwa;
b. Dalam hal
Terdakwa tetap ditahan, dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penetapan
penahanan Mahkamah Agung wajib memeriksa perkara tersebut.
Pasal 240
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2) berlaku
juga bagi pemeriksaan perkara pada tingkat kasasi.
(2) Apabila
ada keraguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dalam tingkat kasasi:
a. Ketua
Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang
menetapkan;
b. dalam hal
menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah
suatu panitia yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan antar
Hakim Anggota yang 1 (satu) orang di antaranya harus Hakim Anggota yang tertua
dalam jabatan.
Pasal 241
Dalam hal
Mahkamah Agung memeriksa permohonan kasasi karena sudah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232, Pasal 233, dan Pasal 234, mengenai
hukumnya Mahkamah Agung dapat memutus menolak atau mengabulkan permohonan
kasasi.
Pasal 242
(1) Dalam
hal suatu putusan dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara
tersebut.
(2) Dalam
hal suatu putusan dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang, Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk supaya
Pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan memeriksanya lagi mengenai
bagian yang dibatalkan atau berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat
menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan setingkat yang lain.
(3) Dalam
hal suatu putusan dibatalkan karena Pengadilan atau Hakim yang bersangkutan
tidak berwenang mengadili perkara tersebut, Mahkamah Agung menetapkan
pengadilan atau hakim lain mengadili perkara tersebut.
Pasal 243
Apabila
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
241, Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan yang dimintakan kasasi dan
dalam hal itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 244
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 230
berlaku juga bagi putusan kasasi Mahkamah Agung, kecuali tenggang waktu tentang
pengiriman salinan putusan beserta berkas perkaranya kepada Pengadilan yang
memutus pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir dalam
tenggang waktu 7 (tujuh) hari.
Bagian Kesepuluh
Upaya Hukum Luar Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
demi Kepentingan Hukum
Pasal 245
Upaya Hukum Luar Biasa
Paragraf 1
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
demi Kepentingan Hukum
Pasal 245
(1) Demi
kepentingan hukum terhadap semua putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap dari Pengadilan, dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan kasasi oleh Oditur
Jenderal.
(2) Putusan
kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
Pasal 246
(1)
Permohonan kasasi demi kepentingan hukum disampaikan secara tertulis oleh
Oditur Jenderal kepada Mahkamah Agung melalui Panitera Pengadilan yang sudah
memutus perkara pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir,
disertai risalah yang memuat alasan permintaan itu.
(2) Salinan
risalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Panitera segera disampaikan
kepada pihak yang berkepentingan.
(3) Kepala
Pengadilan yang bersangkutan segera meneruskan permintaan itu kepada Mahkamah
Agung melalui Pengadilan Militer Utama.
Pasal 247
(1) Salinan
putusan kasasi demi kepentingan hukum oleh Mahkamah Agung disampaikan kepada
Oditur Jenderal dan kepada Pengadil-an yang bersangkutan dengan disertai berkas
perkara.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2) dan ayat (4) berlaku
juga bagi pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum.
Paragraf 2
Pemeriksaan
Peninjauan Kembali
Putusan yang
Sudah Memperoleh
Kekuatan
Hukum Tetap
Pasal 248
(1) Terhadap
putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan
bebas dari segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum, Terpidana atau
ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.
(2)
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar:
a. apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa apabila keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa
putusan bebas dari segala dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, atau tuntutan Oditur tidak dapat diterima, atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila
dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi
hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah
terbukti itu ternyata bertentangan satu dengan yang lain;
c. apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan Hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
(3) Atas
dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu
putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, Oditur dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh
suatu pemidanaan.
Pasal 249
(1)
Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248
ayat (1) diajukan kepada Panitera Pengadilan yang sudah memutus perkara
tersebut pada tingkat pertama atau pada tingkat pertama dan terakhir dengan
menyebutkan secara jelas alasannya.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 232 ayat (2) berlaku juga bagi
permintaan peninjauan kembali.
(3)
Permintaan peninjauan kembali tidak dibatasi dengan tenggang waktu.
(4) Dalam
hal pemohon peninjauan kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum,
Panitera pada waktu menerima permintaan peninjauan kembali wajib menanyakan
apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu Panitera
membuatkan surat permintaan peninjauan kembali.
(5) Kepala
Pengadilan yang bersangkutan segera mengirimkan surat permintaan peninjauan
kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan
Militer Utama, disertai suatu catatan penjelasan.
Pasal 250
(1) Kepala
Pengadilan tingkat pertama atau tingkat pertama dan terakhir, sesudah menerima
permintaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1),
menunjuk Hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan peninjauan
kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan peninjauan kembali tersebut
memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2).
(2) Dalam
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemo-hon dan Oditur ikut hadir
dan dapat menyampaikan pendapatnya.
(3) Atas
pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh
Hakim, Oditur, pemohon, dan Panitera, dan berdasarkan berita acara itu dibuat
berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Hakim dan Panitera.
(4) Kepala
Pengadilan yang bersangkutan segera melakukan permintaan peninjauan kembali
yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan, dan berita
acara pendapat kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Militer Utama yang tembusan
surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan Oditur.
(5) Dalam
hal suatu perkara yang dimintakan peninjauan kembali adalah putusan Pengadilan
banding, tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri salinan berita acara
pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada Pengadilan
tingkat banding yang bersangkutan.
Pasal 251
(1) Dalam
hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 248 ayat (2), Mahkamah Agung menyatakan bahwa permintaan peninjauan
kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar alasannya.
(2) Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali dapat
diterima untuk diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila
Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak
permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu tetap berlaku dengan disertai dasar pertimbangannya;
b. apabila
Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan
yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat
berupa:
1. putusan
bebas dari segala dakwaan;
2. putusan
lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan
tidak dapat menerima tuntutan Oditur;
4. putusan
dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
(3) Pidana
yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana
yang sudah dijatuhkan dalam putusan semula.
Pasal 252
(1) Salinan
putusan Mahkamah Agung tentang peninjauan kembali beserta berkas perkaranya
dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada
Pengadilan yang melanjutkan permintaan peninjauan kembali.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) berlaku juga bagi putusan Mahkamah Agung mengenai peninjauan
kembali.
Pasal 253
(1)
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan atau
menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
(2) Apabila
suatu permintaan peninjauan kembali sudah diterima oleh Mahkamah Agung dan
sementara itu pemohon meninggal dunia, mengenai diteruskan atau tidaknya
peninjauan kembali tersebut diserahkan kepada kehendak ahli warisnya.
(3)
Permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan 1 (satu)
kali.
Bagian Kesebelas
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 254
(1) Putusan
Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, pelaksanaannya dilakukan
oleh Oditur yang untuk itu Panitera mengirimkan salinan putusan kepadanya.
(2) Mendahului
salinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Oditur melaksanakan putusan
Pengadilan berdasarkan petikan putusan.
Pasal 255
Pelaksanaan
pidana mati dilakukan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan tidak di muka umum.
Pasal 256
(1) Pidana
penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau di
tempat lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam
hal Terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana
penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu,
pidana tersebut mulai dijalankan dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu.
(3) Apabila
Terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
Pasal 257
Dalam hal
Pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan
pengawasan serta pengamatan yang sungguh-sungguh dan menurut ketentuan
Undang-undang ini.
Pasal 258
(1) Dalam
hal Pengadilan menjatuhkan pidana denda, Terpidana diberi tenggang waktu 1
(satu) bulan untuk membayar denda tersebut, kecuali dalam putusan pemeriksaan
acara cepat yang pembayaran dendanya harus dilunasi seketika.
(2) Apabila
terdapat alasan yang kuat, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan.
Pasal 259
(1) Dalam
hal putusan Pengadilan menetapkan perampasan barang bukti untuk negara, Oditur
menguasakan benda tersebut kepada Kantor Lelang Negara untuk dijual lelang dalam
waktu 3 (tiga) bulan dan hasilnya dimasukkan ke kas negara atas nama Oditurat.
(2) Tenggang
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1
(satu) bulan.
Pasal 260
(1) Dalam
hal Pengadilan menjatuhkan juga putusan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 184, pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara putusan perdata.
(2) Apabila
dalam 1 (satu) perkara terdapat lebih dari 1 (satu) orang Terpidana, pembayaran
ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada para Terpidana
bersama-sama secara berimbang.
Pasal 261
(1) Biaya
perkara yang ditetapkan dalam putusan Pengadilan dibayar oleh Terpidana dalam
tenggang waktu 1 (satu) bulan.
(2) Tenggang
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1
(satu) bulan.
(3) Apabila
dalam 1 (satu) perkara terdapat lebih dari 1 (satu) Terpidana, pembayaran biaya
perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada para Terpidana
bersama-sama secara berimbang.
Bagian Kedua
Belas
Pengawasan
dan Pengamatan
Pelaksanaan
Putusan Pengadilan
Pasal 262
(1)
Pengawasan dan pengamatan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan
kemerdekaan dilakukan oleh Kepala Pengadilan yang bersangkutan dan dalam
pelaksanaannya dibantu oleh seorang Hakim atau lebih sebagai Hakim pengawas dan
pengamat.
(2) Hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunjuk oleh Kepala Pengadilan untuk paling
lama 2 (dua) tahun.
(3) Hakim
pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa
putusan Pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
(4) Hakim
pengawas dan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi
ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku
Narapidana atau pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Militer serta pengaruh
timbal balik terhadap Narapidana selama menjalani pidananya.
(5)
Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dilaksanakan sesudah
Terpidana selesai menjalani pidananya.
(6)
Pengawasan pelaksanaan putusan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan Atasan
yang Berhak Menghukum Terpidana.
(7) Hasil
pengawasan dan pengamatan dilaporkan oleh Hakim pengawas dan pengamat kepada
Kepala Pengadilan secara berkala.
Pasal 263
(1) Oditur
mengirimkan salinan berita acara pelaksanaan putusan Pengadilan yang
ditandatangani oleh Oditur, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Militer, dan
Terpidana kepada Pengadilan yang memutus, Atasan yang Berhak Menghukum, dan
Perwira Penyerah Perkara, selanjutnya salinan berita acara pelaksanaan putusan
yang diterima Pengadilan tersebut dicatat oleh Panitera dalam buku register
pengawasan dan pengamatan.
(2) Buku
register pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dikerjakan, ditutup, dan ditandatangani oleh Panitera pada setiap hari kerja
dan untuk diketahui ditandatangani juga oleh Hakim sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 262.
Bagian
Ketiga Belas
Berita Acara
Pasal 264
(1) Berita
acara dibuat untuk setiap tindakan tentang:
a.
pemeriksaan Tersangka;
b.
penangkapan;
c.
penahanan;
d.
penggeledahan;
e. pemasukan
rumah;
f. penyitaan
benda;
g.
pemeriksaan surat;
h.
pemeriksaan Saksi;
i.
pemeriksaan di tempat kejadian;
j.
pelaksanaan penetapan dan putusan Pengadilan atau Pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum; dan
k.
pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Berita
acara dibuat oleh pejabat yang bersangkutan dalam melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dibuat atas kekuatan sumpah jabatan.
(3) Berita
acara tersebut selain ditandatangani oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditandatangani pula oleh semua pihak yang terlibat dalam tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB V
HUKUM ACARA TATA USAHA MILITER
Bagian Pertama
Gugatan
Pasal 265
(1) Orang
atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dapat mengajukan gugatan tertulis
kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang berisi tuntutan supaya
Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan tersebut dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi.
(2) Alasan
yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. keputusan
Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat itu bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah menggunakan wewenangnya untuk tujuan
lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan
atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesudah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya
tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
(3) Prajurit
dan yang dipersamakan dengan prajurit dapat mengajukan gugatan sesudah seluruh
upaya administrasi yang bersangkutan telah digunakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Upaya
administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
keputusan Panglima.
Pasal 266
(1) Gugatan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata diajukan kepada Pengadilan Militer
Tinggi yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat.
(2) Apabila
Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi, gugatan
diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan dari salah satu Tergugat.
(3) Dalam
hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada di daerah hukum Pengadilan Militer
Tinggi tempat kediaman Penggugat, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Militer
Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat untuk
selanjutnya gugatan diteruskan kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang.
(4) Dalam
hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang
bersangkutan yang diatur dengan keputusan Panglima, gugatan dapat diajukan
kepada Pengadilan Militer Tinggi yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Penggugat.
(5) Apabila
Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi di Jakarta.
(6) Apabila
Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan
diajukan kepada Pengadilan Militer Tinggi di tempat kedudukan Tergugat.
Pasal 267
Gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung
sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Angkatan Bersenjata/ Instansi atasan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam hal ada upaya administrasi.
Pasal 268
(1) Gugatan
diajukan dengan memuat:
a. nama
lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal
lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal, dan
pekerjaan Penggugat atau kuasanya;
b. nama
jabatan dan tempat kedudukan Tergugat;
c. dasar
gugatan dan hal yang atau diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan Militer
Tinggi.
(2) Apabila
gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat, gugatan harus
disertai dengan surat kuasa yang sah.
(3) Gugatan
sedapat mungkin juga disertai dengan keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata
yang disengketakan oleh Penggugat.
(4) Untuk
Prajurit atau yang dipersamakan dengan prajurit, gugatan sedapat mungkin juga
disertai dengan keputusan instansi atasan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dalam upaya administrasi.
Pasal 269
(1) Para
pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh 1
(satu) orang atau beberapa orang kuasa.
(2) Apabila
Penggugat adalah Prajurit yang ingin didampingi 1 (satu) orang atau beberapa
orang kuasa, ia harus mendapat izin dari Komandan atau Kepala setingkat
Komandan Batalyon.
(3)
Pemberian kuasa dapat dilakukan dengan surat kuasa khusus atau dapat dilakukan
secara lisan di persidangan.
(4) Surat
kuasa yang dibuat di luar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara
yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara
tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh
penerjemah resmi.
(5) Apabila
dipandang perlu, Hakim berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang
bersengketa datang menghadap sendiri ke persidangan, sekalipun sudah diwakili
oleh seorang kuasa.
Pasal 270
(1) Untuk
mengajukan gugatan, Penggugat membayar uang muka biaya perkara, yang besarnya
ditaksir oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi.
(2) Setelah
Penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam daftar
perkara oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi.
(3) Paling
lambat dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah gugatan dicatat, Hakim
menentukan hari, waktu, dan tempat persidangan, serta menyuruh memanggil kedua
belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang sudah ditentukan.
(4) Surat
panggilan kepada Tergugat disertai dengan sehelai salinan gugatan dengan
pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab secara tertulis.
Pasal 271
(1)
Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi
untuk bersengketa dengan cuma-cuma.
(2) Apabila
Penggugat adalah Prajurit pada waktu mengajukan gugatan, ia harus menyertakan
surat keterangan dari atasannya.
(3) Bagi
Penggugat yang bukan prajurit, permohonan diajukan pada waktu Penggugat
mengajukan gugatannya disertai dengan surat keterangan yang menyatakan bahwa
Penggugat tidak mampu membayar biaya perkara dari kepala desa atau lurah di
tempat tinggal Pemohon.
Pasal 272
(1)
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 harus diperiksa dan ditetapkan
oleh Pengadilan Militer Tinggi sebelum pokok sengketa diperiksa.
(2)
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diambil pada tingkat pertama dan
terakhir.
(3)
Penetapan Pengadilan Militer Tinggi yang sudah mengabulkan permohonan Penggugat
untuk bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama juga berlaku pada tingkat
banding dan kasasi.
Pasal 273
(1) Dalam
rapat permusyawaratan, Kepala Pengadilan Militer Tinggi berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan bahwa gugatan yang
diajukan itu dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
a. pokok
gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan;
b. syarat
gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 tidak dipenuhi oleh Penggugat,
sekalipun ia sudah diberitahu dan diperingatkan;
c. gugatan
tersebut tidak didasarkan pada alasan yang layak;
d. apa yang
dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang digugat;
e. gugatan
diajukan sebelum waktunya atau sudah lewat waktunya.
(2) a.
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil kedua
belah pihak untuk mendengarkannya;
b.
pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat pos tercatat oleh Panitera
Pengadilan Militer Tinggi atas perintah Kepala Pengadilan Militer Tinggi,
disertai dengan bukti pengiriman.
(3) a.
terhadap penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan
perlawanan kepada Pengadilan Militer Tinggi dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari sesudah diucapkan;
b.
perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 267.
(4)
Perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan Militer Tinggi dengan acara pemeriksaan cepat.
(5) Dalam hal
perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan Militer Tinggi, penetapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gugur demi hukum dan pokok gugatan akan
diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara pemeriksaan biasa.
(6) Terhadap
putusan mengenai perlawanan itu, tidak dapat digunakan upaya hukum.
Pasal 274
(1) Dalam
hal permohonan gugatan diterima atau perlawanan dibenarkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 273 ayat (5), Kepala Pengadilan Militer Tinggi menunjuk susunan
majelis hakim dengan mengeluarkan penetapan hakim dan berdasarkan penetapan
hakim tersebut Ketua Majelis Hakim mengeluarkan penetapan hari sidang serta
memerintahkan Panitera untuk memanggil para pihak atau kuasanya dan Saksi
dengan surat pos tercatat.
(2) Surat
panggilan kepada Tergugat disertai dengan sehelai salinan surat gugatan dengan
pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab secara tertulis.
Pasal 275
(1) Untuk
menentukan hari sidang, Hakim harus mempertimbangkan jauh dekatnya tempat
tinggal kedua belah pihak dari tempat persidangan.
(2) Tenggang
waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari.
(3)
Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing
sudah menerima surat panggilan yang dikirimkan dengan surat pos tercatat.
Pasal 276
(1) Dalam
hal salah satu pihak berkedudukan atau berada di luar wilayah Negara Republik
Indonesia, Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan melakukan
pemanggilan dengan cara meneruskan surat penetapan hari sidang beserta salinan
gugatan tersebut kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
(2)
Departemen Luar Negeri Republik Indonesia segera menyampaikan surat penetapan
hari sidang beserta salinan gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalam wilayah tempat yang
bersangkutan berkedudukan atau berada.
(3) Petugas
Perwakilan Republik Indonesia dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak
dilakukan pemanggilan tersebut wajib memberi laporan kepada Pengadilan Militer
Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 277
(1) Sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan pemeriksaan
persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
(2) Dalam
pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim:
a. wajib
memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya
dengan data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari; dan
b. dapat
meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata
yang bersangkutan.
(3) Apabila
dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a Penggugat belum
menyempurnakan gugatan, Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak
dapat diterima.
(4) Terhadap
putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dapat digunakan upaya hukum,
tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Pasal 278
(1) Gugatan
tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya keputusan serta tindakan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat.
(2)
Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Angkatan Bersenjata itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata sedang berjalan sampai dengan ada putusan Pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(3)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan sekaligus dalam
gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
(4)
Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikabulkan hanya
apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat
sangat dirugikan, apabila Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang digugat
itu tetap dilaksanakan.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku apabila kepentingan
militer dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan keamanan negara
mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
Bagian Kedua
Pemeriksaan Tingkat Pertama
Paragraf 1
Acara Pemeriksaan Biasa
Pasal 279
(1) Untuk
keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum.
(2) Apabila
Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut kepentingan
militer dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan keamanan dan/atau
ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup
untuk umum.
(3) Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyebabkan
putusan batal demi hukum.
Pasal 280
(1) Dalam
hal Penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari pertama dan
pada hari yang sudah ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali sudah dipanggil dengan patut,
gugatan dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara.
(2) Dalam
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggugat berhak memasukkan gugatannya
sekali lagi sesudah membayar uang muka biaya perkara.
Pasal 281
(1) Dalam
hal Tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan 2 (dua) kali sidang
berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali sudah dipanggil dengan patut, Hakim
Ketua dengan surat penetapan meminta atasan Tergugat untuk memerintahkan
Tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan.
(2) Dalam
hal sesudah lewat 2 (dua) bulan sesudah dikirimkan dengan surat pos tercatat
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterima berita, baik dari
atasan Tergugat maupun dari Tergugat, Hakim Ketua menetapkan hari sidang
berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa tanpa
hadirnya Tergugat.
(3) Putusan
terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya sesudah pemeriksaan mengenai segi
penyelesaiannya dilakukan secara tuntas.
Pasal 282
(1) Dalam
hal terdapat lebih dari 1 (satu) orang Tergugat dan 1 (satu) orang atau lebih
di antara mereka atau kuasanya tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan, pemeriksaan sengketa itu dapat ditunda sampai hari
sidang berikutnya yang ditentukan oleh Hakim Ketua.
(2)
Penundaan sidang itu diberitahukan kepada pihak yang hadir, sedangkan terhadap
pihak yang tidak hadir oleh Hakim Ketua diperintahkan untuk dipanggil sekali
lagi.
(3) Apabila
pada hari penundaan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Tergugat atau
kuasanya masih ada yang tidak hadir, sidang dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 283
(1) Pemeriksaan
sengketa dimulai dengan membacakan isi gugatan dan surat yang memuat jawabannya
oleh Hakim Ketua dan apabila tidak ada surat jawaban, pihak Tergugat diberi
kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
(2) Hakim
Ketua memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak untuk menjelaskan
seperlunya hal yang akan diajukan oleh mereka masing-masing.
Pasal 284
(1)
Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan
replik, asalkan disertai dengan alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan
Tergugat, dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.
(2) Tergugat
dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik,
asalkan disertai dengan alasan yang cukup, serta tidak merugikan kepentingan
Penggugat, dan hal tersebut harus dipertimbangkan dengan saksama oleh Hakim.
Pasal 285
(1)
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum Tergugat memberikan
jawaban.
(2) Apabila
Tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh
Penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Militer Tinggi hanya apabila
disetujui Tergugat.
Pasal 286
(1) Eksepsi
tentang kewenangan absolut Pengadilan Militer Tinggi dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan
absolut Pengadilan Militer Tinggi apabila Hakim mengetahui hal itu, ia karena
jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan Militer Tinggi tidak berwenang
mengadili sengketa yang bersangkutan.
(2) Eksepsi
tentang kewenangan relatif Pengadilan Militer Tinggi diajukan sebelum
disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus
sebelum pokok sengketa diperiksa.
(3) Eksepsi
lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan Militer Tinggi hanya dapat
diputus bersama dengan pokok sengketa.
Pasal 287
(1) Seorang
Hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan suatu perkara apabila terikat
hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, hubungan suami
atau istri meskipun sudah bercerai dengan Hakim Ketua, salah seorang Hakim
Anggota atau Panitera.
(2) Seorang
Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat
hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau
istri meskipun sudah bercerai dengan Tergugat atau Penggugat atau dengan
Penasihat Hukum.
(3) Hakim
atau Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diganti dan
apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa sudah
diputus, sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 288
(1) Seorang
Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa.
(2)
Pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas kehendak
Hakim atau Panitera atau atas permintaan salah satu atau pihak yang
bersengketa.
(3) Apabila
ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pejabat Pengadilan yang berwenang yang menetapkan.
(4) Hakim atau
Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus diganti, dan
apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan sengketa sudah
diputus, sengketa tersebut wajib segera diadili ulang dengan susunan yang lain.
Pasal 289
Demi kelancaran
pemeriksaan sengketa di dalam sidang, Hakim Ketua berhak memberikan petunjuk
kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti yang
dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
Pasal 290
Penggugat,
Tergugat, dan Penasihat Hukum dapat mempelajari berkas perkara dan surat resmi
lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya dengan
izin Kepala Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 291
Para pihak
yang bersangkutan dapat membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan
segala surat pemeriksaan perkaranya dengan biaya sendiri, sesudah memperoleh
izin Kepala Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan.
Pasal 292
(1) Selama
pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak
lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Militer Tinggi, baik atas prakarsa
sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa Hakim, dapat masuk
dalam sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata dan bertindak sebagai:
a. pihak
yang membela haknya; atau
b. peserta
yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
(2)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikabulkan atau ditolak
oleh Pengadilan Militer Tinggi dengan putusan yang dicantumkan dalam berita
acara sidang.
(3)
Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus
bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok
sengketa.
Pasal 293
(1) Apabila
dalam persidangan penerima kuasa melakukan tindakan yang melampaui batas
wewenangnya, pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis, disertai
dengan tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan
Militer Tinggi.
(2) Apabila
sangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan, Hakim wajib menetapkan
dalam putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa itu
dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan.
(3) Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibacakan dan/atau diberitahukan kepada para
pihak yang bersangkutan.
Pasal 294
(1) Untuk
kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua memandang perlu, ia dapat
memerintahkan pemeriksaan terhadap surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha
Angkatan Bersenjata atau Pejabat lain yang menyimpan surat atau yang meminta
penjelasan dan keterangan tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.
(2) Selain
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hakim Ketua dapat memerintahkan pula
supaya surat tersebut diperlihatkan kepada Pengadilan Militer Tinggi dalam
persidangan yang akan ditentukan untuk keperluan itu.
(3) Apabila
surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum diperlihatkan oleh
penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai ganti yang asli selama surat
yang asli belum diterima kembali dari Pengadilan Militer Tinggi.
(4) Apabila
pemeriksaan tentang kebenaran suatu surat menimbulkan persangkaan bahwa surat
itu dipalsukan oleh seseorang yang masih hidup, Hakim Ketua dapat mengirimkan
surat tersebut kepada Penyidik yang berwenang, dan pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Angkatan Bersenjata dapat ditunda sampai putusan perkara pidananya
dijatuhkan.
Pasal 295
(1) Atas
permintaan salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim Ketua dapat
memerintahkan 1 (satu) orang Saksi untuk didengar di persidangan.
(2) Apabila
Saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun sudah
dipanggil dengan patut dan Hakim cukup mempunyai alasan untuk menyangka bahwa
Saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua dapat memberi perintah supaya Saksi
dibawa oleh petugas Polisi Militer/polisi ke persidangan.
(3) Seorang
Saksi yang tidak bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi,
yang bersangkutan tidak diwajibkan datang di Pengadilan Militer Tinggi
tersebut, tetapi pemeriksaan Saksi itu dapat diserahkan kepada Pengadilan
Militer Tinggi yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Saksi.
Pasal 296
(1) Saksi
dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
(2) Hakim
Ketua menanyakan kepada Saksi nama lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat,
jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin,
kewarganegaraan, agama, tempat tinggal, pekerjaan, derajat hubungan keluarga,
dan hubungan kerja dengan Penggugat atau Tergugat.
(3) Sebelum
memberi keterangan, Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
Pasal 297
Yang tidak
boleh didengar sebagai Saksi ialah:
a. keluarga
sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau ke bawah sampai
dengan derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa;
b. istri
atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai;
c. anak yang
belum berumur 17 (tujuh belas) tahun; atau
d. orang
sakit ingatan.
Pasal 298
(1) Orang
yang dapat meminta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian
ialah:
a. saudara
laki-laki atau perempuan, ipar laki-laki atau perempuan salah satu pihak; atau
b. setiap
orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya
itu.
(2) Ada atau
tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diserahkan kepada pertimbangan Hakim.
Pasal 299
(1)
Pertanyaan yang diajukan kepada Saksi oleh salah satu pihak disampaikan melalui
Hakim Ketua.
(2) Apabila
pertanyaan tersebut menurut pertimbangan Hakim Ketua tidak ada kaitannya dengan
sengketa, pertanyaan itu ditolak.
Pasal 300
(1) Apabila
Penggugat atau Saksi tidak memahami bahasa Indonesia, Hakim Ketua dapat
mengangkat seorang ahli alih bahasa.
(2) Sebelum
melaksanakan tugasnya, ahli alih bahasa tersebut wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut agamanya untuk mengalihkan bahasa yang dipahami oleh Penggugat
atau Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam bahasa Indonesia dan
sebaliknya dengan sebaik-baiknya.
(3) Orang
yang menjadi Saksi dalam sengketa tidak boleh ditunjuk sebagai ahli alih bahasa
dalam sengketa tersebut.
Pasal 301
(1) Dalam
hal Penggugat atau Saksi bisu dan/atau tuli dan tidak dapat menulis, Hakim
Ketua dapat mengangkat orang yang pandai bergaul dengan Penggugat atau Saksi
sebagai juru bahasa.
(2) Sebelum
melaksanakan tugasnya, juru bahasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
(3) Dalam
hal Penggugat atau Saksi bisu dan/atau tuli tetapi pandai menulis, Hakim Ketua
dapat menyuruh menuliskan pertanyaan atau teguran kepadanya, dan menyuruh
menyampaikan tulisan itu kepada Penggugat atau Saksi tersebut dengan perintah
supaya ia menuliskan jawabannya, kemudian segala pertanyaan dan jawaban harus
dibacakan.
Pasal 302
Pejabat yang
dipanggil sebagai Saksi wajib hadir di persidangan.
Pasal 303
(1) Saksi
wajib mengucapkan sumpah atau janji dan didengar di persidangan Pengadilan
Militer Tinggi dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Apabila
yang bersengketa sudah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan, Saksi dapat didengar keterangannya tanpa
kehadiran pihak yang bersengketa.
(3) Dalam
hal Saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan
yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang ke tempat
kediaman Saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar Saksi
tersebut.
Pasal 304
(1) Apabila
suatu sengketa tidak dapat diselesaikan pemeriksaannya pada suatu hari
persidangan, pemeriksaan dilanjutkan pada hari persidangan berikutnya.
(2) Lanjutan
sidang harus diberitahukan kepada kedua belah pihak dan bagi mereka
pemberitahuan ini disamakan dengan panggilan.
(3) Dalam
hal salah satu pihak yang datang pada hari persidangan pertama ternyata tidak
datang pada hari persidangan selanjutnya, Hakim Ketua memerintahkan Panitera
untuk memberitahukan waktu, hari, dan tanggal persidangan berikutnya kepada
pihak tersebut.
(4) Dalam
hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap tidak hadir tanpa alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan sekalipun ia telah diberitahu secara patut,
pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pasal 305
Dalam hal
selama pemeriksaan sengketa ada tindakan yang harus dilakukan dan memerlukan
biaya, biaya tersebut harus dibayar dahulu oleh pihak yang mengajukan
permohonan untuk dilakukannya tindakan tersebut.
Pasal 306
(1) Dalam
hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan
masing-masing.
(2) Setelah
kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Hakim Ketua menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada
Majelis Hakim bermusyawarah secara tertutup dan rahasia untuk mempertimbangkan
segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
(3) Putusan
dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua merupakan hasil
permufakatan bulat, kecuali apabila sesudah diusahakan dengan sungguh-sungguh
tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak.
(4) Apabila
musyawarah majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat menghasilkan
putusan, musyawarah ditunda sampai musyawarah majelis berikutnya.
(5) Apabila
dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak, suara
terakhir Hakim Ketua yang menentukan.
Pasal 307
(1) Putusan
Pengadilan Militer Tinggi dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang
terbuka untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan kepada
kedua belah pihak.
(2) Putusan
Pengadilan Militer Tinggi dapat berupa:
a. gugatan
ditolak;
b. gugatan
dikabulkan;
c. gugatan
tidak diterima; atau
d. gugatan
gugur.
Pasal 308
(1) Apabila
gugatan dikabulkan, dalam putusan Pengadilan Militer Tinggi tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha
Angkatan Bersenjata yang mengeluarkan keputusan tersebut.
(2) Kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.
pencabutan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan;
b.
pencabutan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang baru; atau
c.
penerbitan Keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata dalam hal gugatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3)
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disertai dengan pembebanan
ganti rugi.
(4) Dalam
hal putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyangkut bidang personel, di samping kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Paragraf 2
Acara Pemeriksaan Cepat
Pasal 309
(1) Apabila
terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan
dari alasan permohonannya, Penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada
Pengadilan Militer Tinggi supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Kepala
Pengadilan Militer Tinggi dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengeluarkan penetapan tentang
dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap
penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat digunakan upaya
hukum.
Pasal 310
(1)
Pemeriksaan dengan acara pemeriksaan cepat dilakukan dengan Hakim Tunggal.
(2) Dalam
hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (1) dikabulkan, Kepala
Pengadilan Militer Tinggi dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sesudah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309 ayat (2)
menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan
persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277.
(3) Tenggang
waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-masing
ditentukan paling lama 14 (empat belas) hari.
Paragraf 3
Pembuktian dan Putusan
Pasal 311
Pembuktian dan Putusan
Pasal 311
(1) Alat
bukti ialah:
a. surat
atau tulisan;
b.
keterangan ahli;
c.
keterangan saksi;
d. pengakuan
para pihak; dan
e.
pengetahuan hakim.
(2) Keadaan
yang sudah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
Pasal 312
Surat
sebagai alat bukti terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu:
a. akta
autentik, adalah surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum,
yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang
membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
b. akta di
bawah tangan, adalah surat yang dibuat dan ditanda-tangani oleh pihak-pihak
yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; dan
c.
surat-surat lain yang bukan akta.
Pasal 313
(1)
Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengetahuan dan pengalamannya.
(2)
Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai Saksi berdasarkan Pasal 297 tidak
boleh memberikan keterangan ahli.
Pasal 314
(1) Hakim
Ketua karena jabatannya atau atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu
pihak dapat menunjuk 1 (satu) orang atau beberapa orang ahli untuk didengar di
persidangan.
(2) Seorang
ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan
lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang
pengetahuan dan pengalamannya yang sebaik-baiknya.
Pasal 315
Keterangan
Saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal
yang dialami, dilihat dan/atau didengar oleh saksi sendiri.
Pasal 316
Pengakuan
para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan
dapat diterima oleh Hakim.
Pasal 317
Pengetahuan
Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Pasal 318
Hakim
menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian
pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua)
alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Pasal 319
(1) Putusan
Pengadilan Militer Tinggi harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(2) Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan
Pengadilan Militer Tinggi diucapkan, atas perintah Hakim Ketua, salinan putusan
itu disampaikan dengan surat pos tercatat kepada yang bersangkutan.
(3) Tidak
dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat putusan
Pengadilan Militer Tinggi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 320
(1) Putusan
Pengadilan harus memuat:
a. kepala
putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BER-DASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA";
b. nama
lengkap, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal
lahir/umur, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, tempat tinggal para pihak
yang bersengketa;
c. ringkasan
gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d.
pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi di
persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan
hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar
putusan tentang sengketa dan biaya perkara; dan
g. hari
tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan
tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak
dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.
(3) Surat
putusan ditandatangani oleh Hakim dan Panitera segera sesudah putusan itu
diucapkan.
(4) Apabila
Hakim Ketua pada pemeriksaan dengan acara biasa atau pemeriksaan dengan acara
cepat berhalangan menandatangani, putusan Pengadilan Militer Tinggi ditandatangani
oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi dengan menyatakan berhalangannya Hakim
Ketua tersebut.
(5) Apabila
Hakim Anggota berhalangan menandatangani, putusan Pengadilan Militer Tinggi
ditandatangani oleh Hakim Ketua dengan menyatakan berhalangannya Hakim Anggota
tersebut.
Pasal 321
Pihak yang
dikalahkan untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara.
Pasal 322
Yang
termasuk dalam biaya perkara ialah:
a. biaya
kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya
saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta
pemeriksaan lebih dari 5 (lima) orang saksi harus membayar biaya untuk saksi
yang lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. biaya
pemeriksaan di tempat lain dari ruang sidang dan biaya lain yang diperlukan
bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua.
Pasal 323
Jumlah biaya
perkara yang harus dibayar oleh Penggugat dan/atau Tergugat disebut dalam amar
putusan akhir Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 324
(1) Putusan
Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam
sidang tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, tetapi hanya dicantumkan dalam
berita acara sidang.
(2) Pihak
yang berkepentingan langsung dengan putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat
meminta salinan resmi putusan itu dengan membayar biaya salinan.
Pasal 325
(1) Pada
setiap pemeriksaan, Panitera harus membuat berita acara sidang yang memuat
segala sesuatu di sidang.
(2) Berita
acara sidang ditandatangani oleh Hakim Ketua dan Panitera dan apabila salah
seorang dari mereka berhalangan, hal ini dinyatakan dalam berita acara
tersebut.
(3) Apabila
Hakim Ketua dan Panitera berhalangan menandatangani, berita acara
ditandatangani oleh Kepala Pengadilan Militer Tinggi dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Ketua dan Panitera tersebut.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan Tingkat Banding
Pasal 326
Terhadap
putusan Pengadilan Militer Tinggi dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh
Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Militer Utama.
Pasal 327
(1)
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Militer Tinggi yang
menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah
putusan Pengadilan Militer Tinggi itu diberitahukan kepadanya secara sah.
(2)
Permohonan pemeriksaan banding disertai dengan pembayaran uang muka biaya
perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.
Pasal 328
Putusan
Pengadilan Militer Tinggi yang bukan putusan akhir, hanya dapat dimohonkan
pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir.
Pasal 329
(1)
Permohonan pemeriksaan banding dicatat oleh Panitera dalam buku register
perkara.
(2) Panitera
memberitahukan hal tersebut kepada pihak terbanding.
Pasal 330
(1) Paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat,
Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat mempelajari
berkas perkara di kantor Pengadilan Militer Tinggi dalam tenggang waktu 30
(tiga puluh) hari sesudah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
(2) Salinan
putusan, berita acara, dan surat lain yang bersangkutan harus dikirimkan kepada
Panitera Pengadilan Militer Utama paling lambat 60 (enam puluh) hari sesudah
pernyataan permohonan pemeriksaan banding.
(3) Para
pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding serta
surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Militer Utama dengan
ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori diberikan kepada pihak
lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadilan Militer Tinggi.
Pasal 331
(1)
Pengadilan Militer Utama memeriksa dan memutus perkara banding dengan
sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim.
(2) Apabila
Pengadilan Militer Utama berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Militer
Tinggi kurang lengkap, Pengadilan Militer Utama tersebut dapat mengadakan
sidang sendiri untuk melakukan pemeriksaan tambahan atau memerintahkan
Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan
itu.
(3) Terhadap
putusan Pengadilan Militer Tinggi yang menyatakan tidak berwenang memeriksa
perkara yang diajukan kepadanya, sedangkan Pengadilan Militer Utama berpendapat
lain, Pengadilan Militer Utama tersebut dapat memeriksa dan memutus sendiri
perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Militer Tinggi yang bersangkutan
supaya memeriksa dan memutusnya.
(4) Panitera
Pengadilan Militer Utama dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan
putusan Pengadilan Militer Utama beserta surat pemeriksaan dan surat lain
kepada Pengadilan Militer Tinggi yang memutus pada pemeriksaan tingkat pertama.
Pasal 332
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 dan Pasal 288 berlaku juga bagi
pemeriksaan pada tingkat banding.
(2)
Ketentuan tentang hubungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 288 ayat
(1) berlaku juga antara Hakim dan/atau Panitera pada tingkat banding dengan
Hakim atau Panitera pada tingkat pertama yang sudah memeriksa dan memutus
perkara yang sama.
(3) Apabila
seorang Hakim yang memutus pada tingkat pertama kemudian menjadi Hakim pada
Pengadilan Militer Utama, Hakim tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama
pada tingkat banding.
Pasal 333
Sebelum
permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan Militer Utama,
permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh Pemohon, dan dalam hal
permohonan pemeriksaan banding sudah dicabut, tidak dapat diajukan lagi
meskipun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum
lampau.
Pasal 334
Dalam hal
salah satu pihak sudah menerima dengan baik putusan Pengadilan Militer Tinggi,
ia tidak dapat mencabut kembali pernyataan tersebut, meskipun tenggang waktu
untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding tersebut belum lampau.
Bagian Keempat
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Pasal 335
Pemeriksaan Tingkat Kasasi
Pasal 335
(1) Terhadap
putusan Pengadilan tingkat banding, dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung.
(2) Acara
pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan yang Sudah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Pasal 336
(1) Terhadap
putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan
permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara
pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 14
tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Bagian Keenam
Pelaksanaan Putusan Pengadilan
Pasal 337
Hanya
putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan.
Pasal 338
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap dikirimkan kepada
para pihak dengan surat pos tercatat oleh Panitera Pengadilan Militer Tinggi
setempat atas perintah Kepala Pengadilan Tinggi yang mengadilinya pada tingkat
pertama paling lambat dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam
hal 4 (empat) bulan sesudah putusan Pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan
hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak
melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (2) huruf
a, keputusan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam
hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 308 ayat (2) huruf b dan huruf c dan kemudian sesudah tenggang
waktu 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya,
Penggugat mengajukan permohonan kepada Kepala Pengadilan Militer Tinggi
sebagaimana di maksud pada ayat (1), supaya Pengadilan Militer Tinggi
memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4) Apabila
Tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Kepala Pengadilan Militer
Tinggi mengajukan hal itu kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan.
(5) Instansi
atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam tenggang waktu 2 (dua) bulan
sesudah menerima pemberitahuan dari Kepala Pengadilan Militer Tinggi harus
sudah memerintahkan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk
melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(6) Dalam
hal instansi atasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengindahkan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Pengadilan Militer Tinggi
mengajukan hal itu kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
tertinggi untuk memerintahkan pejabat yang bersangkutan untuk melaksanakan
putusan Pengadilan tersebut.
Pasal 339
(1)
Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4),
apabila Tergugat tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan
yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan
yang terjadi sesudah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh kekuatan
hukum tetap, Tergugat wajib memberitahukan hal itu kepada Kepala Pengadilan
Militer Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 337 ayat (1) dan Penggugat.
(2) Dalam
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sesudah menerima pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Kepala
Pengadilan Militer Tinggi yang sudah mengirimkan putusan pengadilan yang sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut agar Tergugat dibebani kewajiban
membayar sejumlah uang atau kompensasi lain yang diinginkan.
(3) Kepala
Pengadilan Militer Tinggi sesudah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan
tercapainya persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus
dibebankan kepada Tergugat.
(4) Apabila
sesudah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat diperoleh kata
sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Kepala Pengadilan
Militer Tinggi dengan penetapan yang disertai dengan pertimbangan yang cukup
menentukan jumlah uang atau kompensasi lain yang dimaksud.
(5)
Penetapan Kepala Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dapat diajukan baik oleh Penggugat maupun oleh Tergugat kepada Mahkamah Agung
untuk ditetapkan kembali.
(6) Putusan
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib ditaati kedua belah
pihak.
Pasal 340
(1) Dalam
hal putusan Pengadilan Militer Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat
(4) berisi kewajiban bagi Tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau
diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut
ketentuan Pasal 292 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan
dilaksanakannya putusan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap itu, dapat
mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut
kepada Pengadilan Militer Tinggi yang mengadili sengketa itu pada tingkat
pertama.
(2) Gugatan
perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada saat
sebelum putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap itu
dilaksanakan dengan memuat alasan tentang permohonannya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 dan terhadap permohonan perlawanan itu
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 dan Pasal 277.
(3) Gugatan
perlawanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dengan sendirinya
mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap tersebut.
Pasal 341
Kepala
Pengadilan Militer Tinggi wajib mengawasi pelaksanaan putusan yang sudah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Bagian Ketujuh
Ganti rugi dan Rehabilitasi
Pasal 342
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan kepada
Penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan
Putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikirimkan pula oleh Pengadilan Militer Tinggi kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dibebani kewajiban
membayar ganti rugi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan
pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Besarnya
ganti rugi beserta tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 308 ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 343
(1) Dalam
hal gugatan yang berkaitan dengan bidang administrasi personel dikabulkan
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 308 ayat (4), salinan
putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada
Penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan itu memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(2) Salinan
putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikirimkan pula oleh Pengadilan Militer Tinggi kepada
Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang dibebani kewajiban
melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari sesudah putusan
itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
BAB VI
KETENTUAN LAIN
Pasal 344
(1) Dalam
hal Pengadilan memeriksa dan memutus perkara yang memerlukan keahlian khusus,
Kepala Pengadilan dimaksud dapat menunjuk seorang atau lebih Hakim Ad Hoc
sebagai Anggota Majelis.
(2) Untuk
dapat ditunjuk sebagai Hakim Ad Hoc seorang Prajurit harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 kecuali syarat berijazah
Sarjana Hukum dan syarat berpengalaman di bidang peradilan dan/atau hukum.
(3)
Persyaratan sumpah jabatan dan larangan merangkap jabatan sebagaimanan dimaksud
dalam Pasal 22 dan Pasal 23 berlaku bagi Hakim Ad Hoc.
(4) Tata
cara penunjukan Hakim Ad Hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 345
(1) Hakim
Ketua memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan.
(2) Segala
sesuatu yang diperintahkan oleh Hakim Ketua untuk memelihara tata tertib di
persidangan wajib segera dilaksanakan dengan cermat.
Pasal 346
Saksi atau
ahli yang hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberi keterangan pada semua
tingkat pemeriksaan berhak mendapat penggantian biaya menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 347
(1) Siapapun
dilarang membawa senjata api, bahan peledak, senjata tajam, atau alat/benda
yang dapat membahayakan keamanan sidang dan siapa yang membawanya wajib
menitipkan di tempat yang khusus disediakan untuk itu.
(2) Petugas
keamanan sidang Pengadilan berhak mengadakan penggeledahan badan untuk menjamin
bahwa kehadiran seseorang di ruang sidang tidak membawa senjata api, bahan
peledak, senjata tajam atau alat/benda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
apabila terdapat petugas mempersilakan yang bersangkutan untuk menitipkannya.
Pasal 348
(1) Dalam
ruang sidang siapa pun wajib menunjukkan sikap hormat kepada Pengadilan.
(2) Siapa
pun yang hadir dalam sidang pengadilan yang tidak mentaati tata tertib
persidangan dan sesudah diperintahkan oleh Hakim Ketua, tetap tidak menaati,
atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang.
(3) Hakim
Ketua dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur 17 (tujuh belas)
tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.
Pasal 349
(1) Sidang
Pengadilan dilangsungkan di gedung Pengadilan atau di tempat lain yang
ditentukan oleh Kepala Pengadilan.
(2) Tata
ruang, pakaian seragam, dan tata tertib persidangan lain-lain diatur lebih
lanjut dengan keputusan Panglima.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 350
Pada saat
berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan yang sudah ada
mengenai susunan dan kekuasaan Pengadilan dan Oditurat serta Hukum Acara Pidana
Militer dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan peraturan perundang-undangan
baru berdasarkan Undang-undang ini belum dikeluarkan dan sepanjang peraturan
itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 351
Semua Hakim,
Oditur, dan Panitera pada Peradilan Militer yang pada saat Undang-undang ini
mulai berlaku sudah diangkat secara sah pada jabatan-jabatan yang bersangkutan,
dianggap sudah diangkat dengan sah menurut ketentuan dalam Undang-undang ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 352
Pada saat
mulai berlakunya Undang-undang ini, maka:
1.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat
tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan
Ketentaraan (Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950) sebagai Undang-undang
Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 52) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 22 Pnps Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 91,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2781);
2.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-undang Darurat
tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara (Undang-undang Darurat Nomor
17 Tahun 1950) sebagai Undang-undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor
53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 13), sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1950 (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 53) tentang Hukum Acara Pidana
pada Pengadilan Ketentaraan (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 1493);
3.
Undang-undang Nomor 5 Pnps Tahun 1965 tentang Pembentukan Pengadilan Bersama
Angkatan Bersenjata (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2739);
4.
Undang-undang Nomor 3 Pnps Tahun 1965 tentang Memperlakukan Hukum Pidana
Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara bagi
Anggota-anggota Angkatan Kepolisian (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 21, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2737), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 23 Pnps Tahun 1965 tentang Perubahan dan Tambahan Pasal 2 Penetapan
Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965
Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2782);
dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 353
Undang-undang
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, khusus mengenai Hukum Acara Tata
Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini diundangkan.
Agar setiap
orang mengetahui, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di
Jakarta
pada tanggal
15 Oktober 1997
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan
di Jakarta
pada tanggal
15 Oktober 1997
MENTERI
NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK
INDONESIA
ttd
MOERDIONO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 84
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3713
Tidak ada komentar:
Posting Komentar