Mungkin sering kali temen-temen yang mendengar adanya keributan, adanya konflik warga dan pemda, dan pengadilan dan itu di sebabkan karena soal pembebasan tanah, atau pemerintah inginkan tanah warga dan penduduk, namun penduduk tidak mau membebaskan karena tanah mereka lahan mereka (misalnya), ataupun di sebab kan ganti rugi yang di bayarkan pemerintah tidak sesuai dengan apa yang di inginkan penduduk, mungkin makalah ini bisa memberikan sedikit pemehaman ke pada anda apa dan bagaimana itu
bisa terjadi.. selamat membaca....
bisa terjadi.. selamat membaca....
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN.[1]
Setelah
Indonesia merdekatidakadaperaturan yang mengatur baik pembebasan tanah atau pencabutan
hak atas tanah. Atas dasar Pasal II AturanPeralihan UUD 1945 makaperaturan yang
ada dan berlaku pada saat itu tetap dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat
yang baru dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan adanya
ketentuan tersebut maka ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda yang diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah di rubah
dengan Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah sebagaimana diatur
dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku.
Pada
tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai pembebasan tanah.
Sedangkan pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA.DalamPasal 18 UUPA
disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberiganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang.
Dari ketentuanPasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa pencabutan hak atas
tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan
umum.
Kewenangan
Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di
Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai Negara Hak menguasai negara memberikan
kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara Dan dalam perkecualian untuk
kepentinga numum baru dapat mengambil alih hak atas tanah rakyat. Negara tidak memilikise
mua tanah maka Negara harus membayar kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik
rakyat untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut.
Berbeda
dengan HakMenguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara sebagai personifikasi
seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, mengatur dan menentukan
hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum publik Menurutasasini,
Negara tidak dapat memiliki tanah sebagaimana perseorangan, meskipun Negara
dapat menguasai tanah Negara Prinsip ini harus ditafsirkan sebagai peran
Negara, yaitu sebagaiwasit yang adil yang menentukanaturan main yang ditaati oleh
semua pihak dan bahwa Negara juga tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri ketika
turut berperan sebagai aktor Sebaliknya dengan konsep fungsi sosial hak atas tanah
yang juga menjadi legitimasi Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan
umum ini.
Sebagai
peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-UndangNomor 20 Tahun 1961
Tentang Pencabutan HakAtas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran
Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambagan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2324.
DengankeluarnyaUndang-UndangNomor 20 Tahun 1961 tersebut maka ketentuan mengenai
pencabutan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana diatur dalam
Onteigening sordonnantie (Stb. 1920 Nomor 574) dinyatakan tidak berlaku.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari Pencabutan Hak Atas Tanah
?
2. Apa yang menjadi landasan hukum dari Pencabutan Hak Atas Tanah ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. DASAR PENGERTIANYA
Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya
masalah bahwa tanah adalah sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan
tanah yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa
timbul karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya
penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata
pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia
pemerintah memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna
keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan
sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan
bahwa semua hak atas tanah. Jadi kedua pasal tersebut menjadi landasan
hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat
untuk keperluan pembangunan.
Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua
cara yang di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang
dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah
(prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening)[2]
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan
hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara
pemberian ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua
pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa
oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu
menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian
dalam memenuhi kewajiban hukumnya.
Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas
tanah baik mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya.
Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun
1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres No. 9 tahun di dalam PMDN No. 15 tahun
1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75,
surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain.[3]
B. PENCABUTAN HAK ATAS TANAH.
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu
sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah
warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan
bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan.
Dalam pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria,
kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan
benda-benda yang ada di atasnya”
Memperhatikan ketentuan
yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden
mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya,
terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang
berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun
1961[4]
Dan dasar pokok dari UU No
20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18
UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara
dapat melakukan pencabutan hak atas
tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama
dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang
layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
Untuk melaksanakan
ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening tersebut dituntut persayaratan
tegas dan ketat sebagai berikut:
1) Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan
bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini
harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini.
2) Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961
pencabutan hak atas tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
3) Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di
sertai ganti rugi yang layak.
Pencabutan hak yang
dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah
merupakan perbuatan melanggar hukum atau
menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.[5]
C. TATA CARA PENETAPAN GANTI RUGI
Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti
kerugian atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat
pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban
untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan
pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian
oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada di atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39
tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding tersebut pada pasal 1
peraturan pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah
kekuasanya meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya
dalam waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud
dalam pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang
bersangkutan”
Dalam
kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka pemohon banding
mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat
atau dengan lisan kepada panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1
peraturan pemerintah yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan
secara lisan permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya
perkara yang di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding
tidak mampu, maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan
dari pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini.
Untuk
kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka
pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4
dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah
diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan
tinggi yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang
sesingkat-singakatnya.
Berkaitan
dengan perkara tersebut, untuk memperlancar jalannya pemeriksaan, maka
pengadilan tinggi dapat memanggil para pihak untuak di dengar keterangannya
masing masaing (pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya permintaan keterangan dari para
pihak dapat di limpahkan oleh pengadilan tinggi ke pengadilan negeri, di mana
tanah dan benda-benda tersebut terletak (ayat (2)).
Pertimbangan
pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah, tidak mau
menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari
presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak
dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang hak atas
tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini
membuat Presiden mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun 1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas
tanah dan benda-benda diatasnya. Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada
semua mentri dan gubernur di seluruh indonesia, bahwa:
“Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda
yang ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum
dan dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara
yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan
perundang-perundangan yang berlaku.”
Dalam
instrusi presiden ini telah di tentukan bawa pembangunan yang bersifat
kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut:
a) Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau
b) Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c) Kepentingan rakyat banyak, dan/atau
d) Kepentingan pembangunan.
[6]Berkaitan
dengan poin di atas, menyangkut kegiatan yang dapat dikategorikan sebagi
kepentingan umum, maka dalam intruksi presiden tersebut telah di tetapkan
biidang bangunan yang masuk dalam kategori sifat kepentingan umum sebagai
berikut:
a) Pertahanan;
b) Pekerjaan umum;
c) Jasa umum;
d) Keagamaan;
e) Ilmu pengetahaun dan seni budaya;
f) Kesehatan;
g) Olahraga;
h) Perlengkapan umum;
i)
Keselamatan umum terhadap bencana;
j)
Kesejahteraan sosial;
k) Makam/kuburan
l)
Pariwisata dan rekriasi;
m) Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi
kesejahteraan umum.
Suatu
hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi presiden ini menyangkut mengenai
penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan
demi kepentingan umum, karena alasan sangat mendesak. Hal ini di atur dalam
pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut:
Dengan
tetap memperhatikan kepentingan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, naka
penguasaan atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak sebagai di maksud
dalam pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961 (lembaran negara tahun 1961 nomor 288)
hanya dapat dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki keadaan sangat
mendesak, di mana penundaan pelaksanaanya dapat menimbulkan bencana alam yang
dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan
tanah tersebut sangat di perlukan dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang
oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya
di anggap tidak dapat di tunda-tunda lagi.
Menelaah
ketentuan dalam intruksi Presiden di atas, maka pencabutan hak atas tanah
dengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak merupakan persyaratan yang
sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan mengenai dapat dilakukan dengan
alasan menimbulkan bencana alam akan mengancam keselamatan umum merupakan
persyaratan kedua yang mensyaratkan agar pencabutan dapat dilakukan dengan
dalih suatu pembangunan yang sangat sulit untuk di buktikan. Oleh kerena itu,
kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang sangat sulit di buktikan. Oleh karena itu,
kesimpulannya bahwa pelaksanaan pencabutan hak atas tanah meruoakan instrumen
hukum yang sangat melindungi kepentingan pemegang hak atas tanah.
D. PEMBEBASAN TANAH
Masalah
pembebasan tanah sekarang ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai
peraturan, surat edaranatau intruksi yang dio keluarkan oleh Dapertemen Dalam
Negeri. Beberapa di antartaranya:
1) Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15
tahun 1975 (tanggal 13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata
cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.
2) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun
1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk swasta.
3) Surat edaran Direktorat jendral agraria
tanggal 28 februari 1978 No. BTU
2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan
mengenai tata cara pembebasan tanah.
Dalam
prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961 jarang dipergunakan,
artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka pembangunan dan kepentingan umum
prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur pembebasan tanah (PMDN No. 15
tahun 1975). Hal itu disebabkan proses pencabutan (UU No. 20 tahun 1961) akan
memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah;
sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun 1975) adalah lebih cepat dan
dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan masyarakat karena untuk
adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah sehingga ada kata sepakat.[7]
Sekalipun
demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu memberikan jalan keluar memberikanmu jalan
keluar bilamana kita sepakat (yang di haruskan itu) tidak bisa di capai dengan
dalam musyawarah. Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975
merupakan sekedar penyederhanaan pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang
bukan sekedar menyangkut besarnya ganti rugi dalam musyawarah ialah menyangkut
masalah pemukiman dan sumber penghidupann khususnya bagi pemilik tanah yang
hidup dari bertani.
Selain
itu keluarnya PMDN No. 15 tahun1975 itu pernah menimbulkan kontoversi di
kalangan sarjana hukum. Ada yang mempersoalkan bahwa ditinjau dari segi
materinya PMDN itu di uji kepada doktrin bahwa ada pembatasan wewenang bagi
badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materiil dengan anggapan
bahwa pembebasan tanah sama dengan pencabutan hak berarti bahwa PMDN itu
mengantar materi undang-undang. Kebatalan itu di sebabkan:
a) Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang
membuat peraturan yang mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenag.
b) Mengenai pencabutan hak undang-undang No. 20
tahun 1961 telah menunjuk presiden sebagai instasi yang berwenang memutuskanya
(buakan wewenag menteri)
c) PMDN tersebut mengatur soal yang telah diatur
dengan undang-undang yaitu UU No. 20 tahun 1961, sedangkan isi PMDN tersebut
tidak sejalan dengan undang-undang itu.[8]
Terlepas
dari kontroversi itu, untuk keperluan akademis, berikut akan di jelaskan prosedur
dengan prosedur pencabutan dan pembebasan sehingga bisa diketahui
perbedaan dan persamaanya.
E. PROSEDUR PENCABUTAN HAK ATAS TANAH[9]
Pencabutan
hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU No. 20
tahun 1961 dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 UU
No. 20 tahun 1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8 UU
No. 20 tahun1961)
1. Dengan acara biasa
Dalam
acara biasa pihak pemohon (instansi yang membutuhkan tanah) menyampaikan
permohonan kepada Presiden RI denganperantara Menteri Dalam negeri /drijen
Agraria setempat dengan disertai alasan-alasan dan syarat-syarat seperti
ditentukan pasal 2 ayat 2 UU No. 20 tahun 1961 yaitu:
a.
rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
b.
keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta
benda-benda yang bersangkutan.
c.
rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau ada, juga orang-orang yang menggarap
tanah atau menempati rumah yang bersangkutan.
2.
Dengan acara luar biasa.
Dalam keadaan mendesak pencabutan
hak atas tanah dapat dilakuakan dengan acara luar biasa atau acara khusus yang
memungkinkanya dilakukan secara lebih cepat. Keadaan mendesak ini misalnya
dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam dimana di perluakan
tempat penampungan segera. (Lihat pasal 6 UU No. 20 tahun1961)
1.
Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang
memerlukan penguasaan tanah dan/ atau
benda-benda yang bersangkutan dengan segera, atas
permintaan yang berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan untuk melakukan pencabutan hak tersebut
pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa disertai
taksiran gantn ikerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu diterimanya pertimbangan
Kepala Daerah.
2.
Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan
surat keputusan yang memberi perkenan
kepada yang berkepentingan untuk menguasai tanah
dan/atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden
mengenai dikabulkan atau ditolaknya permintaan
untuk melakukan pencabutan hak itu.
3.
Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2
pasal ini,maka bilamana kemudian
permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau bendabenda yang
bersangkutan dalam keadaan semula
dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan kepada yang mempunyai hak.
F. PROSEDUR PEMBEBASAN TANAH[10]
Menurut PMDN No. 15 tahun
1975 pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata
sepakat antara pemegang kesepakatan itu menyangkut baik teknis dan
pelaksanaanya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi. Kesepakatan itu
dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Jika upaya pembebasan
tanah menurut prosedur tersebut tidak di capai maka dapat di tempuh prosedur
pencabutan seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 dengan ketentuan bahwa
keperluan atau penggunaan atas tanah itu sangat mendesak.
Pembebasan tanah tidak
saja dapat dilakukan untuk kepentingan instansi pemerintahan sja namun intansi
swasta juga yaitu dalam hal proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan
umum atau dalam bidang kepentinganpembangunan secara umum seperti di atur dalam
PMDN No. 15 tahun 1975 dan PMDN No 2 tahun1976
Dan bila dalam musyawarah
tidak di temui kata sepakat maka dan di dalam UPDN No 15 tahun 1975 juga tidak
di jelaskan bagaimana kah jiga tidak ditemui kata sepakat dalam musyawarah
untuk pembebasan tanah, maka untuk menguasai tanah tersebut dapat ditempuh
prosedur “pencabuatan” sesuai dengan undang-undang no 20 tahun 1961 dengan
konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
ü Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu
sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah
warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan
bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan.
Dalam pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
ü
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan
negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan,
maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria,
kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan
benda-benda yang ada di atasnya”
ü Undang-undang No. 20 tahun 1961 dan UUPA pasal
6 dan UPDN No. 15 tahun 1975 dan disitu juga di jelaskan bahwa negara mempuyai
hak untuk itu.
ü
DAFTAR PUSTAKA
1.
UU No. 20 tahun 1961, tentang pencabutan hak-hak tanah
dan benda yang ada di atas nya.
2.
Peraturan menteri dalam negeri No. 15 tahun 1975, tentang
ketentuan ketentuan tentang pembebasan tanah.
3.
UUPA No 5 tahun 1960
5.
Sf marbun dan Moh. Mahfud Md Pokok-pokok hukum
administrasi negara, liberty yogyakarta
6.
Supardi sh, Mhum hukum agraria, sinar grafika, 2006 palu.
Sangat membantu dalam pemahaman mengenai hal di atas,jadi alternatif referensi saya dalam tugas kuliah.Terima kasih
BalasHapus