teks berjalan

Selamat Datang di Blog Berbagi Bersama Sahabat

Jumat, 16 November 2012

PEMBEBASAN DAN PENCABUTAN HAK ATAS TANAH


 Mungkin sering kali temen-temen yang mendengar adanya keributan, adanya konflik warga dan pemda, dan pengadilan dan itu di sebabkan karena soal pembebasan tanah, atau pemerintah inginkan tanah warga dan penduduk, namun penduduk tidak mau membebaskan karena tanah mereka lahan mereka (misalnya), ataupun di sebab kan ganti rugi yang di bayarkan pemerintah tidak sesuai dengan apa yang di inginkan penduduk, mungkin makalah ini bisa memberikan sedikit pemehaman ke pada anda apa dan bagaimana itu
bisa terjadi.. selamat membaca....


BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN.[1]
            Setelah Indonesia merdekatidakadaperaturan yang mengatur baik pembebasan tanah atau pencabutan hak atas tanah. Atas dasar Pasal II AturanPeralihan UUD 1945 makaperaturan yang ada dan berlaku pada saat itu tetap dapat diberlakukan sepanjang belum dibuat yang baru dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UUD 1945. Dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan pembebasan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda yang diatur dalam Gouvernements Besluit 1927 sebagaimana telah di rubah dengan Gouvernements Besluit 1932 dan peraturan pencabutan tanah sebagaimana diatur dalam Stb. 1920 nomor 574 dinyatakan tetap berlaku.
            Pada tahun 1960 dengan lahirnya UUPA tidak diatur secara tegas mengenai pembebasan tanah. Sedangkan pencabutan tanah secara tegas diatur dalam UUPA.DalamPasal 18 UUPA disebutkan bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberiganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-Undang. Dari ketentuanPasal 18 UUPA tersebut maka dapat dikatakan bahwa pencabutan hak atas tanah tersebut dapat dilakukan sepanjang tanah tersebut diperuntukkan bagi kepentingan umum.
            Kewenangan Negara dalam pengambil alihan hak atas tanah untuk kepentingan umum di Indonesia di derivasikan dari Hak Menguasai Negara Hak menguasai negara memberikan kewenangan pengaturan dan penyelenggaraan bagi Negara Dan dalam perkecualian untuk kepentinga numum baru dapat mengambil alih hak atas tanah rakyat. Negara tidak memilikise mua tanah maka Negara harus membayar kompensasi jika Negara memerlukan tanah milik rakyat untuk penyelenggaraan kepentingan umum tersebut.
            Berbeda dengan HakMenguasai Negara yang dalam UUPA menempatkan Negara sebagai personifikasi seluruh rakyat untuk mengatur, menyelenggarakan peruntukkan, mengatur dan menentukan hubungan rakyat dan tanah, tetapi hanya bersifat hukum publik Menurutasasini, Negara tidak dapat memiliki tanah sebagaimana perseorangan, meskipun Negara dapat menguasai tanah Negara Prinsip ini harus ditafsirkan sebagai peran Negara, yaitu sebagaiwasit yang adil yang menentukanaturan main yang ditaati oleh semua pihak dan bahwa Negara juga tunduk pada peraturan yang dibuatnya sendiri ketika turut berperan sebagai aktor Sebaliknya dengan konsep fungsi sosial hak atas tanah yang juga menjadi legitimasi Negara dalam pengambilalihan hak atas tanah untuk kepentingan umum ini.

            Sebagai peraturan lebih lanjut maka dikeluarkan Undang-UndangNomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan HakAtas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Lembaran Negara (LN) Tahun 1961 Nomor 288, Tambagan Lembaran Negara (TLN) Nomor 2324. DengankeluarnyaUndang-UndangNomor 20 Tahun 1961 tersebut maka ketentuan mengenai pencabutan tanah pada masa Pemerintahan Hindia Belanda sebagaimana diatur dalam Onteigening sordonnantie (Stb. 1920 Nomor 574) dinyatakan tidak berlaku.

Rumusan Masalah
1.    Apa Pengertian dari Pencabutan Hak Atas Tanah ?
2.    Apa yang menjadi landasan hukum dari Pencabutan Hak Atas Tanah ?









BAB II
PEMBAHASAN
A.    DASAR PENGERTIANYA

Pada masa pembangunan sekarang ini sering terlihat adanya masalah bahwa tanah adalah sumber konflik, yaitu jika pemerintah membutuhkan tanah yang dimiliki penduduk untuk keperluan pembangunan. Konflik itu bisa timbul karena pemerintah di satu pihak memerlukan tanah itu dan di pihak lainya penduduk juga ingin mempertahankan tanah miliknya sebagi sumber mata pencaharian (lahan pertanian misalnya) dan tempat pemukiman.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di indonesia pemerintah memang di berikan wewenang untuk mengambil allih tanah penduduk guna keperluan pembangunan, tetapi pengambilan itu tidak boleh di lakukan dengan sewenang –wenang. Pasal 6 UUPA menegaskan  bahwa semua hak atas tanah. Jadi kedua pasal tersebut menjadi landasan hukum bagi pemerintah untuk melakukan ambil alih atas tanah-tanah masyarakat untuk keperluan pembangunan.
Dan juga menurut hukum yang berlaku di indonesia ada dua cara yang di tempuh pemerintah untuk melakukan pengambilan atas tanah yang dimiliki oleh warga masyarakat, yaitu cara pembebasan/pelepasan hak atas tanah (prijsgeving) dan cara pencabutan hak atas tanah (onteigening)[2]
Pembebasan/pelepasan hak atas tanah adalah pelepasan hubungan hukum antara seseorang dengan tanah yang dimilikinya dengan cara pemberian ganti rugi yang besarnya di dasarkan pada musyawarah antara kedua pihak sedangkan pencabutan hak atas tanah adalah pengambilan tanah secara paksa oleh negara atas tanah milik seseorang yang mengakibatkan hak atas tanah itu menjadi hapus, tanpa yang bersangkutan melakukan pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban hukumnya.
Ada perbedaan dalam pembebasan dan pencabutan hak atas tanah baik mengenai dasr hukumnya maupun mengenai prosedur dan penyelesaianya. Secara yuridis tentang pencabutan hak atas tanah di atur dalam UU No. 20 tahun 1961, PP No. 39 tahun 1973 dan inpres No. 9 tahun di dalam PMDN No. 15 tahun 1975, PMDN No. 2 tahun 1976, surat edaran dritjen agraria No. 12/108/12/75, surat edaran agraria No. BTU 2/268/2/76 dan lain-lain.[3]

B.     PENCABUTAN HAK ATAS TANAH.
Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”
            Memperhatikan ketentuan yang ada pada pasal 1 UU nomor 20 tahun 1961 di atas, maka sebelum presiden mengeluarkan keputusan terhadap tanah yang akan di cabut hak-hak atasnya, terlebih dahulu mesti dilakukan suatu permohonan yang di ajukan kepada yang berkepentingan seperti yang telah tertuang di dalam pasal 2 UU nomor 20 tahun 1961[4]
            Dan dasar pokok dari UU No 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah itu adalah ketentuan pasal 18 UU No. 5 tahun 1960 (UUPA) yang menggariskan untuk kepentingan umum negara dapat melakukan pencabutan  hak atas tanah. Pada pasal 18 UUPA tersebut selengkapnya sebagai berikut:
“untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bersama dari rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”
            Untuk melaksanakan ketentuan pasal 18 UUPA tentang Ontiegening tersebut dituntut persayaratan tegas dan ketat sebagai berikut:
1)      Pencabutan hak hanya dapat dilaksanakan bilamana kepentingan umum benar-benar menghendaki. Unsur kepentingan umum ini harus tegas menjadi dasar dalam pencabutan hak ini.
2)      Sesuai dengan ketentuan UU No. 20 tahun 1961 pencabutan hak atas tanahnya dapat dilakukan atas izin presiden.
3)      Pencabuatan hak atas tanah tersebut harus di sertai ganti rugi yang layak.

            Pencabutan hak yang dilakukan oleh pemerintah tanpa mengindahkan persyaratan tersebut adalah merupakan perbuatan melanggar  hukum atau menyalahgunakan wewenang oleh pemerintah.[5]

C.     TATA CARA PENETAPAN GANTI RUGI
Apabila penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian atas tanah tidak diterimah oleh pemegang hak atas tanah akibat pencabutan sesuai ketentuan dalam pasal 8 UU No 20 tahun 1961, pengadilan berkewajiban untuk melakukan pemeriksaan kasus tersebut. Hal ini diatur dalam peraturan pemerintah dalam Nomor 39 tahun 1973 tentang acara penetapan ganti kerugian oleh pengadilan tinggi sehubungan denagan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya. Dalam pasal 1 PP Nomor 39  tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding tersebut pada pasal 1 peraturan pemerintah ini diajukan kepada pengadilan tinggi yang daerah kekuasanya meliputi tanah dan benda-benda yang haknya di cabut, selambat-lambatnya dalam waktu 1 (bulan) terhitung sejak tanggal keputusan presiden itu di maksud dalam pasal 5 dan 6 UU Nomor 20 tahun 1961 tersebut di sampaikan kepada yang bersangkutan”
            Dalam kaitanya dengan ketentuan dalam pasal 2 di atas, maka pemohon banding mengajukan permohonan baik tertulis maupun secara lisan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam pasal 3 PP Nomor 39 Tahun 1973 dinyatakan sebagai berikut:
“permintaan banding disampaikan dengan surat atau dengan lisan kepada panitera pengadilan tinggi dimaksud dalam pasal 1 peraturan pemerintah yang diajukan oleh yang bersangkutan yang disampaikan secara lisan permintaan banding diterimah apabila terlebih dahulu dibayar biaya perkara yang di tetapkan oleh ketua pengadilan tinggi apakah pemita banding tidak mampu, maka atas pertimbangan ketua pengadilan tinggi ia dapat dibebaskan dari pembayaran biaya perkara tersebaut pada pasal( 2) ayat ini.
            Untuk kelancaran dan kecepatan pemeriksaan terhadap permohonan banding tersebut, maka pengadilan tinggi menentukan jangka waktu lamanya pemeriksaan. Dalam pasal 4 dinyatakan bahwa selambat-lambatnya dalam waktu satu (1) bulan setelah diterimahnya banding, perkara tersebut harus sudah di periksa oleh pengadilan tinggi yang berwsangkutan. Pemeriksaan dan putusan di jatuhkan dalam waktu yang sesingkat-singakatnya.
            Berkaitan dengan perkara tersebut, untuk memperlancar jalannya pemeriksaan, maka pengadilan tinggi dapat memanggil para pihak untuak di dengar keterangannya masing masaing (pasal 5 ayat (1)). Selanjutnya permintaan keterangan dari para pihak dapat di limpahkan oleh pengadilan tinggi ke pengadilan negeri, di mana tanah dan benda-benda tersebut terletak (ayat (2)).
            Pertimbangan pemerintah memberikan kesempatan kepada para pemegang hak atas tanah, tidak mau menerima besarnya ganti kerugian walaupun sudah mendapat keputusan dari presiden, dimaksudkan agar pelaksanaan pencabutan ini dilakukan secara bijak dan hati-hati. Sebab dengan dilakukanya pencabutan, maka para pemegang hak atas tanah semula telah melepaskan haknya tersebut. Prinsip kehati-hatian ini membuat Presiden mengeluarkan intruksi nomor 9 tahun  1973 pelaksanaan pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda diatasnya. Dalam intruksi tersebut di tujukan kepada kepada semua mentri dan gubernur di seluruh indonesia, bahwa:
“Pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya supaya hanya dilaksanakan benar-benar untuk kepentingan umum dan dilakukan dengan hati-hati serta denangan hati-hati serta dengan cara-cara yang adil dan bijaksana, segala sesuatunya sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-perundangan yang berlaku.”
            Dalam instrusi presiden ini telah di tentukan bawa pembangunan yang bersifat kepentingan umum, yaitu apabila kegiatan tersebut menyangkut:
a)      Kepentingan bangsa dan negara, dan/atau
b)      Kepentingan masyarakat luas, dan/atau
c)      Kepentingan rakyat banyak, dan/atau
d)     Kepentingan pembangunan.
           
            [6]Berkaitan dengan poin di atas, menyangkut kegiatan yang dapat dikategorikan sebagi kepentingan umum, maka dalam intruksi presiden tersebut telah di tetapkan biidang bangunan yang masuk dalam kategori sifat kepentingan umum sebagai berikut:
a)      Pertahanan;
b)      Pekerjaan umum;
c)      Jasa umum;
d)     Keagamaan;
e)      Ilmu pengetahaun dan seni budaya;
f)       Kesehatan;
g)      Olahraga;
h)      Perlengkapan umum;
i)        Keselamatan umum terhadap bencana;
j)        Kesejahteraan sosial;
k)      Makam/kuburan
l)        Pariwisata dan rekriasi;
m)    Usaha-usaha ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan umum.

                        Suatu hal yang dapat di salut dari adanaya instruksi presiden ini menyangkut mengenai penghargaan terhadap pemegang hak atas tanah yang akan dicabut dengan alasan demi kepentingan umum, karena alasan sangat mendesak. Hal ini di atur dalam pasal 4 intruksi Presiden ini sebagai berikut:
            Dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, naka penguasaan atas tanah dalam keadaan yang sangat mendesak sebagai di maksud dalam pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1961 (lembaran negara tahun 1961 nomor 288) hanya dapat dilakukan apabila kepentingan umum menghendaki keadaan sangat mendesak, di mana penundaan pelaksanaanya dapat menimbulkan bencana alam yang dapat menimbulkan bencana alam yang mengancam keselamatan umum; (b) penyediaan tanah tersebut sangat di perlukan dalam suatu suatu kegiatan pembangunan yang oleh pemerintah dan atau pemerintah daerah maupun masyarakat luas pelaksanaanya di anggap tidak dapat di tunda-tunda lagi.

                        Menelaah ketentuan dalam intruksi Presiden di atas, maka pencabutan hak atas tanah dengan alasan dalam keadaan yang sangat mendesak merupakan persyaratan yang sangat berat. Sebab dengan adanya persyaratan mengenai dapat dilakukan dengan alasan menimbulkan bencana alam akan mengancam keselamatan umum merupakan persyaratan kedua yang mensyaratkan agar pencabutan dapat dilakukan dengan dalih suatu pembangunan yang sangat sulit untuk di buktikan. Oleh kerena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan yang sangat sulit di buktikan. Oleh karena itu, kesimpulannya bahwa pelaksanaan pencabutan hak atas tanah meruoakan instrumen hukum yang sangat melindungi kepentingan pemegang hak atas tanah.

D.    PEMBEBASAN TANAH
            Masalah pembebasan tanah sekarang ini dapat di jumpai aturanya di dalam berbagai peraturan, surat edaranatau intruksi yang dio keluarkan oleh Dapertemen Dalam Negeri. Beberapa di antartaranya:
1)      Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDP) No. 15 tahun 1975 (tanggal 13 Desember 1975) tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah.
2)      Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1976 tentang penggunaan acara pembebasan tanah untuk swasta.
3)      Surat edaran Direktorat jendral agraria tanggal 28 februari 1978 No. BTU  2/268/1979 tentang PMDN No. 15 tahun 1975 tentang ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah.

                 Dalam prakteknya sekarang ini ternyata UU No. 20 tahun 1961 jarang dipergunakan, artinya untuk pengaturan tanah dalam rangka pembangunan dan kepentingan umum prosedur yang di tempuh lebih banyak prosedur pembebasan tanah (PMDN No. 15 tahun 1975). Hal itu disebabkan proses pencabutan (UU No. 20 tahun 1961) akan memakan waktu relatif lebih lama dan lebih bersifat memaksa bagi pemilik tanah; sedangakan prosedur pembebasan (PMDN No. 15 tahun 1975) adalah lebih cepat dan dirasakan lebih menjamin tidak timbulnya keresahan masyarakat karena untuk adanya pembebasan itu diharuskan ada musyawarah sehingga ada kata sepakat.[7]
                 Sekalipun demikian PMDN No. 15 tahun 1975 itu memberikan jalan keluar memberikanmu jalan keluar bilamana kita sepakat (yang di haruskan itu) tidak bisa di capai dengan dalam musyawarah. Kenyataan ini menimbulkan kesan bahwa PMDN No. 15 tahun 1975 merupakan sekedar penyederhanaan pencabutan hak dengan paksa masalah lain yang bukan sekedar menyangkut besarnya ganti rugi dalam musyawarah ialah menyangkut masalah pemukiman dan sumber penghidupann khususnya bagi pemilik tanah yang hidup dari bertani.
                 Selain itu keluarnya PMDN No. 15 tahun1975 itu pernah menimbulkan kontoversi di kalangan sarjana hukum. Ada yang mempersoalkan bahwa ditinjau dari segi materinya PMDN itu di uji kepada doktrin bahwa ada pembatasan wewenang bagi badan negara untuk membuat undang-undang dalam arti materiil dengan anggapan bahwa pembebasan tanah sama dengan pencabutan hak berarti bahwa PMDN itu mengantar materi undang-undang. Kebatalan itu di sebabkan:
a)      Menteri dalam negeri tidak memeiliki wewenang membuat peraturan yang mengikat umum tanpa adanya pendelegasian wewenag.
b)      Mengenai pencabutan hak undang-undang No. 20 tahun 1961 telah menunjuk presiden sebagai instasi yang berwenang memutuskanya (buakan wewenag menteri)
c)      PMDN tersebut mengatur soal yang telah diatur dengan undang-undang yaitu UU No. 20 tahun 1961, sedangkan isi PMDN tersebut tidak sejalan dengan undang-undang itu.[8]

               Terlepas dari kontroversi itu, untuk keperluan akademis, berikut akan di jelaskan prosedur dengan prosedur pencabutan dan pembebasan sehingga bisa diketahui perbedaan dan persamaanya.

E.     PROSEDUR PENCABUTAN HAK ATAS TANAH[9]
            Pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 tahun 1961 dapat dilakukan dengan baik acara biasa (pasal 2 sampai dengan 5 UU No. 20 tahun 1961) maupun dengan acara luar biasa (pasal 6 sampai dengan 8 UU No. 20 tahun1961)
1.      Dengan acara biasa
                 Dalam acara biasa pihak pemohon (instansi yang membutuhkan tanah) menyampaikan permohonan kepada Presiden RI denganperantara Menteri Dalam negeri /drijen Agraria setempat dengan disertai alasan-alasan dan syarat-syarat seperti ditentukan pasal 2 ayat 2 UU No. 20 tahun 1961 yaitu:
                        a. rencana peruntukannya dan alasan-alasannya, bahwa untuk kepentingan                                    umum harus dilakukan pencabutan hak itu.
                        b. keterangan tentang nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan                                  macam hak dari tanah yang akan dicabut haknya serta benda-benda yang                                      bersangkutan.
                        c. rencana penampungan orang-orang yang haknya akan dicabut itu dan kalau                              ada, juga orang-orang yang menggarap tanah atau menempati rumah yang                               bersangkutan.

2.      Dengan acara luar biasa.

                 Dalam keadaan mendesak pencabutan hak atas tanah dapat dilakuakan dengan acara luar biasa atau acara khusus yang memungkinkanya dilakukan secara lebih cepat. Keadaan mendesak ini misalnya dalam hal berjangkitnya wabah penyakit dan timbulnya alam dimana di perluakan tempat penampungan segera. (Lihat pasal 6 UU No. 20 tahun1961)
            1. Menyimpang dari ketentuan pasal 3, maka dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan tanah dan/ atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera,           atas permintaan yang berkepentingan Kepala Inspeksi Agraria menyampaikan permintaan            untuk melakukan pencabutan hak tersebut pada pasal 2 kepada Menteri Agraria, tanpa             disertai taksiran gantn ikerugian Panitya Penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak             menunggu diterimanya pertimbangan Kepala Daerah.
            2. Dalam hal tersebut pada ayat 1 pasal ini, maka Menteri Agraria dapat mengeluarkan      surat keputusan yang memberi perkenan kepada yang berkepentingan untuk menguasai       tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaan tersebut akan segera diikuti dengan keputusan Presiden mengenai dikabulkan atau ditolaknya           permintaan untuk melakukan pencabutan hak itu.
            3. Jika telah dilakukan penguasaan atas dasar surat keputusan tersebut pada ayat 2 pasal    ini,maka bilamana kemudian permintaan pencabutan haknya tidak dikabulkan, yang    berkepentingan harus mengembalikan tanah dan/atau bendabenda yang bersangkutan       dalam keadaan semula dan/atau memberi gantikerugian yang sepadan kepada yang    mempunyai hak.
F.      PROSEDUR PEMBEBASAN TANAH[10]
            Menurut PMDN No. 15 tahun 1975 pembebasan tanah hanya dapat dilakukan apabila telah diperoleh kata sepakat antara pemegang kesepakatan itu menyangkut baik teknis dan pelaksanaanya maupun mengenai besar dan bentuk ganti rugi. Kesepakatan itu dilakukan atas dasar sukarela dengan cara musyawarah. Jika upaya pembebasan tanah menurut prosedur tersebut tidak di capai maka dapat di tempuh prosedur pencabutan seperti diatur dalam UU No. 20 tahun 1961 dengan ketentuan bahwa keperluan atau penggunaan atas tanah itu sangat mendesak.
            Pembebasan tanah tidak saja dapat dilakukan untuk kepentingan instansi pemerintahan sja namun intansi swasta juga yaitu dalam hal proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum atau dalam bidang kepentinganpembangunan secara umum seperti di atur dalam PMDN No. 15 tahun 1975 dan PMDN No 2 tahun1976
            Dan bila dalam musyawarah tidak di temui kata sepakat maka dan di dalam UPDN No 15 tahun 1975 juga tidak di jelaskan bagaimana kah jiga tidak ditemui kata sepakat dalam musyawarah untuk pembebasan tanah, maka untuk menguasai tanah tersebut dapat ditempuh prosedur “pencabuatan” sesuai dengan undang-undang no 20 tahun 1961 dengan konsukwensi bahwa prosenya akan berjalan lebih lama.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
ü  Pencabutan hak atas tanah merupakan suatu sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk mengambil hak atas tanah warga negara demi kepentingan umum, yang di dalamnya terdapat kepentingan bersama rakyat, kepentingan bangsa dan negara, serta kepentingan pembangunan. Dalam pasal 1UU nomor 20 tahun 1961 dinyatakan bahwa:
ü  “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan memaksa setelah mendenangar menteri agraria, kehaiman dan mentri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”
ü  Undang-undang No. 20 tahun 1961 dan UUPA pasal 6 dan UPDN No. 15 tahun 1975 dan disitu juga di jelaskan bahwa negara mempuyai hak untuk itu.
ü   













DAFTAR PUSTAKA
1.      UU No. 20 tahun 1961, tentang pencabutan hak-hak tanah dan benda yang ada di atas nya.
2.      Peraturan menteri dalam negeri No. 15 tahun 1975, tentang ketentuan ketentuan tentang pembebasan tanah.
3.      UUPA No 5 tahun 1960
5.      Sf marbun dan Moh. Mahfud Md Pokok-pokok hukum administrasi negara, liberty yogyakarta
6.      Supardi sh, Mhum hukum agraria, sinar grafika, 2006 palu.




[1]http://treasnada.blogspot.com/2011/11/prosedur-pencabutan-hak-atas-tanah_18.html
[2] Sf marbun dan Mahfud Md Pokok-pokok hukum administrasi negara, liberty jogja, hlm164
[3] Ibid hlm 164
[4] supardi sh,Mhum Huhum agraria,sinar grafika, hal 68
[5] Sf marbun dan Mahfud Md Pokok-pokok hukum administrasi negara, liberty jogja, hlm 166
[6] supardi sh,Mhum Huhum agraria,sinar grafika 73
ü  [7] Sf marbun dan moh.mahfud md, hukum administrasi negara liberty yogyakarta hlm 168
[8] ibid hlm 169


[9] Undang-undang no 20 tahun 1961
[10] PMDN No. 15 tahun 1975

1 komentar:

  1. Sangat membantu dalam pemahaman mengenai hal di atas,jadi alternatif referensi saya dalam tugas kuliah.Terima kasih

    BalasHapus