BAB I
PENDAHULUAN
A. Umum.
1.
Pada tanggal 15 Oktober
1997 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, undang-undang tersebut secara substansial mengatur tentang susunan dan
kekuasaan Pengadilan dan Oditurat, Hukum Acara Pidana Militer dan Hukum Tata
Usaha Militer.
2.
Sebelum berlakunya
undang-undang tersebut peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum
bagi Peradilan Militer antara lain :
a.
Undang-Undang No. 5
tahun 1950 tentang menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Susunan dan
Kekuasaan Pengadilan/Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan, sebagai
undang-undang federal sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5
tahun 1950 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Peradilan Militer, yang
menyatakan bahwa kekuasaan Kehakiman dalam Peradilan Ketentaraan dilakukan oleh
Pengadilan Ketentaraan, yaitu Pengadilan Tentara, Pengadilan Tentara Tinggi dan
Pengadilan Tentara Agung. Sedangkan Kejaksaan dan Pengadilan Ketentaraan
dilakukan oleh Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi dan Kejaksaan
Tentara Agung.
b.
Undang-Undang Nomor 6
tahun 1950 tentang Menetapkan Undang-Undang Darurat tentang Hukum Acara Pidana
pada Pengadilan Tentara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1
Darurat tahun 1958 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 tahun 1950 tentang
Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan yang menyatakan bahwa Hukum
Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan berlaku sebagaimana Pedoman Het
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan dengan undang-udang
tersebut. Sedangkan Hukum Acara Pemeriksaan pada Mahkamah Tentara Agung dan
Pengadilan Tentara Tinggi dalam tingkat kedua berpedoman pada title 15
Strafverdering. Dengan dicabutnya HIR oleh Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana, dalam praktek peradilan, Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer menggunakan KUHAP sebagai pedoman.
c.
Undang-Undang Nomor 3
PNPS 1965 tentang memperlakukan HukumPidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara
dan Hukum Disiplin Tentara bagi anggota-anggota Angkatan Kepolisian sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang nomor 23 PNPS tahun 1965 tentang Perubahan
dan Tambahan Pasal 2 Penetapan Presiden RI Nomor 3 tahun 1965 yang menyatakan
Angkatan Kepolisian menyelenggarakan sendiri Peradilan dalam lingkungannya.
d.
Dengan telah
diundangkannya Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 1997 tersebut, maka sejak saat
itu pula Peradilan Militer tidak menggunakan lagi KUHAP sebagai pedoman, karena
dalam undang-undang itu telah diatur secara lengkap.
B.
Ruang Lingkup dan Tata Urut.
Ruang lingkup pembahasan dalam bahan
ajaran meliputi susunan dan kekuasaan Pengadilan dan Oditurat, serta Hukum
Acara Pidana Militer dengan tata urut sebagai berikut :
BAB I. Pendahuluan.
BAB II. Susunan dan Kekuasaan Pengadilan
BAB III. Susunan dan Kekuasaan Oditurat
BAB IV. Penyidikan
BAB
V. Penelitian Berkas Perkara
BAB VI.
Pelimpahan Perkara
BAB VII.
Jenis-jenis Pemeriksaan
BAB VIII. Pembuktian Persidangan
BAB IX.
Penuntutan dan Pembelaan
BAB X.
Putusan Pengadilan
BAB XI.
Bantuan Hukum
BAB XII.
Upaya Hukum
BAB XIII.
Eksekusi
BAB XIV.
Pengawasan dan Pengamatan Putusan Pengadilan
Beberapa
pengertian :
1.
Pengadilan adalah badan
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Militer yang
meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer
Utama dan Pengadilan Militer Pertempuran.
2.
Oditurat Militer, Oditurat Militer Tinggi,
Oditurat Jenderal TNI dan Oditurat Militer Pertempuran, yang disebut Oditurat
adalah badan di lingkungan TNI yang melakukan kekuasaan pemerintahan Negara di
bidang penuntutan dan penyidikan berdasarkan pelimpahan dari Panglima TNI.
3.
Hakim, Hakim Militer
Tinggi, Hakim Militer Utama, yang disebut hakim adalah pejabat yang
masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan.
4.
Oditur Militer dan
Oditur Militer Tinggi, yang selanjutnya disebut Oditur adalah pejabat yang
diberi wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana
putusan atau penetapan Pengadilan dalam Peradilan Militer atau Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
5.
Oditur Jenderal TNI
yang disebut Oditur Jenderal adalah penuntut umum tertinggi di lingkungan TNI,
pemimpin dan penanggung jawab tertinggi oditurat yang mengendalikan tugas dan
wewenang oditurat.
6.
Atasan yang Berhak
Menghukum (Ankum) adalah atasan langsung yang mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan hukuman disiplin menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku
dan berwenang melakukan penyidikan berdasarkan undang-undang.
7.
Perwira Penyerah
Perkara (Papera) adalah perwira yang oleh atau atas undang-undang mempunyai
wewenang untuk menentukan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit
yang berada di bawah wewenang komandonya diserahkan kepada atau diselesaikan di
luar pengadilan.
8.
Penyidik TNI (Penyidik)
adalah Ankum, Pejabat Polisi Militer tertentu dan Oditur yang diberi wewenang
khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
9.
Penyidik pembantu
adalah pejabat TNI tertentu yang berada dan diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan penyidikan di kesatuannya.
10.
Penyerahan perkara
adalah tindakan Papera untuk menyerahkan perkara kepada Pengadilan (Pengadilan
Militer/Umum), dengan menuntut supaya diperiksa dan diadili.
11.
Penutupan perkara
adalah tindakan Papera untuk tidak menyerahkan perkara kepada pengadilan
(peradilan Militer/Umum) berdasarkan kepentingan hukum atau kepentingan
umum/militer.
12.
Penghentian Penuntutan
adalah tindakan Papera untuk tidak menyerahkan perkara pidana ke pengadilan
(Peradilan Umum/Militer) karena tidak terdapat bukti atau perbuatannya ternyata
bukan tindak pidana.
Bahwa dalam kehidupan
sehari-hari, seorang militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana ia harus
berada, dalam lingkungan TNI yang memiliki disiplin yang
kuat tanpa itu sukar dapat
diharapkan dari padanya untuk menjadi militer yang mampu menjalankan tugasnya. Dalam kehidupan militer,
tindakan-tindakan ketidakhadiran pada suatu tempat untuk menjalankan dinas,
ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal
yang sangat penting dari kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan
militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan
sebagai pelanggaran disiplin organisasi. Apabila kita mencermati
makna dari rumusan perbuatan menarik diri untuk selamanya dari
kewajiban-kewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan tersebut, menunjukkan
bahwa ia tidak akan kembali lagi ketempat tugasnya.
Sebagai
ciri negara hukum (rechtstaat) dan bukan berdasar kekuasaan belaka
(maachtstaat) penegakan hukum di Indonesia dengan mendasarkan pada persamaan
kedudukan di muka hukum bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali prajurit
TNI.
Penegakan
hukum (law enforcement) di lingkungan TNI pelaksanaannya dilaksanakan oleh
kesatuan-kesatuan yang terkait dalam penegakan hukum di jajaran TNI di
antaranya penyidik Polisi Militer, Oditurat, Perwira Penyerah Perkara, dan
Pemasyarakatan Militer, serta Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
Berdasarkan pasal 9 Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer Pengadilan Militer
sebagai salah satu badan peradilan di bawah Mahkamah Agung mempunyai kewenangan
mengadili :
a.
Yustisiabelnya
dititikberatkan pada pelaku tindak pidana.
b.
Memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer.
c.
Menggabungkan perkara
gugatan ganti rugi.
Sedangkan menurut pasal 25 Undang-Undang RI
No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pengadilan Militer mempunyai
kewenangan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-Undang
No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dibentuk dengan mendasarkan pada
Undang-Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman yang di dalamnya tanpa mengabaikan asas dan cirri-ciri tata kehidupan
militer di antaranya :
a.
Asas Kesatuan Komando
Dalam kehidupan militer secara organisasi, seorang
komandan mempunyai kedudukan sangat sentral dan harus bertanggung jawab penuh
terhadap kesatuan dan anak buahnya, sehingga komandan selain juga diberikan
kewenangan sebagai Atasan Yang Berhak Menghukum (Ankum) juga diberikan
kewenangan sebagai Perwira Penyerah Perkara (Papera).
b.
Asas Komandan
bertangung jawab terhadap anak buahnya.
Dalam kehidupan militer secara organisasi, seorang
Komandan berfungsi sebagai pemimpin, guru, bapak, dan pelatih. Atas dasar
tersebut maka Komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan maupun
anak buahnya.
c.
Asas Kepentingan
Militer.
Dalam penyelenggaraan pertahanan negara kepentingan
militer melebihi kepentingan golongan dan perorangan, contoh darurat
militer/perang dan lain-lain. Namun dalam proses peradilan kepentingan militer
selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
Berdasarkan
pasal 9 Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yustisiabel
peradilan militer adalah :
a.
Anggota
militer/prajurit.
b.
Mereka yang berdasarkan
perundang-undangan dipersamakan dengan militer.
c.
Anggota suatu golongan
atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan dengan prajurit berdasarkan
undang-undang.
d.
Seseorang yang tidak
termasuk prajurit, atau yang dipersamakan dengan prajurit atau anggota suatu
golongan/jawatan/badan yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit, tetapi
berdasarkan keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman (sekarang
Menteri Hukum dan Perundang-undangan) harus diadili oleh suatu pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer.
Disebutkan
pula dalam pasal 10 Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
bahwa Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer mengadili tindak pidana
yang tempat kejadiannya (locus delicti) berada di daerah hukumnya, atau
Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Undang-Undang
No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah hukum acara pidana militer
yang disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai
konsepsi hukum acara pidana nasional di antaranya KUHAP (UU No. 8 tahun 1981)
dan Hukum Acara Tata Usaha Negara (UU No. 5 tahun 1986) dengan berbagai
kekhususan acara yang bersumber pada asas dan cirri-ciri tata kehidupan
militer.
Sebagai
salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung,
kedudukan Peradilan Militer sejajar dengan peradilan yang lain seperti
Peradilan umum, agama, Tata Usaha Negara maupun Mahkamah Konstitusi sebagaimana
disebutkan dalam pasal 48 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.
Hal
berbeda menurut pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, Peradilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan
kehakiman di lingkungan TNI (ABRI). Semula pembinaan organisasi dan prosedur
administrasi dan finansial Peradilan MIliter berada di bawah Panglima TNI.
Namun sejak tahun 2004 beralih di bawah Mahkamah Agung kecuali untuk personil
militer, pembinaan personilnya tetap berada di bawah Panglima TNI.
Mengkaji
ketentuan Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, kesan
pertama yang didapat adalah bahwa pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer, baik Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer
Utama, maupun Pengadilan Militer Pertempuran seakan-akan merupakan organisasi
di bawah Panglima TNI, sehingga banyak stigma yang mengatakan Peradilan MIliter
merupakan peradilan impunitas, tidak fair, dan identik dengan kepentingan
satuan maupun atasan.
Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer sekalipun sudah menjadi satu atap di bawah
Mahkamah Agung, namun keberadaannya memang tidak bisa terlepas atau dipisahkan
dengan kepentingan baik pertahanan negara maupun militer itu sendiri. Walaupun
ketentuan yang mengatur tentang pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer
belum dilakukan penggantian, karena Rencana Undang-Undang Peradilan Militer
belum berhasil disahkan menjadi undang-undang, namun demikian implementasi
pelaksanaan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer semuanya
bersumberkan pada aturan dan ketentuan yang berlaku di peradilan secara umum.
Walaupun ketentuan pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer belum dicabut atau dirubah namun dalam pelaksanaannya
Peradilan Militer mengacu pada pelaksanaan satu atap di bawah Mahkamah Agung,
sehingga ada implementasi yang harus dilaksanakan didalam praktek yaitu :
1.
Pengangkatan hakim selain
dilakukan tanpa ada campur tangan organisasi TNI, juga dilakukan dengan
menerapkan standarisasi sebagaimana layaknya pengangkatan hakim lain (uji
kelayakan dan kepatutan).
2.
Pembinaan penempatan
hakim militer dilakukan secara murni oleh Mahkamah Agung tanpa campur tangannya
Mabes TNI kecuali untuk pengangkatan jabatan golongan IV (Kolonel) harus
mendapatkan persetujuan TNI.
Sehingga dampak
yang timbul atau akibat dengan adanya satu atap di bawah Mahkamah Agung adalah
:
1.
Banyak yang
beranggapan dan memandang bahwa hakim
militer harus sama dengan hakim di peradilan lain contoh usia pensiun.
2.
Timbulnya ego yang
berlebihan, karena fasilitas maupun kedudukan yang jauh berbeda ketika masih
berada di bawah Mabes TNI, dan lain-lain.
Peradilan Militer
dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya mempunyai kewenangan sebagai
berikut :
1.
Mengadili tindak pidana
yang dilakukan oleh :
a.
Prajurit.
b.
Yang dipersamakan dengan prajurit.
c.
Anggota badan atau golongan yang
dipersamakan dengan prajurit.
d.
Seorang yang tidak
masuk pada huruf a, b, c, namun atas keputusan Panglima dengan persetujuan
Manteri Kehakiman harus diadili oelh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer, misalnya orang sipil yang bekerja pada militer dan diberi kewajiban
untuk memegang rahasia militer.
2.
Memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer.
3.
Menggabungkan perkara
gugatan ganti rugi dalam perkara pidana.
Hal
berbeda dengan kewenangan Peradilan Militer sebagaimana disebutkan dalam pasal
25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009.Penentuan status prajurit atau
militer sebagaimana pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1997 adalah
status pelaku tindak pidana saat melakukan perbuatannya. Di samping itu
Peradilan Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan mereka sebagaimana
dalam pasal 9 angka 1 Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer
berdasarkan :
1.
Tempat kejadiannya
berada di daerah hukumnya.
2.
Terdakwanya termasuk
suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Namun apabila
dalam 1 (satu) perkara terdapat lebih dari satu pengadilan yang berkuasa untuk
mengadili perkara tersebut, dan di antara pengadilan tersebut sama-sama kuatnya,
maka pengadilan yang lebih dahulu menerima berkas perkara yang harus mengadili
perkara tersebut.
Adapun badan
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
1.
Pengadilan
Militer.
Pengadilan Militer bertugas memeriksa dan memutus pada
tingkat pertama perkara pidana yang Terdakwanya berpangkat Kapten ke bawah dan
ketentuan pasal 9 angka 1 huruf b, c, dan d Undang-Undang No. 31 tahun 1997
tentang peradilan Militer.
2.
Pengadilan
Militer Tinggi.
Pengadilan Militer
Tinggi mempunyai tugas dan kewenangan :
a.
Memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama :
1)
Perkara pidana yang
Terdakwanya berpangkat Mayor ke atas dan ketentuan pasal 9 angka 1 huruf d.
2)
Memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer.
b.
Memeriksa dan memutus
pada tingkat banding perkara pidana yang diputus Pengadilan Militer di daerah
hukumnya.
c.
Memutus pada tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer di
daerah hukumnya.
3.
Pengadilan
Militer Utama.
Pengadilan Militer
Utama mempunyai tugas dan kewenangan :
a.
Memeriksa dan memutus
pada tingkat banding baik perkara pidana maupun Tata Usaha Militer yang diputus
oleh Pengadilan Militer Tinggi.
b.
Memutus pada tingkat
pertama dan terakhir semua sengketa wewenang mengadili :
1)
Antar Pengadilan
Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang
berlainan.
2)
Antar Pengadilan
Militer Tinggi.
3)
Antar Pengadilan
Militer Tinggi dan Pengadilan Militer.
c.
Adanya 2 (dua) atau
lebih pengadilan yang menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang
sama.
d.
Apabila ada 2 (dua)
atau lebih pengadilan yang menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara
yang sama.
e.
Memutus perbedaan
pendapat antara Perwira Penyerah perkara dan Oditur Militer.
Hal
yang berbeda pada ketentuan pasal 43 Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang
Peraddilan Militer mengenai sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer. Ketentuan tersebut juga diatur dalam pasal
64 ayat (2) Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No.
14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Permohonan
untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan mengadili perkara pidana
diajukan secara tertulis oleh Penuntut Umum atau Terdakwa disertai pendapat dan
alasannya sebagaimana pasal 58 Undang-Undang No. 5 tahun 2004 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Apabila
yang mengajukan sengketa kewenangan mengadili tersebut Penuntut Umum maka
permohonan tersebut diajukan ke Mahkamah Agung dan salinannya dikirimkan ke
Jaksa Agung, para Ketua Pengadilan dan Penuntut Umum pada Kejaksaan lain serta
kepada Terdakwa sebagaimana pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 5 tahun 2004
tentang Perubahan Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Apabila permohonan tersebut diajukan oleh Terdakwa maka diajukan melalui
Penuntut Umum yang bersangkutan untuk diteruskan ke Mahkamah Agung.
Di
samping tugas dan kewenangan yang dimiliki, Pengadilan Militer Utama juga harus
:
a.
Melakukan pengawasan
terhadap :
1)
Penyelenggaraan
peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi,
dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah masing-masing.
2)
Tingkah laku dan
perbuatan para hakim dalam menjalankan tugasnya.
b.
Meminta keterangan
tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis peradilan dari Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
c.
Memberi petunjuk,
teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer,
Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
d.
Pengawasan dan
kewenangan Pengadilan Militer Utama tidak mengurangi kebebasan hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.
e.
Meneruskan perkara yang
dimohonkan Peninjauan Kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung.
4.
Pengadilan
Militer Pertempuran.
Pengadilan Militer Pertempuran mempunyai tugas dan
kewenangan memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara
pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1
Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer di daerah
pertempuran.
Sifat
dan kedudukan Pengadilan Militer Pertempuran ini bersifat mobil mengikuti
gerakan pasukan dan berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
Jumlah
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer adalah :
1.
Pengadilan Militer
berjumlah 19 (sembilan belas) terdiri dari 10 (sepuluh) Pengadilan Militer
bertype A dan 9 (sembilan) Pengadilan Militer bertype B.
2.
Pengadilan Militer
Tinggi berjumlah 3 (tiga).
3.
Pengadilan Militer
Utama berjumlah 1 (satu).
4.
Pengadilan Militer
Pertempuran bersifat mobil dan insidentil.
Kedudukan
pengadilan berada di :
1.
Pengadilan Militer
Utama berada di ibu kota dan kewenangannya seluruh wilayah Republik Indonesia.
2.
Daerah hukum pengadilan
lainnya ditetapkan dengan Keputusan panglima TNI.
3.
Pengadilan Militer
maupun Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya.
4.
Pengadilan Militer
maupun Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar daerah hukumnya atas
seijin Kepala Pengadilan Militer Utama.
Secara
norma susunan dan kedudukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer
terdiri dari paling bawah adalah Pengadilan Militer dan tertinggi bermuara pada
Mahkamah Agung. Namun secara realita tidak seperti apa yang tertuang dalam
Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena :
1.
Tidak semua putusan
pengadilan yang lebih tinggi harus ditaati dan dilaksanakan serta dipedomani
oleh pengadilan yang ada di bawahnya.
2.
Komposisi Hakim Militer
dalam mengadili suatu perkara hanya sampai pada Pengadilan Militer Utama.
3.
Hukum Acara
(Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer) hanya digunakan
sampai persidangan di Pengadilan Militer Utama sedangkan Mahkamah Agung
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dalam
rangka penegakan hukum di samping lembaga peradilan yang berwenang memeriksa
dan memutus perkara terdapat pula lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan
dengan lembaga peradilan. Lembaga lain yang dimaksud tersebut sesuai pasal 38
ayat (1) Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer adalah :
1.
Penyelidikan dan
penyidikan.
2.
Penuntutan.
3.
Pelaksanaan putusan.
4.
Pemberian jasa hukum
5.
Penyelesaian sengketa
di luar pengadilan.
Sedangkan
ketentuan mengenai lembaga-lembaga lain yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Oditurat Militer merupakan lembaga
atau badan pelaksana kekuasaan pemerintah negara di bidang penuntutan dan
penyidikan di lingkungan TNI berdasarkan pelimpahan dari Panglima TNI. Dalam
melakukan penuntutan Oditurat Militer bersifat satu dan tidak terpisahkan.
Untuk memelihara kesatuan kebijaksanaan di bidang penuntutan, sehingga dapat
menampilkan cirri-ciri khas yang menyatu dalam tata piker, tata laku maupun
tata kerja Oditurat Militer. Dalam bidang teknis yustisial dan pengawasanbagi
Oditurat Militer dilakukan oleh Oditurat Jenderal TNI.
Secara khusus Undang-Undang No. 31
tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak menyebutkan bahwa Oditurat Militer
di bawah Jaksa Agung Republik Indonesia, namun makna Oditurat Militer di bawah
Jaksa Agung Republik Indonesia hanya didasarkan pada penjelasan pasal 57 ayat
(1) Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Sedangkan tugas
dan kewenanganyang diperoleh Oditurat Militer berdasarkan pelimpahan dari
Panglima TNI, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan
Negara.
Dengan memperhatikan ketentuan
Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer tersebut, maka
kedudukan Oditurat Militer walaupun secara organisasi di bawah TNI,
kewenangannya berdasarkan pelimpahan dari Panglima TNI, namun karena secara
fungsi Oditurat Militer maupun Oditurat Jenderal TNI dalam melaksanakan
penuntutan bertindak untuk dan atas nama masyarakat, pemerintah, dan Negara,
maka kedudukan lembaga penuntutan (Oditurat Militer maupun Oditurat Jenderal
TNI) perlu untuk dilakukan kajian.
Menurut ketentuan pasal 18 ayat (1)
UU No. 16 tahun 2004, di mana Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab
tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksana tugas dan wewenang
kejaksaan.Sehingga dengan memperhatikan Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer maupun Undang-Undang No. 16 tahun 2004 sebenarnya siapakah
penuntut umum tertinggi di negeri ini? Sehingga perlu adanya undang-undang yang
mengatur dan mengakomodir kedua lembaga penuntutan tersebut, apakah akan menjadi
satu atap seperti layaknya Peradilan Militer.
Oditur Jenderal adalah penuntut umum
tertinggi di lingkungan TNI, pemimpin dan penanggung jawab tertinggi Oditurat
Militer yang mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat Militer.
Sedangkan Oditur Militer adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak
sebagai penuntut umum, pelaksana putusan/penetapan pengadilan baik dalam
lingkup Peradilan Umum maupun dalam lingkup Peradilan Militer dan sebagai
penyidik.
Dengan
mendasarkan pada kedua jabatan tersebut maka sifat Oditurat Militer adalah satu
tidak terpisahkan dalam melakukan penuntutan, dan sebagai pembina teknis
yustisial bagi Oditurat Militer adalah Oditur Jenderal TNI.
Memperhatikan kedudukan Oditur
Jenderal TNI sebagai penuntut umum tertinggi di TNI dan sekaligus sebagai
atasan dari Oditur maupun Oditurat Militer, sehingga dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya Oditur Jenderal TNI maupun Oditur mewakili kesatuan,
masyarakat, pemerintah dan negara.
Susunan Oditurat Militer di
Indonesia berjumlah :
1.
Oditurat
Militer ada 19 (Sembilan belas), type A berjumlah 10 (sepuluh) dan type B
berjumlah 9 (sembilan).
Oditurat
Militer ini mempunyai tugas dan wewenang yaitu :
a.
Melakukan penuntutan
dalam perkara pidana yang Terdakwanya berpangkat kapten ke bawah dan
sebagaimana dalam pasal 9 angka 1 huruf
b, c, dan d Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Karena Peradilan
Militer tidak menganut asas Pra Penuntutan, maka penuntutan di sini merupakan
penuntutan pidana dalam persidangan pengadilan. Penuntutan dilaksanakan Oditur
Militer dengan memperhatikan beberapa ketentuan diantaranya pasal 57
Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, baik kepentingan
yang diemban, dasar, dan landasan yang harus dipedomani, juga harus
senantiasa mengindahkan
berbagai norma baik agama, kemanusiaan serta kesusilaandan nilai-nilai yang
lain yang ada di masyarakat tanpa mengabaikan kepentingan pertahanan keamanan,
serta system pengajuan rencana tuntutan yang dilaksanakan secara hierarki.
Oditur Militer
maupun Oditur Jenderal TNI sebagai pejabat fungsional dalam melakukan
penuntutan bertindak sebagai wakil dari kesatuan, masyarakat, pemerintah dan
negara. Sehingga dalam melakukan penuntutan baik Oditur Militer maupun Oditur
Jenderal harus memperhatikan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat pada
umumnya dan TNI khususnya.
b.
Melaksanakan penetapan
atau putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum maupun Peradilan
Militer.
c.
Melaksanakan
pemeriksaan tambahan.
d.
Melakukan penyidikan.
2.
Oditurat Militer Tinggi
berjumlah 3 (tiga).
Oditurat Militer Tinggi mempunyai tugas
dan wewenang :
a.
Melakukan penuntutan
dalam perkara pidana yang Terdakwanya mayor ke atas dan sebagaimana pasal 9
angka 1 huruf b, c, dan d Undang-Undang N0. 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer.
b.
Melaksanakan penetapan
atau putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum maupun Peradilan
Militer.
c.
Melaksanakan
pemeriksaan tambahan.
d.
Melakukan penyidikan.
3.
Oditurat Jenderal TNI.
Oditurat Jenderal TNI mempunyai tugas dan
wewenang :
a.
Membina, mengendalikan
dan mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat.
b.
Menyelenggarakan
pengkajian masalah kejahatan guna kepentingan penegakan serta kebijaksanaan
pemidanaan.
c.
Dalam rangka
penyelesaian dan pelaksanaan penuntutan perkara tindak pidana tertentu yang
acaranya diatur secara khusus, mengadakan koordinasi dengan Kejaksaan Agung,
Polisi Militer, dan badan penegak hukum lainnya.
4.
Oditurat
Militer Pertempuran.
Oditurat Militer Pertempuran mempunyai tugas dan wewenang :
a.
Melakukan penuntutan
dalam perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana pasal 9 angka 1
Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
b.
Melaksanakan penetapan
hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran.
c.
Melakukan penyidikan
awal tanpa perintah Oditur Jenderal TNI dalam hal ada perintah langsung dari
Panglima atau Komandan Operasi Pertempuran.
5.
Unit
Pelaksana Teknis berjumlah 5 (lima).
Sebagaimana
ketentuan pasal 51 Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
maka kedudukan daerah hukum Oditurat Militer sama dengan kedudukan daerah hukum
Pengadilan pada Peradilan Militer yang dalam pelaksanaannya diatur dalam
Keputusan Panglima TNI Nomor : Kep/6/X/2003 tanggal 20 Oktober 2003.
BAB II
SUSUNAN DAN KEKUASAAN
PENGADILAN
A.
Umum
1.
Pelaksanaan kekuasaan
dalam lingkungan Peradilan Militer berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
pengadilan tertinggi.
2.
Berdasarkan pasal 9 UU
No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh :
a.
Prajurit.
b.
Dipersamakan prajurit berdasarkan
undang-undang.
c.
Anggota golongan/jawatan/badan yang
dipersamakan sebagai prajurit.
d.
Yang tidak termasuk a,
b, dan c tetapi atas Keputusan Ketua MA harus diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Militer.
3.
Pengadilan dalam
lingkngan Peradilan Militer juga berwenang memeriksa, memutus sengketa Tata
Usaha Militer, serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara
pidana yang bersangkutan.
4.
Berdasarkan pasal 10 UU
No. 31 th 1997 tentang Peradilan Militer,Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer bersidang didasarkan :
a.
Tempat kejadian di
daerah hukumnya.
b.
Terdakwa termasuk suatu
kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
5.
Apabila dua pengadilan
berkuasa mengadili dengan syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang lebih dulu
memeriksa perkara harus mengadili.
B.
Susunan
Pengadilan
1.
Pengadilan Militer.
2.
Pengadilan Militer
Tinggi.
3.
Pengadilan Militer
Utama.
4.
Pengadilan Militer
Pertempuran.
C.
Nama,
Tempat Kedudukan dan Daerah Hukum
1.
Tempat kedudukan
Pengadilan Militer Utama berada di ibu kota Negara yang daerah hukumnya
meliputi wilayah Negara RI.
2.
Nama, tempat kedudukan,
dan daerah hukum pengadilan lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima TNI.
3.
Apabila perlu
Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar
kedudukannya atau di luar daerah hukumnya, namun sidang yang disebutkan
terakhir harus seijin Kepala Pengadilan Militer Utama.
D.
Susunan
Persidangan
1.
Pengadilan bersidang
dengan seorang hakim ketua, 2 orang hakim anggota, dihadiri seorang Oditur dan
dibantu seorang panitera, kecuali dalam persidangan Pengadilan Militer
Pertempuran jumlah hakim anggota boleh lebih dari dua orang asal jumlah hakim
dalam majelis jumlahnya ganjil, dihadiri seorang Oditur Militer/Tinggi dan
dibantu seorang panitera.
2.
Hakim Ketua dalam
persidangan Pengadilan Militer serendah-rendahnya berpangkat mayor, hakim
anggota serendah-rendahnya berpangkat kapten. Pengadilan Militer Tinggi Hakim
Ketua paling rendah berpangkat Kolonel, Hakim Anggota dan Oditur paling rendah
berpangkat Letnan Kolonel. Pengadilan Militer Utama Hakim Ketua paling rendah
berpangkat Brigjen/Laksma/Marsma, hakim anggota paling rendah berpangkat
Kolonel. Pada prinsipnya hakim dan hakim anggota berpangkat satu tingkat lebih
tinggi daripada pangkat Terdakwa, kecuali apabila Terdakwanya berpangkat
Kolonel/Perwira Tinggi minimal etingkat dengan pangkat Terdakwa.
3.
Kepangkatan Panitera
dalam sidang :
a.
Pengadilan Militer
paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua paling tinggi berpangkat Kapten.
b.
Pengadilan Militer
Tinggi paling rendah berpangkat Kapten paling tinggi berpangkat Mayor.
c.
Pengadilan Militer
Utama paling rendah berpangkat mayor paling tinggi berpangkat kolonel.
4.
Hakim Ketua dalam
sidang Pengadilan Militer Pertempuran paling rendah berpangkat Letnan Kolonel,
Hakim Anggota dan Oditur paling rendah berpangkat Mayor. Apabila Terdakwa
berpangkat Letnan Kolonel, hakim anggota dan Oditur berpangkat satu tingkat
lebih tinggi daripada pangkat Terdakwa. Apabila Terdakwanya berpangkat Kolonel
atau yang lebih tinggi, hakim anggota dan Oditur paling rendah setingkat lebih
tinggi dengan pangkat Terdakwa.
E.
Kekuasaan
Pengadilan
1.
Pengadilan Militer
memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat pertama yang Terdakwanya :
a.
Prajurit berpangkat Kapten ke bawah.
b.
Mereka yang
dipersamakan / anggota golongan yang dipersamakan termasuk tingkat Kapten ke
bawah.
c.
Mereka yang atas
Keputusan Ketua Mahkamah Agung harus diadili di Pengadilan Militer.
2.
Kekuasaan Pengadilan Militer
Tinggi.
a.
Pada tingkat pertama.
1)
Memeriksa dan memutus
perkara pidana yang Terdakwanya :
a)
Prajurit atau salah
satu prajuritnya berpangkat mayor ke atas.
b)
Mereka yang
dipersamakan dengan tingkat kepangkatan mayor ke atas.
c)
Mereka yang berdasarkan
Keputusan Ketua Mahkamah Agung harus diadili di Pengadilan Militer Tinggi.
2)
Memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Militer.
b.
Memeriksa dan memutus
pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer.
c.
Memutus pada tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Militer
dalam daerah hukumnya.
3.
Kekuasaan pengadilan
Militer Utama.
a.
Memeriksa dan
memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata
Usaha Militer yang
telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer yang dimintakan
banding.
b.
Memutus pada tingkat
pertama dan terakhir semua sengketa wewenang mengadili:
1)
Antar pengadilan yang
berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan.
2)
Antar Pengadilan
Militer Tinggi.
3)
Antar pengadilan
Militer Tinggi dan pengadilan Militer.
c.
Memutus perbedaan
pendapat antara Papera dengan Oditur tentang diajukan tidaknya perkara ke
pengadilan.
d.
Melakukan pengawasan
terhadap :
1)
Penyelenggara
Pengadilan Militer (Pengadilan Militer/Tinggi/pertempuran).
2)
Tingkah laku dan
perbuatan para hakim.
3)
Meneruskan perkara
kepada Mahkamah Agung yang dimohonkan Kasasi atau Peninjauan Kembali.
4.
Kekuasaan pengadilan
Militer Pertempuran.
a.
Memeriksa dan memutus
pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan yustisiabel
Peradilan Militer di daerah pertempuran.
b.
Bersifat mobil dan
berdaerah hukum di daerah pertempuran.
BAB III
SUSUNAN DAN KEKUASAAN
ODITURAT
A.
Umum
1.
Oditurat melakukan
kekuasaan pemerintah Negara bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan TNI.
2.
Berasas satu tidak
terpisahkan.
3.
Pembinaan teknis
yustisial dilakukan oleh Oditur Jenderal TNI.
B.
Susunan Oditurat
1.
Oditurat Militer
2.
Oditurat Militer
Tinggi.
3.
Oditurat Jenderal TNI.
4.
Oditurat Militer
Pertempuran.
C.
Nama,
Tempat, dan Daerah Hukum
1.
Oditurat Jenderal TNI
berada di ibu kota dan berdaerah hukum meliputi seluruh wilayah Negara RI.
2.
Nama, tempat dan daerah
Oditurat Militer dan Oditurat Militer Tinggi ditetapkan dengan Keputusan
Panglima TNI.
3.
Oditurat Militer
Pertempuran bersifat mobil, berkedudukan dan berdaerah hukum di daerah
pertempuran.
D.
Kekuasaan
Oditurat Militer
1.
Melakukan penuntutan
dalam perkara pidana yang :
a)
Terdakwanya berpangkat
Kapten ke bawah.
b)
Mereka yang
dipersamakan dengan prajurit dengan tingkat kepangkatan Kapten ke bawah.
c)
Mereka yang menurut
Keputusan Ketua Mahkamah Agung harus diadili di Pengadilan Militer.
2.
Melaksanakan Penetapan
Hakim dan Putusan pengadilan (Pengadilan Militer/Umum).
3.
Melaksanakan
pemeriksaan tambahan dan penyidikan.
E.
Kekuasaan
Oditurat Militer Tinggi
1.
Melakukan penuntutan
dalam perkara pidana yang :
a.
Terdakwanya berpangkat
mayor ke atas.
b.
Mereka yang
dipersamakan dengan prajurit dengan tingkat kepangkatan mayor ke atas.
c.
Dan mereka yang menurut
Keputusan Ketua Mahkamah Agung harus diadili di Pengadilan Militer Tinggi.
2.
Melaksanakan penetapan
hakim dan putusan pengadilan (Pengadilan Militer/Umum).
3.
Melaksanakan
pemeriksaan tambahan dan penyidikan.
F.
Kekuasaan
Oditurat Jenderal TNI
1. Membina, mengendalikan dan mengawasi
pelaksanaan tugas dan wewenang Oditurat.
2. Menyelenggarakan pengkajian masalah
kejahatan.
3. Dalam pelaksanaan penyelesaian dan
penuntutan perkara tertentu berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, Polisi
Militer, dan penegak hukum lainnya.
4. Selaku pimpinan dan tanggung jawab
tertinggi Oditurat, mengendalikan pelaksanaan penuntutan di lingkungan TNI.
5. Mengendalikan dan mengawasi penggunaan
wewenang penyidikan, penyerahan perkara dan penuntutan.
6. Menyampaikan pertimbangan kepada
Presiden mengenai mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati, permohonan
amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
7. Melaksanakan tugas khusus dari Panglima
TNI.
G.
Kekuasaan
Oditurat Militer Pertempuran
1.
Melakukan penuntutan
perkara pidana yang dilakukan oleh mereka yang disebut pasal 9 angka 1.
2.
Melaksanakan penetapan
hakim atau putusan Pengadilan Militer Pertempuran.
3.
Melakukan penyidikan
sejak awal tanpa perintah Oditur Jenderal dalam hal ada perintah dari
Panglima/Komandan Operasi.
BAB IV
PENYIDIKAN
Menurut
Undang- Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer terdapat 3
(tiga)
pejabat yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan yaitu Atasan
Yang Berhak Menghukum (Ankum), pejabat Polisi Militer tertentu, dan Oditur
Militer. Sedangkan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik TNI dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
Tersangkanya.
1.
Atasan
Yang Berhak Menghukum sebagai penyidik.
Berdasarkan
asasbaik kesatuan komando, komandan bertanggung jawab penuh kepada kesatuan dan
anak buahnya, kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang
dilakukan anak buahnya dan untuk dapat menentukan nasib bawahannya merupakan
wewenang yang melekat pada Ankum, sehingga dalam melaksanakan tugas sebagai
penyidik kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki Ankum dilimpahkan
kepada penyidik Polisi Militer dan Oditur Militer.
Tindakan-tindakan
lain yang bersifat administratif seperti mengeluarkan surat penahanan, perintah
penyidikan, dan lain-lain masih mutlak dilaksanakan oleh Ankum. Namun dalam hal
memeriksa dan menjadikan berkas perkara tugas tersebut dilimpahkan kepada
penyidik lainnya.
2.
Polisi
Militer sebagai penyidik.
Adalah salah seorang pejabat yang mendapat
pelimpahan wewenang dari Panglima TNI selaku Ankum tertinggi untuk melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI. Tidak semua
Polisi Militer sebagai penyidik, hanya Polisi Militer tertentulah yang diangkat
dan disumpah untuk menjadi penyidiklah di lingkungan TNI. Konsepsi
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Polisi Militer
sebagai penyidik adalah POM AD, sementara POM AL maupun POM AU saat itu masih
berstatus sebagai Provost, sehingga dalam hal penyidikan provost hanya sebagai
penyidik pembantu saja.
3.
Oditur
Militer sebagai penyidik.
Adalah pejabat yang mendapatkan pelimpahan wewenang
dari Panglima TNI selaku Ankum tertinggi untuk melakukan penyidikan kepada
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana. Semua Oditur Militer di samping
sebagai penuntut umum juga sebagai penyidik, namun tidak memberkas sendiri
kecuali atas perintah Orjen TNI dalam perkara tertentu Oditur Militer dapat
menyidik sendiri sejak awal.
Persyaratan pengangkatan dan
pemberhentian penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana dalam pasal 69 ayat
(1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer diatur dengan keputusan Panglima. Keputusan Panglima TNI Nomor :
Kep/3/IV/2004 tanggal 21 April 2004 tentang Persyaratan, Pengangkatan dan
Pemberhentian Penyidik dan Penyidik Pembantu di lingkungan TNI adalah :
1.
Perwira diangkat dengan
Keputusan Panglima TNI atas usulan Orjen TNI.
2.
Bintara diangkat dengan
Keputusan Orjen TNI atas nama Panglima TNI.
Mengingat
pengangkatan dilakukan mengacu pada Keputusan Panglima TNI Nomor :
Kep/3/IV/2004 tanggal 21 April 2004, maka mekanisme penyumpahan jabatan
penyidik dilakukan oleh :
1.
Perwira oleh Orjen TNI atas
nama Panglima TNI
2.
Bintara oleh Orjen TNI.
Sebagai
penyidik maka oleh Undang-Undang diberi kewenangan yaitu :
1.
Menerima
laporan/pengaduan.
2.
Melakukan tindakan
pertama pada saat dan di TKP.
3.
Mencari keterangan dan
barang bukti.
4.
Menyuruh seseorang
untuk berhenti dan diperiksa surat-surat.
5.
Melakukan penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat.
6.
Mengambil sidik jari
dan memotret seseorang.
7.
Memanggil Tersangka dan
Saksi.
8.
Meminta bantuan
pemeriksaan seorang ahli.
9.
Melakukan tindakan lain
menurut hukum (untuk kepentingan penyidikan).
10. Melaksanakan
perintah penahanan.
11. Melaporkan
hasil penyidikan kepada Ankum.
Ketentuan
pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
disusun mengacu pada ketentuan pasal 7 ayat (1) KUHAP, yang membedakan antara
KUHAP dengan Undang-Undang Nomor 31 tentang Peradilan Militer adalah masalah
“Penghentian Penyidikan”.
Yang
harus dilakukan penyidik di antarany adalah membuat berita acara, penyidik (POM
& Oditur Militer) menyerahkan berkas perkara kepada Papera, Ankum, dan
Oditur, serta penyerahan berkas perkara kepada Oditur Militer harus disertai
penyerahan tanggung jawab Terdakwa dan barang bukti.
Dalam
hal mekanisme penahanan maka Ankum mempunyai kewenangan menahan Tersangka
selama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh Papera selama 30 (tiga
puluh) hari sebanyak 6 (enam) kali sebagaimana ketentuan pasal 78
Undang-UndangNomor 31 tahun 1997 tentang peradilan Militer. Penahanan dapat
dilakukan terhadap perbuatan yang disangka melakukan tindak pidana yang
ancamannya di atas 3 (tiga) bulan, dan sebelum habis masa penahanan Tersangka
dapat dibebaskan dengan surat keputusan. Pelaksanaan penahanan dilaksanakan
oleh POM atau Oditur Militer dengan ditempatkan di ruang tahanan yang berada di
POM dan penangguhan penahanan dapat dilakukan atas saran POM atau Oditur
Militer.
Untuk kepentingan penyidikan,
penyidik dapat melakukan penggeledahan
baik rumah, pakaian atau badan. Penggeledahan terhadap wanita dilakukan
oleh penyidik wanita, dalam hal penyidik memandang perlu untuk memeriksa rongga
badan, pelaksanaannya meminta bantuan dokter. Penggeledahan rumah dilakukan
dengan disaksikan 2 (dua) orang saksi, jika pemilik tidak ada di tempat maka
penggeledahannya dilakukan dengan disaksikan oleh kepala desa atau lurah atau
ketua lingkungan dengan2 (dua) oang saksi.
Dalam hal tidak tertangkap tangan
maka penyidik dilarang :
1.
Memasuki ruang rapat MPR, DPR atau DPRD.
2.
Memasuki tempat yang sedang dilaksanakan
ibadah atau upacara agama.
3.
Memasuki ruang yang sedang dilaksanakan
sidang pengadilan.
4.
Memasuki tempat di lingkungan TNI berdasarkan
kepentingan pertahanan negara yang tidak bebas dimasuki.
Untuk
kepentingan penyidikan maka penyidik dapat melakukan tindakan penyitaan
terhadap :
1.
Benda atau tagihan Tersangka yang
diperoleh dari kejahatan.
2.
Benda yang secara
langsung sudah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya.
3.
Benda yang digunakan
untuk menghalangi penyidikan.
4.
Benda lain yang
mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
5.
Benda dalam sitaan
perkara perdata atau karena pailit, apabila benda tersebut masuk kategori
ketentuan di atas.
Terhadap
benda yang mudah rusak atau membahayakan dan tidak mungkin disimpan sampai
adanya putusan pengadilan maka apabila benda tersebut masih berada di penyidik
atau Oditur Militer, maka benda tersebut dapat dijual (dilelang) atau diamankan
oleh penyidik atau Oditur Militer dengan disaksikan oleh Tersangka atau
kuasanya, bila sudah masuk pengadilan maka harus dilaksanakan oleh Oditur
Militer atas ijin hakim dan uang hasil penjualan dipakai sebagai barang bukti.
Benda
yang sudah terlanjur disita harus dikembalikan
apabila :
1.
Kepentingan penyidikan dan penuntutan
tidak memerlukan lagi.
2.
Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti.
3.
Perkara tersebut
ditutup demi kepentingan umum, militer atau hukum kecuali apabila benda
tersebut diduga diperoleh dari suatu tindak pidana atau dipergunakan untuk
melakukan suatu tindak pdana.
4.
Sudah ada putusan.
Pemeriksaan
surat merupakan tindakan penyidik dalam membuka, memeriksa, dan menyita surat
lain yang dikirim melalui kantor pos, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
jawatan atau pengangkutan apabila benda tersebut dicurigai dengan alasan kuat
mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diperiksa.
Perkembangan
modus tindak pidana dan perkembangan ilmu hukum, pemeriksaan surat dapat
dilakukan baik surat yang diterima atau dikirim melalui jasa pengiriman atau
instansi ataupun yang didapat dalam pemeriksaan.
Penyidik yang
mengetahui, menerima laporan
atau pengaduan tentang terjadinya
peristiwa
dan patut diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan penyidikan
yang diperlukan. Implementasi dari pelaksanaan penyidikan setelah adanya surat
perintah penyidikan atau penyerahan penyidikan dari Ankum atau Atasan Penyidik.
Penyidikan dapat dihentikan apabila
tidak cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau demi kepentingan
hukum. Mekanisme penghentian penyidikan dalam Peradilan Militer tidak diatur
secara rinci, sehingga pelaksanaannya dilaksanakan mengacu pada pasal 125
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer yakni melalui
pendapat Oditur Militer.
Orang yang dipanggil wajib datang
kepada penyidik dan apabila tidak datang maka penyidik memanggil sekali lagi,
dalam hal pemanggilan kedua tidak dipenuhi, penyidik memerintahkan petugas
Polisi Militer untuk membawa Tersangka atau Saksi yang dipanggil secara paksa.
Pemanggilan
terhadap Tersangka atau Saksi prajurit dilakukan melalui Komandan atau kepala
kesatuannya. Untuk pemanggilan terhadap Saksi sipil dilakukan secara langsung
dan apabila melakukan upaya paksa, maka harus berkoordinasi dengan polisi.
Penyidikan dapat dilakukan di tempat kediaman Tersangka atau Saksi yang karena
sesuatu hal ia tidak bisa datang kepada Penyidik.
Sebelum
penyidikan dimulai Tersangka wajib diberitahukan hak-haknya untuk didampingi
penasehat hukum dan penasehat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan
cara melihat serta mendengarkan pemeriksaan. Dalam hal kejahatan keamanan
negara penasehat hokum dapat melihat akan tetapi tidak dapat mendengarkan saat
pemeriksaan dilakukan.
Pada dasarnya Saksi diperiksa secara
sendiri, akan tetapi dalam hal tertentu pemeriksaan Saksi dapat dipertemukan
satu dengan yang lainnya (konfrontasi). Saksi saat diperiksa juga
memiliki
hak untuk didampingi oleh penasehat hukum, dan saat memberikan keterangan Saksi
harus dalam keadaan tidak tertekan dari siapapun dan atau dalam keadaan
apapun. Dan seorang Saksi yang diperiksa
harus disumpah,kecuali terhadap Saksi yang tidak wajib disumpah dan dipastikan
Saksi tersebut akan hadir dalam persidangan.
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan penyidikan yaitu :
1.
Waktu pemanggilan terhadap Saksi atau
Tersangka.
2.
Ke mana panggilan tersebut akan
ditujukan.
3.
Terhadap pemanggilan
Saksi, penyidik harus sudah memiliki dugaan bahwa keterangan Saksi tersebut ada
hubungannya dengan tindak pidana yang sedang diperiksa.
4.
Penentuan status
Tersangka haruslah didasarkan pada bukti permulaan bahwa prajurit tersebut yang
melakukan tindak pidana.
5.
Terhadap Saksi dan
Tersangka dari kesatuan maka kehadirannya didasarkan pada perintah Ankum.
6.
Sebelum pemeriksaan
dimulai Saksi atau Tersangka harus sudah diberikan penjelasan di antaranya :
a.
Pokok perkara yang
sedang diperiksa.
b.
Kondisi kesehatan Saksi
atau Tersangka.
c.
Hak-hak Saksi atau
Tersangka dalam menghadapi pemeriksaan.
Secara khusus
tidak ada ketentuan baku hal apa yang
harus dimuat (ditanyakan) dalam Berita Acara Pemeriksaan baik Saksi atau
Tersangka, akan tetapi secara umum Berita Acara Pemeriksaan harus memuat 3
(tiga) bagian di antaranya :
1.
Bagian
awal.
Secara umum
bagian awal Berita
Acara Pemeriksaan penyidik harus memuat
pertanyaan
dan jawaban di antaranya :
a.
Kesehatan Saksi atau
Terdakwa dan kesediaannya untuk diperiksa dan memberikan keterangan.
b.
Mengertikan saksi atau
Terdakwa diperiksa oleh Penyidik dalam perkara apa.
c.
Dalam pemeriksaan
apakah mau dihadapi sendiri atau didampingi penasehat hukum.
d.
Hubungan Saksi dengan
Tersangka.
e.
Riwayat hidup
Tersangka.
f.
Apakah Saksi atau
Tersangka sebelumnya pernah terlibat suatu perkara.
2.
Bagian
Inti
Secara khusus tidak ada ketentuan hal-hal apa yang
harus dimasukkan atau ditanyakan penyidik baik kepada Saksi atau Tersangka pada
bagian inti pemeriksaan, akan tetapi yang harus diperhatikan karena pemeriksaan
ditujukan untuk menggali fakta yang berhubungan dengan perkara yang sedang
disidik, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus disampaikan kepada terperiksa
harus mengacu pada permasalahan yang sedang disidik.
Menggali fakta banyak cara yang dapat dilakukan, di
antaranya menghubungkan keterangan satu dengan yang lain, atau bukti-bukti yang
didapat, sehingga keterangan yang diperoleh tidak hanya sekedar menggambarkan
adanya hubungan perkaranya saja melainkan juga berhubungan dengan satu dan lain
hal baik dengan Saksi yang lain, Tersangka dan atau barang bukti.
3.
Bagian
Akhir.
Secara umum bagian akhir Berita Acara Pemeriksaan
penyidik harus memuat pertanyaan dan jawaban di antaranya :
a.
Apakah ada keterangan
lain yang akan disampaikan.
b.
Apakah dalam memberikan
keterangan ada tekanan atau paksaan.
c.
Apakah keterangan yang
diberikan adalah keterangan yang benar, dan terhadap Saksi apakah bersedia
disumpah.
d.
Kesanggupan Saksi atau
Tersangka untuk dipanggil lagi apabila diperlukan.
e.
Setelah selesai
pemeriksaan Saksi atau Tersangka dipersilakan untuk membaca semua keterangan
yang sudah diberikan.
f.
Apabila ada keterangna
yang tidak benar, Saksi atau Tersangka dipersilakan untuk memberitahukan dan
untuk dirubah sebelum ditandatangani.
g.
Setelah hasil Berita
Acara Pemeriksaan dipandang benar maka Saksi atau Tersangka dipersilakan untuk
membubuhkan tanda tangan sebagai bentuk persetujuan.
h.
Dalam hal Saksi yang
disumpah, di samping mengucapkan lafal
sumpah akan kebenaran keterangan yang telah diberikan juga
menandatangani berita acara penyumpahan.
Penyumpahan
terhadap Saksi dilakukan selain menurut agama dan kepercayaan Saksi, juga
dilakukan menurut tata cara yang sudah ditentukan dan dilakukan oleh juru
sumpah yang disediakan oleh lembaga penyidik serta adanya Saksi dalam
penyumpahan tersebut. Apabila Saksi tidak hadir dalam persidangan, keterangan
Saksi yang sudah disumpah maka keterangannya dapat dibacakan dan bobotnya sama
dengan keterangan Saksi yang diucapkan dalam persidangan.
Setelah
penyidik selesai melakukan penyidikan, maka sebelum dilakukan pemberkasan
penyidik harus membuat resume dari hasil pemeriksaan. Untuk memberkas suatu
perkara maka berkas perkara harus dilengkapi syarat kelengkapan berkas perkara
di antaranya :
1.
Berkas perkara.
2.
Berita Acara
Pemeriksaan.
3.
Daftar Isi.
4.
Resume.
5.
Laporan Polisi.
6.
Pengaduan (jika
delikaduan/ada pengaduan).
7.
Gambar/sket kejadian
(dalam perkara kecelakaan lalin).
8.
Daftar Tersangka.
9.
BAP Tersangka.
10. Daftar
Saksi.
11. BAP
dan penyumpahan Saksi.
12. BAP
Konfrontir (bila ada).
13. Surat
perintah Penyidikan.
14. Dan surat-surat lain yang ada hubungannya dengan
penyidikan.
Setelah
pemberkasan penyidik melimpahkan berkas perkara yang wajib kepada Ankum,
Papera, dan Oditur Militer, selebihnya tergantung kebutuhan organisasi
penyidik.
Pelimpahan
berkas perkara kepada Oditur Militer disesuaikan kewenangan pangkat
Tersangkanya dan kewenangan Oditurat
sesuai daerah hukumnya. Pada dasarnya penyerahan
Berkas Perkara
kepada Oditur Militer, penyidik juga harus menyerahkan Tersangkanya dan juga
barang bukti yang ada, akan tetapi dalam hal Tersangka tidak ditahan, Tersangka
tidak perlu untuk ikut diserahkan. Dalam hal Tersangka ditahan, maka
pelaksanaannya penahanannya dapat dilakukan di tempat tahanan yang ada di
Polisi Militer atau yang ditunjuk dengan surat penitipan dari Oditur Militer.
Dalam adanya peminjaman pakai barang bukti yang dilakukan penyidik pada saat
penyidikan berlangsung, maka sebelum berkas perkara dilimpahkan barang bukti
harus ditarik kembali dan diserahkan kepada Oditur Militer dan peminjaman dapat
dilakukan lagi ke Oditurat Militer.
Untuk berkas perkara yang dipandang
belum lengkap Oditur Militer dapat mengembalikan berkas perkara kepada penyidik
dengan memberikan petunjuk untuk dilengkapi atau melakukan pemeriksaan tambahan
sendiri yang dilakukan oleh Oditur Militer. Oditur Militer dalam melakukan
penyempurnaan berkas perkara dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan tambahan
atau penyidikan tambahan yaitu dengan memeriksa Saksi atau Tersangka yang sudah
ada atau memeriksa Saksi baru di luar berkas perkara. Dalam hal pemeriksaan
tambahan Oditur Militer juga dapat memasukkan barang bukti baru dan hasil
pemeriksaan tambahan dilakukan pemberkasan dan hasilnya selain juga dilimpahkan
ke pengadilan juga diberikan kepada Ankum dan Papera dari Tersangka.
BAB V
PENELITIAN BERKAS PERKARA
Sebagaimana
ketentuan pasal 124 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, Oditur Militer setelah menerima hasil penyidikan dari
penyidik segera mempelajari dan meneliti
apakah hasil penyidikannya
sudah lengkap atau
belum. Untuk
mengetahui
apakah berkas perkara yang diterima dari penyidik telah memenuhi baik
persyaratan formal maupun persyaratan materiil, dan melakukan tindakan atau
upaya untuk menyempurnakan dan atau memaksimalkan pemenuhan baik persyaratan
formal maupun materiil. Yang harus diperhatikan ketika menerima pelimpahan
berkas perkara dari penyidik adalah jumlah berkas yang diterima, ada tidaknya
barang bukti dan atau Tersangka diserahterimakan (dalam hal Tersangka ditahan).
Beberapa
persyaratan formal berkas perkara adalah :
1.
Kelengkapan
berkas perkara.
2.
Status Tersangka
(pensiun, aktif, ditahan atau dipecat).
3.
Surat Pengaduan
4.
Penasehat Hukum khusus
untuk perkara yang ancamannya 15 (lima belas) tahun ke atas.
Sedangkan
persyaratan materiil berkas perkara meliputi :
1.
Telah sesuai dengan locus dan tempos delicti.
2.
Rangkaian perbuatan
Tersangka sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan.
3.
Uraian kejadian sesuai
dengan pasal yang disangkakan.
Dalam
setiap penyidikan, laporan polisi merupakan dasar dari suatu tindakan
penyidikan sehingga di dalam laporan polisi harus memuat :
1.
Keterangan yang jelas
mengenai tempat dan waktu kejadian.
2.
Uraian kejadian.
3.
Akibat kejadian.
4.
Identitas pelapor.
5.
Pasal yang dilanggar.
Dasar
laporan polisi dapat berasal dari laporan perorangan atau kelompok secara lisan
atau tertulis, laporan dari kesatuan atau dinas atau jawatan atau instansi lain
dengan surat atau melalui telepon atau secara lisan, perintah dari Komandan
atau dengan surat atau melalui telepon atau lisan dan adanya pengetahuan dari
penyidik sendiri. Dalam hal tindak pidana yang dilaporkan merupakan
delik
aduan, di samping adanya laporan polisi, petugas yang menerima laporan wajib
memberitahukan agar dibuatkan pengaduan secara tertulis, misalnya pasal 284
KUHP, pasal 293 KUHP, dan lain sebagainya. Bagi pengadu yang tidak bisa
menulis, petugas wajib menuliskan pengaduan yang dimaksud dan dibubuhi cap
jempol dari pengadu serta tanda tangan petugas yang membuatkan.
Apabila berkas perkara telah
memenuhi baik persyaratan formal maupun materiil, berkas perkara langsung
diproses (diolah) untuk dibautkan BAPAT (Berita Acara Pendapat) dan SPH (Saran
Pendapat Hukum). Dengan arah penyelesaiannya untuk dilimpahkan ke Pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Militer (kecuali perkara koneksitas). Apabila berkas
perkara ada persyaratan formal dan materiil yang belum terpenuhi, maka Oditur
Militer dapat :
1.
Pasal 124 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk disempurnakan.
2.
Pasal 124 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur Oditur
Militer dapat melakukan pemeriksaan tambahan baik kepada Tersangka maupun
Saksi, bahkan Oditur Militer juga menambahkan Saksi baru dalam berkas
pemeriksaan.
3.
Dalam hal kekurangan
persyaratan formal yang harus dilakukan pembongkaran berkas perkara maka harus
dikembalikan kepada penyidik.
Apabila upaya
penyempurnaan berkas perkara
sudah dilakukan, namun
ternyata
perbuatan yang
disangkakan bukan merupakan perbuatan pidana dan atau perbuatan pidana namun
ringan sifatnya, ataupun perbuatan tersebut sebenarnya tindak pidana namun
unsurnya tidak terpenuhi (perbuatan tersebut benar-benar terjadi) maka Oditur
Militer dapat menyelesaikan perkara Tersangka tersebut melalui hokum disiplin
prajurit dengan mengacu pada pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 tahun 1997 dan
pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997. Apabila ternyata
perbuatan tersebut benar-benar murni bukan merupakan perbuatan pidana atau
perbuatan pidana akan tetapi karena alasan hukum pelakunya tidak dapat
dipidana, maka Oditur Militer dapat menyelesaikan perkara Tersangka dengan
jalan menutup perkara Tersangka demi kepentingan hukum, umum, atau militer sebagaimana
pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Upaya penyelesaian perkara di luar persidangan, Oditur Militer wajib meminta
persetujuan terlebih dahulu kepada Orjen TNI. Apabila permohonan Oditur Militer
disetujui oleh Orjen TNI, barulah Oditur Militer mengajukan permohonan
penyelesaian perkara kepada Papera dengan mengajukan Berita Acar Pendapat dan
Saran Pendapat Hukum.
Berita
Acara Pendapat dibuat oleh Oditur Militer secara tugas fungsi bukan stuktural yang disusun memuat :
1.
Kopstuk Surat.
2.
Tujuan penyususnan Pro
Justicia “Untuk Keadilan”
3.
Judul Berita Acara
Pendapat.
4.
Waktu Penyusunan Berita
Acara Pendapat.
5.
Identitas Oditur
Militer yang menyusun.
6.
Identitas Tersangka dan
sangkaannya.
7.
Penahanan Tersangka
bila ada.
8.
Uraian keterangan para
Saksi.
9.
Uraian keterangan
Tersangka.
10. Barang
bukti yang ada.
11. Kesimpulan.
12. Pendapat
penyelesaian.
13. Pengesahan
Oditur Militer.
Sedangkan
Saran Pendapat Hukum (SPH) dibuat oleh Kepala Oditurat Militer secara tugas
struktural untuk diajukan kepada Papera.Saran Pendapat Hukum yang disusun
memuat :
1.
Kopstuk surat.
2.
Waktu penyusunan SPH.
3.
Penomoran surat,
klasifikasi, lampiran dan perihal surat.
4.
Alamat Papera.
5.
Dasar penyusunan SPH.
6.
Identitas Tersangka.
7.
Penahanan Tersangka
bila ada.
8.
Uraian kasus.
9.
Klasifikasi perbuatan.
10. Hal-hal
yang mempengaruhi.
11. Saran
penyelesaian.
12. Pengiriman
keputusan oleh Papera.
13. Penutup.
14. Legalisasi.
15. Tembusan
Surat.
Proses
penanganan perkara di lingkungan Peradilam Militer memang berbeda dengan di
Peradilan Umum, di mana JPU ketika menerima berkas perkara tidak perlu membuat
Berita Acara Pendapat (BAPAT) dan Saran Pendapat Hukum (SPH), melainkan
langsung menyusun surat dakwaan. Hal berbeda dengan sistem Peradilan Militer,
di samping untuk kepentingan sarankepada Papera maka BAPAT Oditur Militer dapat
membantu baik dalam penyusunan surat dakwaan, maupun persidangan dan ketika
Oditur Militer akan menyusun tuntutannya.
Penelitian
berkas perkara sangat menentukan kelancaran prosespenyelesaian perkara, apabila
dalam meneliti berkas perkara tidak dilakukan secara benar, maka dapat
dipastikan proses penyelesaiannya tidak seperti yang diharapkan secara
hukum.
BAB VI
PELIMPAHAN PERKARA
Dalam
Undang-undang Peradilan Militer memang tidak diatur secara liminatif tetang
pengertian “Pelimpahan Perkara” namun makna dari pelimpahan perkara dapat
diambil dari pengertian “Penyerahan Perkara” yaitu tindakan Papera untuk
menyerahkan perkara pidana kepada Pengadilan dalam lingkup Peradilan Militer
atau Peradilan Umum yang berwenang, dengan menuntut supaya diperiksa dan
diadili dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Hal
berbeda dengan apa yang diatur dalam pasal 1 angka 7 KUHAP, bahwa makna
pelimpahan dapat diambil dari pengertian “Penuntutan” yaitu tindakan jaksa
penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan yang disertai permintaan agar
perkaranya diperiksa dan diadili menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Dengan mengkaji
dari makna pelimpahan perkara tersebut, maka pelimpahan perkara
sangat
berhubungan erat dengan pengertian “Penuntutan” sebagaimana dalam KUHAP maupun
pengertian “Penyerahan Perkara” sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer. Ada hal yang sangat menarik dari kedua
pengertian baik “Penuntutan” maupun “Penyerahan Perkara” di antaranya :
1.
Keduanya sama-sama
tindakan pelimpahan perkara ke Pengadilan yang berwenang, yang disertai dengan
permintaan agar perkaranya diperiksa dan diadilioleh pengadilan tersebut.
2.
Dalam KUHAP yang
melakukan pelimpahan telah disebutkan secara liminatif yaitu Jaksa Penuntut
Umum, sehingga dengan pengertian “Penuntutan” tersebut dapat dijadikan pedoman
untuk menentukan batasan waktu yang berhubungan dengan “Penuntutan” misalnya
penghitungan masa daluwarsa.
3.
Dalam undang-undang
Peradilan Militer disebutkan bahwa yang melimpahkan perkara ke pengadilan yang
berwenang bukan Oditur Militer melainkan Papera, padahal dalam praktek yang
melimpahkan ke pengadilan adalah Oditur Militer, Papera hanya menerbitkan
Keppera saja, sehingga pengertian “Penyerahan Perkara” tidak serta merta bisa
dimaknai sebagai pengertian “Penuntutan” dan untuk penghitungan masa daluwarsa.
Pelimpahan
perkara ke pengadilan merupakan langkah Kepala Oditurat Militer setelah
menerima keputusan penyerahan perkara dari Papera dan Oditur Militer setelah
menyusun surat dakwaan. Selain kewenangan untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara pidana, Oditurat Militer dalam melimpahkan perkara disertakan :
1.
1 (satu) bendel berkas
perkara asli.
2.
1 (satu) bendel berkas
perkara pemeriksaan tambahan (bila ada).
3.
Surat dakwaan oditur.
4.
Keputusan Penyerahan
Perkara asli.
5.
SPH dan BAPAT.
Dalam
suatu proses penyelesaian perkara pidana surat dakwaan merupakan sesuatu hal
yang sangat penting dan menduduki peran yang sangat menetukan dalam proses
persidangan peradilan pidana secara umum. Ketentuan mutlak yang harus
diperhatikan dan dipenuhi Oditur Militer dalam menyusun surat dakwaan
sebagaimana diatur dalam pasal 130 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer bahwa surat dakwaan selain diberi tanggal dan
ditandatangani oleh Oditur Militer harus berisikan :
1.
Identitas secara
lengkap (nama lengkap, pangkat, korps, NRP, jabatan, kesatuan, tempat tanggal
lahir (umur), jenis kelamin, kewarganegaraan, agama dan tempat tinggal
Terdakwa).
2.
Uraian fakta secara
cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Apabila
tidak memenuhi ketentuan pasal 130 ayat (2) b Undang-undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer maka surat dakwaan menjadi batal demi hukum. Karena
dalam sistem Peradilan Militer ketika Oditur Militer mengajukan permohonan
penerbitan Keppera dari Papera Oditur Militer telah terlebih dahulu menyusun
SPH dan BAPAT, maka dalam penyusunan surat dakwaan Oditur Militer dipastikan
tidak mengalami kesulitan, mengingat tindak pidana atau pasal yang disangkakan
untuk diubah menjadi yang didakwakan telah terlebih dahulu terurai dalam SPH
dan BAPAT. Ada beberapa macam atau jenis surat dakwaan yang dapat disusun oleh
Oditur Militer yaitu :
1.
Dakwaan tunggal.
Dakwaan
tunggal yaitu dakwaan yang disusun hanya 1 (satu) pasal yang
didakwakan, sehingga
terbukti tidaknya dakwaan yang didakwakan kepada diri Terdakwa tergantung dari
dakwaan tersebut, terhadap dakwaan ini semua unsur tindak pidana harus
dibuktikan.
2. Dakwaan
alternatif.
Dakwaan
ini disusun berdasarkan pada 1 (satu) perbuatan, namun dapat didakwaan dengan 2
(dua) pasal atau lebih. Penyusunan
dakwaan alternatif dituliskan dengan istilah “kesatu atau kedua” dan
seterusnya. Pembuktiannya, Oditur Militer atau Hakim Militer dalam membuktikan
unsur tindak pidananya dapat memilih dakwaan mana yang akan dibuktikan. Apabila
baik Oditur Militer maupun Hakim Militer akan membebaskan Terdakwa maka semua
dakwaan yang didakwakan kepada diri Terdakwa haruslah dibuktikan terlebih
dahulu.
3. Dakwaan
primer subsider.
Dakwaan
ini disusun secara berlapis dengan dasar bahwa perbuatannya adalah satu, hanya
ancaman pidananya yang membedakan. Penyusunannya disusun dengan memperhatikan
ancaman pidana yang lebih berat dahulu baru yang lebih ringan. Primer dahulu
baru subsidernya. Pembuktian terhadap dakwaan ini, baik Oditur Militer maupun
Hakim Militer harus membuktikan dari dakwaan yang lebih berat dulu (primer
dulu) baru yang lain.
4.
Dakwaan
komulatif.
Dakwaan
ini disusun komulasi dari beberapa tindak pidana yang penyusunannya disusun
dengan tingkatan kesatu, kedua dan seterusnya, dalam dakwaan komulatif antara
dakwaan kesatu dengan dakwaan kedua akan kebih sempurna jika digunakan kata
penghubung “dan”. Penyusunan terhadap dakwaan ini tidak harus disusun
berdasarkan
ancaman pidana tapi
bebas dan pembuktian terhadap dakwaan ini baikOditur Militer maupun Hakim
Militer wajib untuk membuktikan semua dakwaannya.
5. Dakwaan kombinasi.
Dakwaan
ini pada dasarnya merupakan dakwaan komulatif hanya saja komulatifnya berlapis,
sehingga penyusunannya disusun dengan menggabungkan berbagai macam jenis
dakwaan, contoh antara dakwaan alternatif dan dakwaan tunggal atau dakwaan
primer subsider. Cara pembuktian terhadap dakwaan kombinasi tetntunya
dibuktikan dengan mendasarkan pada masing-masing dakwaan, yan alternatif
mengikuti cara pembuktian alternatif dan begitu juga yang lainnya.
Sebagaimana ketentuan pasal 131 ayat
(1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, Oditur Militer
diberi kewenangan untuk mengubah surat dakwaan 1 (satu) kali selambat-lambatnya
7 (tujuh) hari sebelum siding pengadilan tingkat pertama dimulai. Hal-hal yang
dapat dilakukan dalam perubahan surat dakwaan di antaranya :
1.
Membetulkan untuk
memperbaiki tulisan.
2.
Menambahkan pasal yang
didakwakan, tanpa menghilangkan pasal semula.
3.
Menambahkan uraian
fakta selama didasarkan pada fakta berkas yang ada.
Perubahan
surat dakwaan selain dikirim ke pengadilan juga diberikan kepada Terdakwa,
Penasehat Hukum dan Perwira Penyerah Perkara.
BAB VII
JENIS-JENIS PEMERIKSAAN
Undang-undang
Peradilan Militer secara khusus tidak memberikan pernertian apa itu
“pemeriksaan”, namun demikian
istilah tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk cara proses
persidangan
di pengadilan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara. Hal-hal yang
dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan adalah :
1.
Setelah menerima berkas
perkara dari Oditur Militer maka Pengadilan Militer mempelajari khususnya
masalah kewenangan pengadilan.
2.
Dalam hal perkara
tersebut merupakan masuk pada kewenangannya, Kepala Pengadilan Militer
mengeluarkan Penetapan Hari Sidang dan Penetapan Hakim.
3.
Dalam hal perkara bukan
merupakan kewenangannya maka Kepala Pengadilan Militer mengeluarkan penetapan
dengan disertai alasan dan mengembalikan berkas perkara kepada Oditurat Militer
untuk dilimpahkan ke Pengadilan Militer yang berwenang.
Apabila
ketika pengadilan menerima pelimpahan berkas perkara yang Terdakwanya ditahan,
maka sejak berkas perkara diterima kewenangan untuk menahan atau tidak berada
pada pengadilan dan harus dikeluarkan penetapan. Guna kepentingan pemeriksaan
Hakim Pengadilan Militer dapat melakukan penahanan sementara selama 30 (tiga
puluh ) hari dan diperpanjang selama 60 (enam puluh) hari oleh Kepala
Pengadilan Militer, kecuali karena Terdakwa menderita gangguan fisik atau
mental berat (dengan surat keterangan dari dokter) atau ancaman pidana yang
didakwakan lebih dari dari 9 (sembilan) tahun maka penahanan tersebut dapat
diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari sebanyak 2 (dua) kali.
Dalam
hal pengadilan berpendapat perkara yang diterima merupakan kewenangannya maka
Kepala Pengadilan Militer menunjuk majelis hakim dengan penetapan hakim. Dan
hakim ketua membuat penetapan hari sidang dan memerintahkan kepada Oditur
Militer untuk memanggil Terdakwa dan para saksi.
Selanjutnya Oditur
Militer melakukan pemanggilan
kepada Terdakwa dan para saksi,
syarat-syarat
pemanggilan tersebut adalah :
1.
Surat panggilan harus
sudah diterima oleh Terdakwa atau para saksi paling lambat 3 (tiga) hari
sebelum sidang dimulai.
2.
Terdakwa dan para saksi
prajurit pemanggilan melalui Ankum.
3.
Terdakwa dan para Saksi
prajurit/sipil yang berada dalam tahanan pemanggilan melalui pejabat yang
melaksanakan penahanan.
4.
Terdakwa dan para saksi
sipil pemanggilan langsung kepada yang bersangkutan.
5.
Pemanggilan ke luar
negeri melalui perwakilan RI di tempat yang dipanggil.
6.
Pejabat yang menerima
surat pemanggilan wajib memerintahkan Terdakwa dan para Saksi yang dipanggil.
Adapun
jenis-jenis pemeriksaan perkara dalam lingkungan Peradilan Militer adalah
sebagai berikut :
1.
Acara
pemeriksaan biasa:
a. Majelis Hakim memasuki persidangan, Oditur,
Panitera, dan Penasehat Hukum siap di tempat.
b. Hakim Ketua menanyakan kesiapan kepada
Oditur, Hakim anggota, Panitera dan Penasehat Hukum.
c. Hakim Ketua membuka persidangan.
d. Perintah kepada Oditur untuk menghadapkan
Terdakwa.
e. Hakim Ketua memeriksa identitas Terdakwa dan
mengingatkan kepada Terdakwa untuk memperhatikan apa yang didengar dan dilihat.
f. Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa akan
didampingi Penasehat Hukum atau tidak.
g. Memerintahkan kepada Oditur untuk membaca
surat dakwaan.
h. Hakim Ketua menanyakan kepada Terdakwa apakah
ia mengerti isi surat dakwaan, dan menjelaskan hak Terdakwa terhadap surat
dakwaan.
Dalam hal tidak ada
eksepsi maka
i. Dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara, yaitu
pemeriksaan para Saksi, Terdakwa
dan barang bukti.
j. Oditur
menyampaikan tuntutan.
k. Pledoi, replik dan duplik.
l. Musyawarah Hakim.
m.
Pembacaan putusan hakim.
2.
Acara
pemeriksaan koneksitas.
Acara pemeriksaan koneksitas merupakan proses acara
persidangan di pengadilan tingkat pertama dalam menangani perkara pidana yang
dilakukan secara bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel Peradilan
Militer dan yustisiabel Peradilan Umum. Pengadilan
perkara
koneksitas pada dasarnya dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum namun apabila akan diadili di peradilan militer maka harus ada
persetujuan Menteri Kehakiman. Perkara pidana yang akan diadili secara
koneksitas penyidikannya juga harus dilaksanakan oleh satu tim tetap yang
terdiri dari POM, Oditur, Penyidik dalam lingkungan Peradilan Umum yang
pelaksanaannya dilaksanakan sesuai kewenangan masing-masing. Untuk menentukan
pengadilan mana yang akan memeriksa dan mengadili perkara koneksitas maka
terlebih dahulu berkas perkaranya dilakukan penelitian bersama antara
Jaksa/Jaksa Tinggi dan Oditur, dan hasil penelitiannya harus dituangkan dalam
Berita Acara dan ditandatangani bersama. Hasil penelitian tersebut dilaporkan
kepada Jaksa Agung RI dan Orjen TNI. Kesimpilan dari Berita Acara harus
dibubuhi catatan oleh Jaksa/Jaksa Tinggi atau Oditur yang mengajukan perkara
tersebut “bahwa Berita Acara tersebut telah diambil alih olehnya”.
Pengadilan yang menyidangkan perkara koneksitas,
Majelis Hakimnya terdiri sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang. Apabila diadili di
Peradilan Umum maka hakim ketuanya dari Peradilan Umum dan anggotanya dibagi.
Begitu juga sebaliknya hanya dalam hal hakim dari Peradilan Umum jika akan
bersidang di Peradilan Militer maka diberi pangkat lokal.
3.
Acara
pemeriksaan khusus.
Acara Pemeriksaan Khusus merupakan proses acara
persidangan pada penanganan perkara pidana di Pengadilan Militer Pertempuran.
Acara pemeriksaan di Pengadilan Militer Pertempuran dilaksanakan mengacu pada
pemeriksaan biasa, koneksitas sepanjang tiding bertentangan dengan acara
pemeriksaan khusus. Sifat putusan Pengadilan Militer Pertempuran adalah tingkat
pertama dan terakhir. Putusan ini tidak dapat dibanding namun dapat diajukan
kasasi baik oleh Terdakwa maupun Oditur sebagaimana pasal 204 ayat (4) UU No.
31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Pembuktian Acara Pemeriksaan Khusus berlaku
ketentuan :
a.
Pengetahuan hakim dapat
dijadikan sebagai alat bukti.
b.
Barang bukti cukup
dibuktikan dengan adanya surat keterangan yang dibuat atas sumpah jabatan yang
bersangkutan.
Kecuali
terhadap pidana mati, pelaksanaan putusan tidak tertunda karena adanya
permohonan grasi. Permohonan grasi diajukan ke Presiden melalui Panitera
Pengadilan Militer Pertempuran yang diteruskan ke Pengadilan Militer Utama dan
Pengadilan Militer Utama setelah mendengar pendapat Oditur Jenderal TNI baru
meneruskan ke Presiden.
4.
Acara
pemeriksaan cepat.
a.
Acara pemeriksaan cepat
dilaksanakan untuk perkara pelanggaran tertentu terhadap perundang-undanganlalu
lintas dan angkutan jalan. Dalam hal ini tidak diperlukan Berita Acara
Pemeriksaan, tetapi cukup dengan Berita Acara Pelanggaran Lalu Lintas.
b.
Dalam waktu paling
lambat 7 (tujuh) hari sesudah bukti pelanggaran diterima, Pengadilan
Militer/Tinggi yang bersangkutan mengadili dengan hakim tunggal dan putusan
dapat dijatuhkan meskipun Terdakwa tidak hadir.
c.
Apabila dijatuhkan
perampasan kemerdekaan Terdakwa dapat mengajukan banding, dan dalam hal putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya
Terdakwa berupa pidana perampasan kemerdekaan Terdakwa dapat mengajukan
perlawanan kepada pengadilan yang memutuskan dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah
putusan diterima. Dengan perlawanan tersebut putusan di luar hadirnya Terdakwa
menjadi gugur, lalu ditetapkan hari sidang untuk memeriksa kembali.
d.
Putusan dapat diambil
berdasarkan keyakinan yang didukung satu alat bukti.
BAB VIII
PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN
Undang-undang
Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer secara khusus memang tidak
memberikan pengertian apa itu “Pembuktian” juga “Pemeriksaan”, namun demikian
dalam proses persidangan peradilan pidana, makna “Pembuktian” ataupun “Pemeriksaan”
merupakan rangkaian proses pemeriksaan pokok perkara dalam persidangan
peradilan pidana.
Sedangkan
pembuktian adalah merupakan proses atau tahapan pemeriksaan baik para Saksi,
Terdakwa maupun barang bukti dalam persidangan yang bertujuan untuk mencari
atau menggali bukti-bukti yang adauntuk menguji alat bukti yang sah. Dan dengan
alat bukti tersebut kebenaran dakwaan Oditur Militer yang didakwakan kepada
diri Terdakwa dapat dibuktikan atau tidaknya.
Secara
umum baik Oditur Militer, Majelis Hakim maupunTerdakwa atau Penasehat Hukum
Terdakwa sama-sama memiliki kepentingan dalam pembuktian, artinya sama-sama
mempunyai kewajiban untuk membuktikan apa yang diyakini sesuai dengan
kepentingan masing-masing. Secara khusus titik berat yang harus membuktikan tindak
pidana yang didakwakan kepada diri Terdakwa adalah tugas Oditur Militer. Siapa
mendakwa, maka dialah yang harus membuktikan.
Hal-hal yang harus dibuktikan dalam
persidangan adalah unsur-unsur tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepada
diri Terdakwa. Sehingga dalam membuktikan suatu tindak pidana baik Hakim,
Oditur Militer, dan juga Penasehat Hukum tidak seharusnya menyimpang dari
tindak pidana yang didakwakan kepada diri Terdakwa. Cara melakukan pembuktian
adalah memeriksa para Saksi, baik Saksi yang hadir, Saksi yang tidak hadir,
Saksi ahli, Saksi Adecart, maupun Saksi verbalism.
Hal-hal
yang harus diperhatikan dalam pembuktian adalah :
1.
Hakim dilarang
menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan
mengenai salah atau tidaknya Terdakwa.
2.
Pernyataan yang
bersifat menjerat, mempengaruhi atau bertentangan dengan kehormatan prajurit
tidak boleh diajukan baik kepada Terdakwa maupun kepada Saksi.
Secara
umum proses pembuktian melalui pemeriksaan dalam persidangan dimulai dengan
pemeriksaan Saksi, namun jika Hakim Ketua menghendaki yang disertai
pertimbangannya bisa dimulai dengan pemeriksaan Terdakwa sesuai pasal 153 UU No. 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
Hal-hal
yang harus digali dalam pemeriksaan baik terhadap para Saksi, Terdakwa maupun
barang bukti, diarahkan pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada
diri Terdakwa. Secara umum seorang Oditur Militer atau Jaksa Penuntut Umum di
dalam mendakwa Terdakwa sebagaimana yang dituangkan dalam surat dakwaan telah
mendasari bukti-bukti yang ada di dalam berkas perkara. Oleh karenanya ketika
Oditur Militer atau Jaksa Penuntut Umum melakukan pemeriksaan untuk membuktikan
tindak pidana yang didakwakan kepada diri Terdakwa mengacu pada fakta atau
bukti-bukti yang ada di dalam berkas, dan dikembangkan di dalam persidangan.
Selain daripada itu hal-hal yang harus diperhatikan adalah apabila seseorang
dinyatakan sebagai Terdakwa oleh Oditur Militer tentunya Oditur Militer telah
memiliki bukti awal dalam berkas perkara minimal 2 alat bukti yang sah, karena
dakwaan Oditur Militer adalah Terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan atau
peristiwa yang melanggar hukum, maka pemeriksaan (pembuktian) mengacu pada apa
yang sudah diyakini Oditur Militer dalam surat dakwaannya. Selanjutnya karena
Terdakwa tidak disumpah, dan keterangannya hanya untuk dirinya sendiri, jika
telah ada 2 alat bukti yang sah maka keterangan Terdakwa yang tidak mengakui
perbuatannya bisa tidak terlalu diperhatikan. Dan sebelum pemeriksaan perlu
diperingatkan bahwa apa yang diterangkan Terdakwa dipersidangan akan dijadikan
pertimbangan bagi Oditur Militer maupun Hakim Militer. Termasuk terhadap
keterangan Saksi yang tidak disangkal namun tidak diakui oleh Terdakwa perlu
diingatkan kalau terhadap keterangan Saksi Terdakwa tidak menyangkal.
BAB IX
PENUNTUTAN DAN PEMBELAAN
Penuntutan
Oditur Militer dilakukan tentunya setelah pemeriksaan baik Saksi, Terdakwa
maupun barang bukti selesai semua, dan Hakim Ketua menyatakan pemeriksaan
selesai maka ketentuan pasal 182 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer merupakan hak Oditur Militer untuk menyampaikan
tuntutannya.
Secara
khusus Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak
mengatur adanya bentuk-bentuk tuntutan, akan tetapi jika mengkaji ketentuan
pasal 189 ayat (1) dan ayat (2) serta pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
tentang Peradilan Militer maka tuntutan Oditur Militer dapat berupa :
1.
Pembebasan dari
dakwaan.
2.
Pelepasan dari segala
tuntutan hukum.
3.
Pemidanaan.
Secara
umum tahapan penuntutan oleh Oditur Militer dan pembelaan baik oleh Terdakwa
atau Penasehat hukum sebagaimana diatur dalam pasal 182 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1997 dapat dibagi menjadi 4 (empat) tahap di antaranya :
1.
Requisitor atau
Tuntutan.
2.
Pledoi atau Pembelaan.
3.
Replik atau Tanggapan
atas Pembelaan.
4.
Duplik atau Tanggapan
atas Tanggapan Pembelaan.
Setelah
Oditur Militer menyampaikan tuntutan pidana di hadapan persidangan, Terdakwa
ataupun Penasehat Hukumnya memiliki hak, baik pledoi ataupun clementi. Pengajuan
pledoi harus disampaikan secara tertulis sedangkan untuk clementi bisa diajukan
secara tertulis ataupun secara lisan.
Secara
umum tuntutan Oditur Militer harus memuat :
1.
Kopstuk dan pro
justicia serta umum.
2.
Identitas Terdakwa dan
keterangan Terdakwa ditahan tidaknya.
3.
Dasar penyerahan
perkara.
4.
Locus dan tempos serta
tindak pidana yang didakwakan.
5.
Keterangan Saksi,
Terdakwa, barang bukti, dan fakta hukum.
6.
Pembuktian unsur tindak
pidana dan kesimpulan pembuktian.
7.
Hal-hal yang
mempengaruhi,
8.
Pernyataan kesimpulan
pelanggaran tindak pidana.
9.
Dasar pemidanaan dan
tuntutan pidana :
a.
Pidana pokok.
b.
Pidana tambahan.
c.
Pidana denda.
d.
Penahanan.
10. Penentuan status barang bukti.
11. Pembebanan
biaya perkara.
12. Penutup
dan legalisasi Oditur Militer.
Fakta
yuridis merupaka fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, dan dari fakta
yuridis tersebut akan diperoleh fakta hukum yang akan dipergunakan untuk
membuktikan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dakwaan Oditur Militer.
Dalam perumusan
fakta yuridis selalu dimulai dari
keterangan para Saksi, keterangan
Terdakwa, dan
barang bukti. Penyusunan daftar Saksi dalam tuntutan dirumuskan dengan
menyesuaikan Saksi yang diperiksa terlebih dahulu, Saksi yang dibacakan dan
selanjutnya Saksi tambahan.
Perumusan keterangan Saksi yang
terungkap dalam persidangan haruslah memuat semua keterangan Saksi yang
disampaikan dalam persidangan, mengenai apakah keterangan Saksi dimaksud akan
dijadikan sebagai fakta hukum atau tidak, tergantung apakah keterangannya
didukung dengan keterangan Saksi yang lain atau alat bukti yan lain, dan
keterangan Saksi dimaksud apakah bersesuaian dengan tindak pidana yang
didakwakan kepada diri Terdakwa.
Dalam uraian fakta yuridis harus
memuat keterangan Terdakwa, dan semua keterangan Terdakwa baik yang mengakui
maupun yang menyangkal terhadap tindak pidana yang didakwakan juga fakta-fakta
lain yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan,
misalnya pernah tidaknya Terdakwa bertugas operasi tempur, pernah tidak
sebelumnya terlibat kasus dan lain-lain, itu semua harus dirumuskan dalam
uraian keterangan Terdakwa.
Apakah keterangan Terdakwa akan
dijadikan sebagai fakta hukum, itu semua tergantung apakah keterangannya dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang sah atau setidak-tidaknya ada alat bukti yang
mendukung keterangannya.
Barang bukti, merupakan fakta yang
diajukan ke persidangan yang bukan merupakan keterangan yang disampaikan secara
lisan, bisa berbentuk barang, atau surat. Barang bukti berupa surat dalam
pembuktian dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan atau dapat untuk
mendukung bukti lain sebagai alat bukti, berbeda dengan barang bukti berupa
barang hanya bisa untuk menambah keyakinan saja.
Rumusan fakta hukum merupakan bentuk
kesimpulan dari fakta yuridis,di mana dalam
fakta hukum harus
memuat rumusan-rumusan yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, serta
fakta-fakta lain yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
Rumusan fakta hukum bukan merupakan
rumusan yang menyatakan Terdakwa terbukti atau tidak melakukan tindak pidana
sebagaimana yang didakwakan, akan tetapi bersifat uraian yang jika dihubungkan
satu dengan yang lain akan membentuk suatu bukti yang dapat digunakan untuk
membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.
Rumusan fakta hukum tidak selalu
diambil dari keterangan Saksi atau Terdakwa, dan atau barang bukti akan tetapi
diambil dari fakta yuridis yang ada kaitannya dengan tindak pidana yang
didakwakan, serta dapat digunakan sebagai pertimbangan.
Uraian pembuktian unsur-unsur tindak
pidana dalam tuntutan Oditur Militer merupakan hal yang sangat penting, karena
suatu tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan dapat dinyatakan terbukti secara
sah dan meyakinkan atau tidak sangat ditentukan pada uraian pembuktian unsur
tindak pidana.
Unsur-unsur tindak pidana selalu
diambil dari rumusan pasal yang didakwakan kepada Terdakwa, cara pembagiannya
dalam praktek biasanya ditentukan dari bagian-bagian rumusan yang ada di dalam
pasal. Dalam bagian-bagian rumusan pasal ada yang bersifat tunggal dan ada yang
bersifat alternatif. Untuk yang bersifat alternatif, pembuktiannya dapat
dibuktikan semua jika fakta hukumnya dapat digunakan untuk membuktikan
semuanya, namun jika tidak maka pembuktiannya yang dipandang cocok dan terbukti
saja. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pembuktian unsur-unsur tindak
pidana yaitu dalam merumuskan pembuktian unsur tindak pidana Oditur Militer
harus merumuskan unsurnya, dan pengertian daripada unsur tindak pidana, dan
dilanjutkan mengungkapkan fakta yang mendukung pada unsur yang akan dibuktikan
dan pada bagian akhir kesimpulan atas pembuktian.
Setelah Oditur Militer membuktikan
unsur tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa, sebelum menentukan
tuntutannya apakah terbukti atau tidak, maka Oditur Militer juga harus
menguraikan hal-hal yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan berat
ringannya tuntutan, di antaranya hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang
meringankan. Setelah Oditur Militer membuktikan unsur tindak pidananya dan
memperhatikan hal-hal yang berpengaruh baik yang memberatkan maupun yang
meringankan, sampai pada permohonan Oditur Militer dalam bentuk “menuntut atau
tuntutan”. Selanjutnya barang bukti yang diajukan dalam persidangan merupakan
barang sitaan, sehingga dalam penentuan barang bukti harus diperhatikan barang
tersebut disita dari siapa, siapa pemiliknya, dan barang bukti tersebut
digunakan untuk apa. Dari itu semua penentuan status barang bukti baru dapat
ditentukan statusnya.Macam-macam penentuan status barang bukti pada tuntutan
adalah :
1.
Dikembalikan kepada
yang berhak (dengan menyebutkan siapa yang berhak)
2.
Dikembalikan kepada
yang paling berhak (dalam hal pemiliknya belum jelas)
3.
Disita untuk Negara.
4.
Dirampas untuk
dimusnahkan.
Setelah
Oditur Militer merumuskan semua yang harus dimuat dalam tuntutan, karena dalam
persidangan diatur adanya biaya perkara, maka Oditur Militer harus juga
menuntut pembayaran biaya perkara, dengan catatan :
1.
Apabila Terdakwa
dituntut bebas, maka pembayaran biaya perkara dibebankan kepada negara.
2.
Apabila Terdakwa
dituntut dengan tuntutan pemidanaan, maka Terdakwa dibebankan untuk membayar
biaya perkara dalam jumlah tertentu.
Uang perkara
yang diperoleh, selanjutnya
diserahkan ke Kas Negara sebagai
bentuk
penghasilan
negara. Pada bagian paling akhir adalah penutup dan legalisasi dari Oditur
Militer yang melakukan penuntutan.
Selanjutnya setelah Oditur Militer
melakukan penuntutan maka giliran
Terdakwa atau Penasehat Hukum melakukan pembelaan/pledoi. Penyusunan
pledoi tidak diatur secara khusus, hal tersebut tergantung selera Terdakwa atau
Penasehat Hukum yang akan menyampaikan pledoi. Hal-hal yang perlu dan penting
dimasukkan dalam rumusan pledoi adalah hal-hal apa yang dipandang tidak
sependapat atas tuntutan Oditur Militer. Pledoi secara umum lebih bersifat sanggahan
atau ungkapan ketidaksependapatan atas apa yang diuraikan oleh Oditur Militer
dalam tuntutannya dan pledoi harus disampaikan secara tertulis dan diberikan
kepada Majelis Hakim maupun Oditur Militer.
Sedangkan
clementi secara umum merupakan bentuk pengakuan atas kesalahan dan permohonan
keringanan hukuman, sehingga apa yang dimasukkan dalam clementi biasanya
merupakan hal-hal yang lebih bersifat meringankan. Clementi dapat disampaikan
secara lisan yang selanjutnya dicatat oleh Panitera dalam Berita Acara Sidang
dan juga dapat diajukan secara tertulis baik oleh Terdakwa maupun Penasehat
Hukumnya. Secara khusus Undang-Undang nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer tidak mengatur isi pledoi, namun berdasarkan praktek pledoi biasanya
berisikan :
1.
Hal-hal yang dipandang
tidak tepat atau akan disanggah dari tuntutan Oditur Militer.
2.
Hal-hal lain yang
karena eksepsinya ditolak sehingga sebagai bentuk perlawanannya atas Putusan
Sela diuraikan dalam pledoi.
Setelah
pembacaan pledoi maka giliran Oditur Militer menyampaikan tanggapanatau replik
atas pembelaan Terdakwa atau Penasehat Hukum. Penyusunan replik tidak diatur
secara
khusus, namun
tiap-tiap Oditurat Militer selalu memiliki ciri atau format bentuk replik. Hal
terpenting yang harus ada dalam replik adalah sanggahan atau tanggapan dari apa
yang disanggah Terdakwa atau Penasehat Hukum atas tuntutan Oditur Militer,
dengan menyampaikan berbagai alasan dan dasar hukumnya. Memang bukan suatu
keharusan bila ada pledoi, maka Oditur Militer harus menyampaikan replik, akan
tetapi merupakan hal yang sangat tidak wajar jika tuntutannya disanggah Oditur
Militer hanya diam dan tidak melakukan pembelaan. Hal berbeda jika Terdakwa
atau Penasehat Hukumnya hanya menyampaikan clementi, maka Oditur Militer boleh menanggapi
atau tidak. Akan tetapi secara umum tanggapan atas clementi Oditur Militer
hanya menyampaikan bahwa “Karena Terdakwa atau Penasehat Hukum tidak mengajukan
pembelaan, hanya permohonan, maka Oditur Militer tidak perlu menanggapinya dan
Oditur Militer menyatakan tetap pada tuntutannya.
Setelah
Oditur Militer menyampaikan Replik maka Terdakwa atau Penasehat Hukumnya masih
diberi kesempatan untuk melakukan tanggapan atas replik dari Oditur Militer
yaitu duplik. Penyusunan duplik tidak diatur secara khusus, demikian juga bukan
merupakan keharusan bila ada replik dari Oditur Militer, Terdakwa atau
Penasehat Hukum harus menyampaikan duplik. Namun secara logika jika memang
pledoinya sangat mendasar dan tuntutan maupun repliknya masih dipandang kurang
tepat seharusnya Terdakwa atau Penasehat Hukum menyampaikan argumennya untuk
mematahkan tuntutan Oditur Militer atau setidak-tidaknya mempertahankan
pendapatnya yang telah dituangkan dalam pledoinya. Apabila setelah replik
Terdakwa atau Penasehat Hukum tidak memanfaatkan kesempatannya untuk mengajukan
duplik, maka biasanya Terdakwa atau Penasehat Hukum hanya menyampaikan bahwa
dirinya tepat pada pledoinya.
BAB X
PUTUSAN PENGADILAN
Secara
khusus Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak
memberikan pengertian secara khusus apa itu putusan, namun jika diperhatikan
dari rangkaian proses persidangan hingga adanya putusan, maka makna putusan
dapat dipahami sebagai bentuk rumusan Hakim dalam mengambil keputusan atas
perkara yang disidangkan.
Demikian
juga Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer maupun KUHAP
juga tidak mengatur bentuk-bentuk putusan namun demikian jika kita perhatikan
dari seluruh proses hukum suatu perkara pidana, maka dapat digambarkan bahwa
ada beberapa macam putusan di antaranya :
1.
Putusan
Sela.
Yaitu merupakan putusan yang bukan memuat pokok
materi hukum yang menjadi perkara, namun hanya bersifat menyatakan surat
dakwaan Oditur Militer dinyatakan tidak dapat diterima (batal demi hukum),
pengadilan tidak berwenang, dan atau eksepsi tidak dapat diterima. Ketentuan
yang harus diperhatikan dalam putusan sela adalah dengan memperhatikan
ketentuan pasal 130 ayat (2) huruf b dan pasal 133 Undang-Undang Nomor 31
tentang Peradilan Militer tentang kewenangan mengadili. Dalam putusan sela,
harus memuat berbagai pertimbangan di antaranya surat dakwaan oditur Militer,
eksepsi (keberatan) Terdakwa atau Penasehat Hukum, Tanggapan Oditur Militer
atas eksepsi. Isi putusan sela berisi :
a.
Dakwaan tidak dapat
diterima (batal demi hukum) atau Pengadilan tidak berwenang mengadili perkara
Terdakwa.
b.
Eksepsi tidak dapat
diterima dan menyatakan pemeriksaan dilanjutkan.
Apabila surat dakwaan dinyatakan tidak dapat diterima
dalam putusan sela, maka Oditur Militer memiliki hak untuk mengajukan
perlawanan yang diajukan ke Pengadilan Banding.Isi putusan banding terhadap
perlawanan Oditur Militer atas putusan sela hanya memuat :
a.
Menerima perlawanan Oditur
Militer dengan membatalkan putusan sela, dan memerintahkan Pengadilan tersebut
melanjutkan pemeriksaannya.
b.
Menolak perlawanan atau
keberatan Oditur Militer dengan menguatkan putusan pengadilan yang
bersangkutan.
2.
Putusan
Tingkat Pertama.
Putusan pengadilan pada tingkat pertama diambil
setelah ketentuan pasal 182 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer selesai dan berdasarkan pasal 188 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 tentang Peradilan Militer Majelis Hakim mengadakan musyawarah tertutup
untuk mengambil keputusan. Hakim bermusyawarah untuk mengambil keputusan pada
dasarnya putusan didasarkan pada Surat Dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti
dalam sidang serta diambil atas dasar hasil permufakatan bulat, namun apabila
tidak, maka putusan dapat diambil berdasarkan suara terbanyak atau apabila
suara terbanyak tidak didapat, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim
yang paling menguntungkan Terdakwa. Dengan mendasarkan pada ketentuan pasal 189
ayat (1), ayat (2) dan pasal 190 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer, maka Putusan tingkat pertama dapat dibagi dalam 3
(tiga) kelompok, yaitu :
a.
Apabila dakwaan tidak
terbukti maka putusannya merupakan pembebasan Terdakwa dari segala dakwaan.
b.
Apabila dakwaan
terbukti akan tetapi perbuatan itu bukan
merupakan tindak
pidana atau karena
alasan hukum maka putusannya merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum.
c.
Apabila Terdakwa
terbukti bersalah melakukan tindak pidana, maka putusannya merupakan
pemidanaan.
Putusan
ditandatangani oleh Hakim dan Panitera seketika sesuah putusan diucapkan dan
didistribusikan kepada :
a.
Petikan putusan
diberukan kepada Terdakwa, Penasehat Hukum dan Oditur Militer segera setelah
putusan diucapkan.
b.
Salinan putusan
diberikan kepada Papera, Oditur Militer, Polisi Militer, Ankum sedangkan kepada
Terdakwa atau Penasehat Hukum diberikan atas permintaan.
c.
Salinan putusan boleh
diberikan kepada orang lain hanya seizing Kepala Pengadilan Militer sesudah
mempertimbangkan kepentingan ari permintaan tersebut.
3.
Putusan
Upaya Hukum.
a.
Putusan
Banding.
Merupakan bentuk putusan Pengadilan
Tingkat Banding dalam mengadili perkara yang diajukan oleh Pengadilan Tngkat
Pertama, karena adanya permohonan Banding atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama
baik yang diajukan oleh Oditur Militer atau Terdakwa maupun Penasehat Hukumnya.
Secara umum isi putusan banding memuat :
1)
Menguatkan
putusan tingkat pertama.
Dalam hal
Pengadilan Tingkat Banding
dalam putusannya akan
menguatkan Putusan
Tingkat Pertama, maka Majelis HakimTingkat Banding lebih bersifat mendukung
atau menguatkan keputusan Pengadilan Tingkat Pertama, yang dalam amar
putusannya menyatakan menolak permohonan banding (Oditur Militer, Terdakwa,
atau Penasehat Hukum) dan menguatkan putusan Pengadilan Tingkat Pertama.
2)
Mengubah putusan tingkat pertama.
Dalam
hal Pengadilan Tingkat Banding dalam putusannya akan mengubah Putusan Tingkat
Pertama, maka Majelis Hakim Tingkat Banding lebih bersifat memperbaiki atau
menyempurnakan. Majelis Hakim harus menguraikan alasan-alasan hukum
pertimbangan Majelis Tingkat Pertama yang harus diperbaiki, serta
pertimbangannya sendiri. Dan putusan yang diperbaikinya dimasukkan dalam amar
putusan. Dalam hal isi putusan Pengadilan tingkat Pertama yang dirubah oleh
Pengadilan Banding secara umum ada 2 (dua) kemungkinan terkait berat ringannya
keputusan :
b)
Meringankan, karena pemidanaan yang
dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama dirasa terlalu berat, maka
Majelis Hakim Banding dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan.
c)
Memperberat, karena pemidanaan yang
dijatuhkan oleh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama dirasa terlalu ringan, maka
Hakim Banding dapat menjatuhkan pidana lebih berat dari putusan sebelumnya.
d)
3)
Membatalkan
putusan tingkat pertama.
Dalam
hal Pengadilan Tingkat Banding dalam putusannya akan membatalkan Putusan
Tingkat Pertama, maka
Majelis Hakim Tingkat
Banding harus memutus
sendiri, dalam pertimbangannya harus menguraikan alasan pembatalannya.
b.
Putusan
Kasasi.
Kasasi merupakanbentuk upaya hukum biasa
terakhir dari suatu perkara yang diajukan baik oleh Terdakwa atau Penasehat
Hukumnya maupun Oditur Militer ke Mahkamah Agung. Mengapa upaya hokum kasasi
dikatakan sebagai bentuk upaya hukum biasa yang terakhir? Karena putusan kasasi
merupakan putusan yang langsung Berkekuatan Hukum
Tetap dan terhadap
putusan yang sudah BHT, maka eksekusi tetap dapat dilaksanakan walaupun ada
tidaknya upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali atai Grasi kecuali
pelaksanaan pidana mati. Dalam sistem hukum Peradilan Militer ada 2 (dua) macam
bentuk upaya hukum kasasi di antaranya :
1)
Kasasi merupakan bentuk
upaya hukum biasa terakhir.
Putusan
Pengadilan yang dapat diajukan upaya hukum biasa kasasi adalah putusan bebas
Pengadilan Tingkat Pertama dan Putusan Tingkat Banding.
2)
Kasasi sebagai bentuk
upaya hukum luar biasa.
Kasasi
sebagai bentuk upaya hukum luar biasa, merupakan upaya hukum yang kewenangannya
dimiliki oleh Oditur Jenderal TNI terhadap putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap sebagaimana pasal 245 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer. Pengajuan upaya hukum kasasi sebagai bentuk upaya
hukum luar biasa, merupakan upaya hukum yang bertujuan “Demi kepentingan hukum”
sehingga terhadap apa yang dilakukan dalam kasasi ini,tidak boleh merugikan
pihak yang berkepentingan dan hak pengajuannya hanya sekali.
Ada beberapa hal secara
umum yang harus diperhatikan dalam pengajuan upaya hukum biasa kasasi, antara
lain :
1)
Permohonan kasasi
disampaikan kepada panitera Pengadilan dalam waktu 14 (empat belas) hari
sesudah Putusan Pengadilan yang dimintakan kasasi diberitahukan kepada
Terdakwa.
2)
Pemohon kasasi wajib
mengajukan memori kasasi paling lambat 14 (empat belas) hari sesudah permohonan
diajukan.
3)
Apabila pemohon kasasi
terlambat menyerahkan memori kasasi, maka hak untuk mengajukan kasasi menjadi
gugur.
4)
Dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari, Panitera telah menyampaikan salinan kontra memori kasasi
kepada pemohon kasasi.
5)
Dalam hal pemohon
kasasi tidak bisa membuat memori kasasi, setelah menanyakan alasannya Panitera
membuatkan memori kasasi.
6)
Sebelum disidangkan
oleh Mahkamah Agung, pemohon dapat mencabut permohonan kasasinya, dan setelah
dicabut tidak boleh diajukan lagi.
Secara
teori Hakim Agung yang memeriksa permohonan kasasi, hanya berkaitan dengan
hal-hal di antaranya :
1)
Apakah benar suatu
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
2)
Apakah benar cara-cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang.
3)
Apakah benar pengadilan
sudah melampaui batas kewenangannya.
Namun
demikian dalam praktek banyak putusan kasasi yang juga mengadili bukan masalah
penerapan hukum saja melainkan masalah penentuan berat ringannya hukuman.
Memang Hakim Agung yang dalam putusannya berkaitan dengan penentuan berat
ringannya hukuman Majelis Hakim selalu dikuatkan dengan pertimbangannya,
sehingga terkait hal tersebut ada 2 (dua) sisi pandangan di antaranya :
1)
Ketentuan hukum menjadi
terlanggar
2)
Keadilan lebih
dikedepankan.
BAB XI
BANTUAN HUKUM
Dengan
mendasarkan pada persamaan kedudukan di hadapan hukum pasal 28 D UUD 1945,
serta asa praduga tidak bersalah, maka untuk kepentingan pembelaan perkaranya,
Tersangka ataupun Terdakwa berhak mendapatkan bantuan hokum di semua tingkat
pemeriksaan. Posisi seorang Tersangka ataupun Terdakwa baik dalam penyidikan
maupun pemeriksaan di persidangan secara umum dapat dikatakan sebagai pihak
yang lemah karena sebagai pihak orang yang dituduh bersalah, apalagi baik
keterangan Tersangka maupun Terdakwa pada prinsipnya lebih bersifat hanya
mengkat untuk diri sendiri, kecuali apabila keterangannya berhubungan dengan
keterangan Saksi di bawah sumpah lainnya. Sehingga untuk melindungi pihak yang
dipandang lemah tersebut dan untuk menjamin keseimbangan hokum, maka perlu adanya
Penasehat Hukum bagi Tersangka maupun Terdakwa.
Istilah
bantuan hukum sangat identik dengan peran Penasehat Hukum, oleh karena itu jika
kita bicara bantuan hukum maka yang terlintas di benak para penegak hukum
adalah keberadaan seorang Penasehat Hukum atau Pengacara. Istilah bantuan hukum
lebih bersifat pada
bentuk
perbuatan yang dilakukan oleh Penasehat Hukum dalam tinjauan kepentingan
Terdakwa, akan tetapi dalam penegakan hukum istilah yang dipakai adalah
Penasehat Hukum.
Bantuan hukum bagi prajurit TNI
lebih diutamakan dari dinas Bantuan
Hukum yang ada di lingkungan TNI seperti Ditkumad, Diskumal, maupun Diskumau
serta semua jajaran dari masing-masing Dinas Hukum Angkatan. Penasehat Hukum
yang mendampingi Tersangka di tingkat penyidikan atau Terdakwa di tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan harus atas perintah atau seizin Perwira
Penyerah Perkara atau pejabat lain yang ditunjuknya.
Adapun persyaratan bagi prajurit TNI
untuk mendapatkan Penasehat Hukum adalah sebagai berikut :
1.
Penasehat
Hukum yang disediakan dari Dinas.
Tersangka atau Terdakwa mengajukan permohonan kepada
Ankum atau Papera untuk mendapatkan Penasehat Hukum dan Penasehat Hukum yang
diperintah untuk mendampingi Tersangka atau Terdakwa harus atas perintah dan
mendapatkan izin dari Papera atau pejabat yang ditunjuk.
2.
Penasehat
Hukum yang disediakan Tersangka atau Terdakwa.
Tersangka atau Terdakwa mengajukan permohonan ijin
kepada papera untuk menunjuk seseorang dari luar dinas menjadi Penasehat Hukum.
Penasehat
Hukum dari dinas di samping ada surat perintah juga ada surat kuasa, sedangkan
Penasehat Hukum dari luar dinas harus ada surat izin dari Papera dan juga surat
kuasa penunjukan kuasa. Berbeda halnya jika yang akan didampingi adlah perkara
koneksitas, maka selain ketentuanyang di atas juga harus ada izin dari Kepala
Pengadilan.
Secara
umum terhadap semua jens perkara, bagi Tersangka ataupun Terdakwa memilii
hak untuk didampingi
Penasehat Hukum. Hak tersebut mau
digunakan atau tidak semuanya
merupakan
hak Tersangka ataupun Terdakwa, kecuali terhadap tindak pidana yang diancam
dengan pidana mati atau diancam dengan pidana penjara 15 (lima belas) tahun
atau lebih Tesangka ataupun Terdakwa wajib untuk didampingi Penasehat Hukum.
Pengertian wajib untuk didampingi
Penasehat Hukum dalam perkara pidana, adalah suatu keharusan dan apabila
keharusan tersebut tidak dipenuhi, maka produknya akan menjadi cacat hukum,
seperti :
1.
Penyidikan, maka berkas
perkaranya akan menjadi cacat hukum.
2.
Pemeriksaan persidangan, maka putusannya
menjadi batal demi hukum.
Penasehat
Hukum yang ditunjuk oleh Papera dalam memberikan bantuan hukum dilakukan dengan
cuma-cuma, hal yang berbeda apabila Tersangka atau Terdakwa akan menunjuk
Penasehat Hukum dari luar dinas.
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer tidak mengatur
secara khusus tentang hak seorang Saksi untuk mendapatkan Penasehat Hukum, yang
diatur dalam undang-undang tersebut hanya yang berkaitan dengan hak Tersangka
ataupun Terdakwa. Dalam praktek sering kita jumpai adanya 2 (dua) Penasehat
Hukum dalam suatu perkara, baik dari Tersangka atau Terdakwa dan dari pihak
Saksi. Keduanya memiliki fungsi yang sama, hanya cara mendampinginya yang
berbeda.
Cara Penasehat Hukum mendampingi
suatu perkara pidana sangat jauh berbeda dengan perkara perdata, karena untuk
perkara pidana seorang Penasehat Hukum, hanya dalam melakukan fungsinya
Penasehat Hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan Tersangka atau Terdakwa
pada semua tingkat pemeriksaan untuk kepentingan pembelaan perkaranya dengan
pengawasan oleh pejabat yang bersangkutan sesuai tingkat pemeriksaan. Berbeda
dengan perkara perdata seorang Penasehat Hukum dapat bertindak untuk mewakili
kliennya di persidangan.
Secara umum seorang Penasehat Hukum
dalam melakukan fungsinya mendampingi Tersangka ataupun Terdakwa baik dalam
tingkat penyidikan ataupun pemeriksaan, memang tidak ada standarisasi kemampuan
untuk menjadi seorang Penasehat Hukum. Peran Penasehat Hukum adalah pelayanan,
sehingga ada tidaknya orang yang membutuhkan pelayanan seorang Penasehat Hukum
tersebut tidak semata-mata ditentukan ada tidaknya perkara pidana yang harus
didampingi, akan tetapi sejauh mana seseorang yang akan membutuhkan pelayanan
hukum tersebut lebih memilih seorang Penasehat Hukum tersebut. Walaupun tidak
ada standarisasi khusus tentang kemampuan yang harus dimiliki seorang Penasehat
Hukum akan tetapi secara garis besar yang harus diperhatikan seorang Penasehat
Hukum adalah :
1.
Harus tahu dan mengerti
perkara apa yang sedang disangkakan atau didakwakan kepada diri Tersangka atau
Terdakwa.
2.
Harus tahu bagaimana
dan dari mana melakukanbantuan kepada diri Tersangka atau Terdakwa.
Secara
umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak mengatur
secara rinci tentang tugas-tugas seorang Penasehat Hukum dalam pemeriksaan,
hal-hal yang dapat dilakukan lebih bersifat melekat pada tahapan dan mekanisme
pemeriksaan dalam persidangan. Secara umum yang harus diperhatikan seorang
Penasehat Hukum dalam memberikan bantuan hukum dan mendampingi Terdakwa dalam
pemeriksaan antara lain :
1.
Tahap
eksepsi.
Setelah pembacaan surat dakwaanoleh Oditur Militer,
Terdakwa dan atau Penasehat
Hukum
memiliki kesempatan untuk memberikan tanggapan (eksepsi), mengacu pada pasal
130 ayat (2) UU no. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Apabila eksepsinya
ditolak, maka hal
penolakan dari Hakim
dapat juga ditanggapi pada saat Penasehat
Hukum
melakukan pembelaan atau pledoi atas tuntutan Oditur Militer.
2.
Tahap
Pemeriksaan atau Pembuktian.
Hal yang sama dilakukan Oditur Militer dalam
pemeriksaan, yang membedakan antara Oditur Militer dengan Penasehat Hukum
adalah subyektif kepentingan atau posisi yang berbeda. Kalau Oditur Militer
berkewajiban untuk membuktikan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya, sementara Penasehat Hukum membuktikan jika Terdakwa tidak
bersalah, tetapi dakwaan Oditur Militerlah yang salah. Mengingat semua
mekanisme jalannya persidangan yang mengendalikan adalah Hakim Ketua, sehingga
dalam mengajukan pertanyaan dan atau mengajukan keberatan (interupsi)
semua
harus diajukan atas seizin Hakim Ketua
yang memimpin jalannya persidangan. Secara khusus memang tidak ada ketentuan
yang bersifat mengikat bagi Penasehat Hukum saat melakukan pemeriksaan
(pembuktian) dalam persidangan, namun demikian hal-hal yang harus diperhatikan
antara lain :
a.
Harus mengetahui
hal-hal apa yang didakwakan kepada diri Terdakwa.
b.
Harus mengetahui apa
yang dilakukan Terdakwa,sehingga :
1)
Apabila Terdakwa merasa
bersalah maka pembuktian yang dilakukan harus lebih bersifat menyngkal apa yang
didakwakan.
2)
Apabila Terdakwa
mengakui bersalah telah melakukan apa yan didakwakan, maka pertanyaannya lebih
bersifat untuk tujuan meringankan.
c.
Hal-hal yang harus
ditanggapi baik cara, materi yang dipertanyakan baik oleh
Oditur Militer maupun
Hakim Militer, demikian juga keterangan yang diterangkan oleh Saksi maupun
Terdakwa, untuk ditanyakan saat melakukan pemeriksaan.
d.
Mengajukan keberatan
atau interupsi jika dipandang perlu.
3.
Tahap
pembelaan.
Sebagaimana ditegaskan pada pasal 182 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer bahwa setelah tuntutan dibacakan oleh Oditur Militer,
Terdakwa dan atau Penasehat Hukum memiliki hak untuk mengajukan pembelaan. Pada
agenda pembelaan dalam praktek Hakim Ketua akan menyampaikan hak yang dimiliki
Terdakwa untuk mengajukan pembelaan (pledoi) atau permohonan (clementi).
Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer
tidak mengatur secara substantif tentang agenda permohonan atau clementi, namun
dalam praktek Hakim Ketua selalu menyampaikan kepada Terdakwa selain memiliki
hak untuk mengajukan pembelaan juga permohonan. Hal prinsip yang selalu terjadi
dalam praktek apabila Terdakwa atau Penasehat Hukum akan mengajukan permohonan
adalah lebih dikarenakan Terdakwa tersebut mengakui dirinya bersalah dan telah
melakukan kesalahan sebagaimana yang didakwakan Oditur Militer kepada diri
Terdakwa. Hal-hal yang biasa dijadikan pertimbangan baik Terdakwa ataupun
Penasehat Hukum dalam mengajukan permohonan antara lain :
a.
Pengakuan diri bersalah
dari Terdakwa.
b.
Alasan Terdakwa
melakukan perbuatannya.
c.
Janji Terdakwa yang
tidak akan mengulangi lagi perbuatannya.
d.
Pertimbangan kedinasan
Terdakwa.
e.
Pertimbangan keluarga
dan diri Terdakwa.
f.
Harapan untuk dijatuhi
pidana seringan-ringannya.
Permohonan
yang diajukan oleh Terdakwa atau Penasehat Hukum dapat diajukan secara lisan
atau tertulis, dan atas pengajuan permohonan tersebut boleh ditanggapi dan atau
tidak oleh Oditur Militer.Praktek yang selalu terjadi, atas pengajuan
permohonan Oditur Militer selalu tidak memberikan tanggapan. Dalam praktek
Oditur Militer selalu menyerahkan kepada Majelis Hakim, dan pernyataan Oditur
Militer yang tetap pada tuntutannya. Sedangkan pembelaan (pledoi) merupakan
salah satu tugas bantuan hukum yang diberikan Penasehat Hukum kepada Terdakwa.
Walaupun Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak
mengatur secara rinci tentang pembelaan yang dilakukan Terdakwa atau Penasehat
Hukum, namun secara umum pembelaan itu dilakukan lebih karena Terdakwa merasa
tidak bersalah, atau ada yang salah dalam penegakan hukum dalam perkara
Terdakwa. Hal-hal yang biasa dilakukan Penasehat Hukum dalam melakukan
pembelaan antara lain :
a.
Kewenangan.
b.
Penerapan Hukum.
c.
Fakta-fakta yang
dijadikan dasar Oditur Militer melakukan pembuktian.
d.
Pembuktian unsur-unsur
tindak pidana.
e.
Pertimbangan lain yang
dipandang perlu seperti jalannya persidangan.
f.
Pertimbangan penentuan
tuntutan pidana.
Karena
dalam agenda pembelaan ini dalam praktek selalu terjadi saling memberikan
tanggapan, baik replik maupun duplik, maka hal yang harus diperhatikan
Penasehat Hukum dalam melakukan tugas bantuan hukum adalah :
a.
Apa yang dijadikan
dasar Oditur Militer dalam menanggapi pembelaan
Penasehat Hukum.
b.
Di samping menanggapi
apa yang disampaikan Oditur Militer dalam replik juga mempertahankan argumen
yang telah dituangkan dalam pledoi.
4.
Tahap
Upaya Hukum.
Upaya hukum atas putusan yang dijatuhkan kepada diri
Terdakwa baik itu banding, kasasi maupun peninjauan kembali, bisa dilakukan
oleh Terdakwa dan atau Penasehat Hukum. Upaya hukum yang dilakukan oleh
Penasehat Hukum merupakan bagian fungsi bantuan hukum yang diberikan Penasehat
Hukum kepada diri Terdakwa. Hal-hal yang biasa dalam praktek dijadikan
pertimbangan baik Terdakwa ataupun Penasehat Hukum dalam mengajukan upaya hukum
tidak jauh dari apa yang sudah disampaikan baik dalam pembelaan ataupun permohonan.
BAB XII
UPAYA HUKUM
Upaya
hukum merupakan sebuah proses, penyampaian hak untuk menyatakan
ketidaksependapatan atas putusan pengadilan, kepada pengadilan yang lebih
tinggi baik itu yang melakukan Oditur Militer atau Terdakwa maupun Penasehat
Hukum Terdakwa. Dalam sistem peradilan
umum maupun Peradilan Militer, upaya hukum dibagi ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu
:
1.
Upaya hukum biasa.
2.
Upaya hukum luar biasa.
Secara
umum pengajuan upaya hukum baik yang dilakukan oleh oditur Militer atau
Terdakwa maupun Penasehat Hukum, pemohon dalam mengajukan upaya hukum
dituangkan dalam bentuk memory
(memory banding, ataupun
memory kasasi), sedangkan
pihak yang lain
(bukan
pemohon)
baik itu Oditur Militer atau Terdakwa maupun Penasehat Hukum dalam memberikan
tenggapan atas pengajuan upaya hukum dituangkan dalam bentukkontar memory
(kontra memeory banding ataupun kontra memory kasasi).
1.
Upaya
Hukum Biasa.
Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang Peradilan Militer upaya hukum biasa dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
a.
Upaya
hukum banding.
Yaitu
suatu bentuk upaya hukum yang dilakukan oleh Oditur Militer atau Terdakwa
maupun Penasehat Hukum, atas putusan Pengadilan Tingkat Pertama, kecuali
terhadap putusan bebas dari segala dakwaan ataupun lepas dari segala tuntutan
hukum. Hal yang biasa dilakukan dalam upaya hukum banding adalah karena adanya
sikap tidak menerima putusan tingkat pertama khususnya yang berkaitan dengan
penerapan hukum dan rasa keadilan. Setelah Hakim Ketua membacakan putusannya
Terdakwa ataupun Oditur Militer diberikan hak untuk menyatakan sikap baik
menerima, menolak, atau pikir-pikir atas putusan. Terhadap putusan baik Oditur
Militer atau Terdakwa dapat langsung menyatakan sikap :
1)
Menerima putusan jika sudah dipandang
tepat dan adil.
2)
Menolak dengan menyatakan banding atau
kasasi.
3)
Pikir-pikir apabila
belum memiliki sikap (dalam waktu 7 hari setelah putusan dijatuhkan), apabila
tidak juga menentukan sikap, maka dianggap menerima.
Semua proses baik
pernyataan banding terhadap putusan maupun penyerahan memory dan lain
sebagainya disampaikan langsung di hadapan Majelis atau di hadapan panitera,
dan dibuatkan Akta Permohonan Banding, dan selanjutnya Akta Permohonan Banding
dari pemohon disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan upaya
hukum banding. Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadian Tingkat
Banding, permintaan banding dapat dicabut sesuai pasal 222 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Demikian juga
pasal 224 meyatakan selama Pengadilan Tingkat Banding belum memeriksa
(menyidangkan) Terdakwa atau Oditur Militer dapat mengirimkan memory banding
maupun kontra memory banding ke Pengadilan Tingkat Banding. Sedangkan
Pengadilan Tingkat Banding sendiri dalam sistem Peradilan Militer terbagi
menjadi:
1)
Pemgadilan Militer
Tinggi, atas putusan Pengadilan Militer yang berada di bawah kewenangan
hukumnya.
2)
Pengadilan Militer
Utama, atas semua putusan Pengadilan Militer Tinggi yang memutus pada tingkat
pertama.
Secara umum Pengadilan
Tingkat Banding memiliki kewenangan yang tidak jauh berbeda dengan kewenangan
Pengadilan Tingkat pertama, hanya yang membedakan secara prinsip bahwa walaupun
Hakim Banding dapat memanggil baik Terdakwa maupun Saksi jika dipandang perlu,
akan tetapi jalannya persidangan yang membedakan antara kedua pengadilan
tersebut.Untuk kewenangan memutus, kewenangan menahan dan lain sebagainya tetap
sama.
b.
Upaya
Hukum Kasasi.
Merupakan
bentuk upaya hukum sebagai wujud ketidaksependapatan atas putusan tingkat
banding atau putusan tingkat pertama atas putusan bebas. Memang pasal 231
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer perkara yang dapat
dibanding kecuali
terhadap putusan bebas dari segala dakwaan, akan tetapi berdasarkan yurisprudensi
yang ada, semua perkara yang diputus bebas dari segala dakwaan atau lepas dari
segala tuntutan masih dapat diajukan kasasi. Walaupun tidak tersurat ada 2
(dua) mekanisme pengajuan permohonan upaya hukum kasasi yang dilakukan Oditur
Militer atau Terdakwa maupun penasehat Hukum, yaitu :
1)
Setelah sikap menerima
atau menolak terhadap putusan tingkat pertama, waktu menyatakan sikap untuk
upaya hukum Kasasi selama 7 (tujuh) hari sejak putusan dibacakan dalam
persidangan.
2)
Waktu selama 14 (empat
belas) hari sejak putusan yang dimintakan kasasi diberitahukan kepada Terdakwa,
sebagaimana pasal 232 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
Memory kasasi diajukan
paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah diajukan permohonan
kasasi oleh pemohon kasasi, apabila pemohon terlambat menyerahkan memori
kasasi, maka hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur. Selama
permohonan kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan dapat dicabut
sewaktu-waktu. Dan bila sudah dicabut, maka tidak dapat diajukan lagi. Pemohon
kasasi wajib mengajukan memori kasasi. Dalam hal pemohon (Terdakwa) tidak
memahami hukum, Panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan
alasannya dan membuatkan memori kasasinya.
Pemeriksaan terhadap
perkara kasasi dilakukan Hakim Agung guna menentukan :
1)
Apakah benar suatu
peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
Dalam hal suatu putusan
dibatalkan karena peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak
sebagaimana mestinya maka Mahkamah Agung putusannya mengadili sendiri perkara
tersebut.
2)
Apakah benar cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang.
Dalam hal suatu putusan
dibatalkan karena cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan
undang-undang, maka Mahkamah Agung menetapkan disertai petunjuk supaya
pengadilan yang memutus memeriksa lagi.
3)
Apakah benar pengadilan
sudah melampaui batas kewenangannya.
Dalam
hal suatu putusan dibatalkan karena Pengadilan atau Hakim tidak berwenang
mengadili perkara tersebut, maka Mahkamah Agung menetapkan Pengadilan atau
Hakim lain yang mengadili perkara tersebut.
2.
Upaya
Hukum Luar Biasa.
Makna upaya hukum luar biasa adalah merupakan upaya
hukum terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sehingga adanya
upaya hukum luar biasa tidak menunda pelaksanaan putusan.Upaya hukum luar biasa
ini sesuai pasal 248 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer disebut Peninjauan Kembali yaitu merupakan hak yang diberikan
undang-undang kepada Terpidana, atau ahli warisnya terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap kecuali putusan bebas dari segala dakwaan atau lepas
dari
segala tuntutan hukum. Upaya hukum Peninjauan Kembali dapat dilakukan apabila
terdapat keadaan baru (novum) dan dengan novum tersebut :
a.
Apabila diketahui pada
waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas dari segala
dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan Oditur Militer
tidak dapat diterima atau akan diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
b.
Apabila dalam pelbagai
putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu sudah terbukti, tetapi hal atau
keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan sudah terbukti itu
ternyata bertentangan satu dengan yang lain.
c.
Apabila putusan
tersebut dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau suatu kekeliruan
yang nyata.
Apabila
dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan dan terhadap putusan tersebut telah
berkekuatan hukum tetap maka Oditur Militer dapat mengajukan peninjauan
kembali.
Apabila
pengajuan peninjauan kembali tidak memenuhi 3 (tiga) criteria sebagaimana pasal
248 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer,
dengan menyampaiakn alasannya maka Mahkamah Agung menyatakan permohonan
peninjauan kembali tidak dapat diterima. Dalam hal permintaan peninjauan
kembali dapat diterima untuk diperiksa maka berlaku ketentuan sebagai berikut :
a.
Apabila Mahkamah Agung
tidak membenarkan alasan pemohon, maka Mahkamah Agung menolak permintaan
Peninjauan Kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan Peninjauan
Kembali tetap berlaku.
b.
Apabila Mahkamah Agung
membenarkan alasan pemohon, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan yang
dimintakan Peninjauan Kembali dan menjatuhkan putusan berupa :
1)
Putusan bebas dari
segala dakwaan.
2)
Putusan lepas dari
segala tuntutan hukum.
3)
Putusan tidak dapat
menerima tuntutan Oditur Militer.
4)
Putusan dengan
menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Pidana
yang dijatuhkan dalam putusan Peninjauan Kembali tidak boleh melebihi pidana
yang sudah diajtuhkan dalam putusan semula.
BAB XII
PELAKSANAAN PUTUSAN
PENGADILAN
Pelaksanaan
putusan pengadilan merupakan sebuah proses akhir yang dilaksanakan oleh Oditur
Militer selaku eksekutor dari suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap, untuk melaksanakan apa yang diperintahkan hakim dalam amar
putusan. Untuk melaksanakan putusan pidana penjara atau pidana kurungan,
pelaksanaannya dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer dan atau Lembaga
Pemasyarakatan Umum.
a. Mekanisme
Pelaksanaan di Pemasyarakatan Militer.
Terpidana yang pelaksanaan pidananya
dilaksanakan di Pemasyarakatan Militer (Masmil) merupakan Terpidana yang tidak
dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas kemiliteran.Setelah putusan
berkekuatan hukum tetap dan salinan diterima maka Oditur Militer selaku
eksekutor melakukan :
1)
Menerima Terpidana
melalui Ankum,dan untuk melaksanakan didasarkan adanya surat perintah dari
Ankum dan dilengkapi dengan surat keterangan kesehatan dari rumah sakit dan
membawa perlengkapan serta ULP (uang lauk pauk).
2)
Melakukan pemeriksaan
persyaratan di antaranya Sprin, keterangan kesehatan, dan lain-lain.
3)
Mencocokkan waktu
pidana yang harus dijalani dan memberikan pengarahan untuk pelaksanaannya.
4)
Menyerahkan Terpidana
ke Masmil dengan disertai Berita Acara Penyerahan Terpidana yang pelaksanaannya
dengan pengawalan dari kesatuan Terpidana.
5)
Menerima tembusan
pengembalian bekas Terpidana dari Masmil.
b.
Mekanisme
Pelaksanaan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
Terpidana
yang pelaksanaan pidananya dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Umum
merupakan Terpidana yang dijatuhi pidana tambahan pemecatan dari dinas
kemiliteran. Setelah putusan berkekuatan hukum tetap an salinan diterima maka
Oditur Militer selaku eksekutor melakukan :
1)
Memanggil melalui Ankum
dan atau tempat Terpidana ditahan atau melanjutkan pemanggilan yang dilakukan
Panitera, dan untuk melaksanakan tidak harus adanya surat perintah, surat kesehatan
dan tanpa membawa ULP.
2)
Melakukan pemeriksaan
persyaratan administrasi.
3)
Mencocokkan waktu
pidana yang harus dijalani dan memberikan pengarahan untuk pelaksanaannya.
4)
Menyerahkan Terpidana
ke Lembaga Pemasyarakatan dengan disertai Berita Acara Penyerahan Terpidana,
yang pelaksanaannya dengan pengawalan dari kesatuan Terpidana dan Oditurat
Militer.
5)
Memberitahukan
pelaksanaan pidana kepada Ankum disertai dengan permintaan agar Ankum
menindaklanjuti secara administrasi.
Bagi prajurit
TNI yang dijatuhi
pidana penjara atau kurungan apabila sudah selesai
melaksanakan
pidananya dikembalikan ke kesatuan asal, sedangkan untuk prajurit TNI yang
dijatuhi pidana penjara atau kurungan dengan disertai pidana tambahan pemecatan
maka setelah selesai melaksanakan pemidanaannya mantan Narapidana tersebut
kembali ke masyarakat.
Penjatuhan pidana tembahan berupa
pemecatan dari dinas TNI, apabila yang bersangkutan masih harus menjalani
pidana penjara, maka pelaksanaannya dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan
Umum, dan untuk administrasinya dilaksanakan oleh kesatuan,untuk pelepasan
status keprajuritan mantan prajurit diupacarakan di kesatuan atau tanpa
upacara.
Dalam perkara tertentu seperti
narkoba, korupsi dan lain-lain adanya pemidanaan penjara juga ada penjatuhan
pidana denda. Di dalam penjatuhan pidana denda, Terpidana diwajibkan untuk
membayar sejumlah denda yang ditentukan di dalam amar putusan. Penjatuhan
pidana denda selalu disubsiderkan, artinya apabila Terpidana tidak bisa
membayar, maka digantikan dengan pidana kurungan dalam waktu tertentu. Untuk
pembayaran denda dilakukan oleh Oditur Militer bersamaan dengan pelaksanaan
putusan pidana badan, dan hasil pembayaran uang denda yang diterima oleh Oditur
Militer diserahkan ke Kas Negara. Dalam hal terpidana tidak dapat membayar uang
denda, maka Terpidana harus melaksanakan subsidernya atau penggantinya yaitu
pidana kurungan yang pelaksanaannya bisa disertakan saat Terpidana melaksanakan
pidana badan atau pokok.
Sedangkan pidana bersyarat merupakan
bentuk putusan pemidanaan, hanya pelaksanaannya ditangguhkan dengan persyaratan
tertentu sebagaimana disebutkan dalam amar putusan. Dalam putusan bersyarat
selain adanya penjatuhan pidana badan (penjara atau kurungan) walaupun tidak
harus dilaksanakan juga adanya syarat umum maupun syarat khusus.
1.
Syarat
umum, Terpidana tidak boleh melakukan tindak
pidana atau pelanggaran disiplin selama
waktu menjalankan pidana bersyarat. Untuk merubah pelaksanaan pidana
bersyarat
karena melanggar syarat umum, pelaksanaannya setelah dibuktikan dan ada putusan
perbuatan yang baru dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.
2.
Syarat
khusus, Terpidana harus mengganti kerugian
atas perbuatannya dalam kurun waktu yang ditentukan selama masa percobaan.
Untuk merubah pelaksanaan pemidanaan besyarat karena adanya pelanggaran
khusus,mekanismenya Oditur Militer dan Ankum menyampaikan kepada Hakim tentang
hal tersebut dan dengan perintah Hakim pelaksanaan pidana bersyarat dirubah.
Setelah
putusan pidana bersyarat berkekkuatan hukum tetap, Oditur Militer selaku
eksekutor, menyampaikan pelaksanaan pidana kepada Ankum untuk dilaksanakan dan
pengawasannya dengan catatan Ankum harus memberikan laporan perkembangan dan
pelaksanaan kepada Hakim dan Oditur Militer.
Apabila
dalam suatu perkara terdapat barang bukti maka barang tersebut harus ditentukan
statusnya melalui putusan pengadilan. Ada 3 (tiga) macam penentuan status
barang bukti dalam putusan pengadilan,yaitu :
1.
Dirampas
untuk Negara.
Barang bukti yang dirampas untuk Negara, oleh Oditur
Militer dilakukan proses pelelangan, dengan membentuk panitia lelang yang
melibatkan instansi terkait dan dengan prosedur lelang yang ada. Hasil dari
pelelangan barang bukti yang dirampas untuk Negara, selanjutnya diserahkan ke
Kas Negara sebagai bentuk pendapatan negara.
2.
Dimusnahkan.
Barang bukti statusnya dimusnahkan, setelah putusan
berkekuatan hukum tetap maka dilakukan pemusnahan dengan mekanisme dan
dibuatkan Berita Acara.
3.
Dikembalikan.
Barang bukti yang
dikembalikan sangat tergantung penunjukan siapa yang berhak menerima
pengembalian barang bukti. Jika tidak ditunjuk secara tegas, maka yang akan
menerima pengembalian terlebih dahulu menunjukkan bukti bahwa dirinya yang
berhak terhadap barang bukti tersebut.
BAB XIV
PENGAWASAN DAN
PENGAMATAN PUTUSAN PENGADILAN
A.
Pengawasan dan
pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan yang berupa perampasan kemerdekaan
dilakukan oleh Kepala Pengadilan yang bersangkutan dan dibantu oleh seorang
Hakim/lebih sebagai hakim pengawas dan pengamat.
B.
Hakim pengawas dan
pengamat diangkat oleh Kepala Pengadilan untuk paling lama 2 (dua) tahun.
C.
Pengawasan dan
pengamatan pelaksanaan putusan pengadilan dimaksudkan agar diperoleh kepastian
bahwa putusan itu dilaksanakan sebagaimana mestinya.
D.
Pengawasan dan
pengamatan pelaksanaan pidana bersyarat dibantu oleh Ankum Terpidana.
E.
Buku register
pengawasan dan pengamatan pelaksanaan pidana wajib dikerjakan, ditutup dan
ditandatangani oleh Panitera pada setiap hari kerja dan diketahui oleh Hakim
pengawas dan pengamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar