Cinta itu membuat
sesuatu tampak lebih indah. Kenyataannya tidak selamanya,
setidak-tidaknya
yang terjadi pada diriku sekali ini. Cinta malah membuatku
menjadi gusar,
marah, sedih .. ah, yang pahit-pahit, lah ! Segala sesuatu
yang seharusnya
tampak berbunga-bunga, kini malahan menjadi kelabu.
Ini terjadi
semenjak aku menganal seorang gadis teman kuliahku. Orangnya
sederhana saja.
Hanya saja, dari pengamatanku selama ini, aku melihat ia
memiliki
keistimewaan dan nilai lebih dibandingkan wanita lain yang pernah
kutemui. Wajahnya
yang teduh, cara berbicara yang lembut dan berwibawa,
serta
kepribadiannya yang menawan membuat aku terpana. Aku benar-benar
mengaguminya dan
kurasa aku telah jatuh cinta padanya.
Pernah sekali
kucoba untuk berbicara serius dengan wanita idamanku itu. Tapi,
setiap kali aku
ingin menyusun kata-kata, di situ pula pikiranku menjadi
buntu. Dan
tampaknya ia memahami kesulitanku tadi. Akh ... entahlah, aku tak
tahu apa yang
harus kuperbuat. Terkadang kucoba untuk melupakannya, namun
semakin kucoba
melupakannya aku malah semakin mengingatnya.
aku mengalaminya
dan tak satu pun yang membuatku gelisah. Tapi semuanya
disebabkan oleh
prinsip-prinsip yang selama ini aku pegang. Cinta tak
selamanya harus
memiliki. Cinta itu memberi tanpa harap menerima. Cinta itu
hanya dapat
dirasakan dan tak dapat dinyatakan. Semua itu adalah sebagian
prinsip yang
selama ini aku tegakkan setiap kali orang frustasi bertanya
kepadaku tentang
cinta. Tapi, ketika aku frustasi kini, tak satupum
prinsip-prinsip
itu dapat aku terima untuk mengobati hatiku yang malang ini.
Aku ingin
menyatakan cintaku. Aku ingin memilihnya sebagai orang yang selalu
mendampingiku di
setiap suka dan duka.
"Pacaran itu
dosa, lho!" ujar seorang teman yang kupercayai kredibilitas
keagamaanya.
Ucapan itu membuatku semakin gundah. Di satu sisi aku ingin
memprotesnya,
tapi di sisi lain aku sangat cinta kepada Islam yang selama ini
aku perjuangkan,
"Bukankah Allah-lah yang sepatutnya kita cintai ?" ujar
temanku itu
mengulangi perkataan yang dulu pernah aku lontarkan di setiap
diskusi tentang
iman. Itu membuatku malu pada diriku sendiri dan benci pada
cinta ini.
Tak ada pilihan
lain. Aku harus menemui Pak Kiai untuk menemukan jawaban yang
tak kunjung
kudapat. Masalah ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Kualngkahkan
kakiku melintasi jalan setapak yang telah setahun tak pernah
kuinjak. Sunyinya
jalan itu membuat aku terus memikirkan yang telah terjadi.
Setiap belokan
membuatku mendesah seraya menyesali diri. Tak adakah hal lain
yang dapat
kupikirkan selain cinta dan cinta ?
Sebenarnya aku
sangat ngeri meminta nasihat dari Pak Kiai yang setiap
perkataannya
selalu membuat telingaku memerah. Kata-katanya tak pernah lembut,
seringkali kasar
dan tidak sopan. Tak peduli apakah yang datang kepadanya
seorang pejabat,
bandit, atau orang yang sedang susah. Ia selalu memuntahkan
kata-kata dengan
intonasi, kosakata, volume suara, dan koefisien kekasaran
yang tak berbeda.
Baginya semua manusia sama. Dia pun tak sungkan untuk
diprotes meski
oleh orang bergelimang dosa sekalipun. Mungkin hal itulah yang
menyebabkan aku
selalu menaruh kepercayaan yang besar akan keikhlasannya
membimbing umat.
Apalagi setiap kali aku berbicara kepadanya, selalu ada saja
hal-hal baru yang
dapat aku bawa pulang.
"Mau apa kau
ke sini ?" tanya Pak Kiai memulai kebiasaanya: kasar.
"Aku sedang
jatuh cinta, Pak Kiai!" jawabku langsung ke pokok permasalahan
sebab aku tahu Pak
Kiai tak suka basa-basi.
"Baguslah
kalau begitu. Itu tandanya kau masih manusia."
"Tapi, Pak
Kiai, aku jatuh cinta pada seorang wanita. Bagaimana itu Pak?
Apa yang harus
kulakukan?"
"Bayangkanlah
kalau kau jatuh cinta pada seorang pria. Kenapa kau merasa
gelisah sekali
dengan mencintai seorang wanita? Apakah ia wanita yang nggak
beres?"
"Oh, tidak!
Dia wanita baik-baik. Baiiik sekali. Dia menjalankan agamanya
dengan sepenuh
hati. Dia cukup membatasi pergaulannya dengan setiap lelaki.
Yah, itulah yang
mungkin menjadi masalah padaku. Coba kalau dia itu wanita
yang nggak beres,
tentu masalahnya tak serumit ini."
"Kau bodoh.
Seharusnya kau bahagia mencintai wanita seperti itu. Coba
bayangkan kalau
kau mencintai wanita slebor. Hatimu akan terus sibuk
memikirkan setiap
tingkah lakunya. Kau akan merasakan cemburu, sakit hati,
membenci, dendam,
bisa-bisa kau gila. Pikiranmu akan terus tersita dengan
wanita seperti
itu. Kapan lagi kau mau ingat Allah? Bukankah mencintai
wanita yang
sholeh membuatmu sadar untuk bertindak seperti orang yang kau cintai?"
"Benar, Pak!
Lalu, apakah aku boleh berpacaran dengannya? Aku merasa tidak
puas hanya dengan
berteman dengannya. Perlu Pak Kiai ketahui bahwa banyak
orang mengatakan
bahwa pacaran itu haram karena dengan pacaran hati kita akan
sibuk mengingat
kekasih kita sehingga kita lalai dari mengingat Allah.
Bagaimana pula
kalau dengan pacaran malah mebuat kita semakin ingat dengan
Allah?"
Pak Kiai diam
sejenak. Dahinya yang hitam mengkerut seolah memikirkan sesuatu
yang sangat
berat. Matanya sesekali memandang ke arahku dengan tajam.
"Maaf Nak!
Aku sudah tua. Banyak sekali hal-hal yang sudah aku lupakan.
Tolong kau
jelaskan kepadaku apa yang kau maksud dengan pacaran. Setahuku,
kata itu belum
pernah aku jumpai di kitab fikih manapun sehingga dapat
ditentukan halal
haramnya. Sudah kuingat-ingat pula segala ilmu tasawuf,
juga kata itu tak
kutemukan di sana. Berikanlah gambaran kepadaku tentang
pacaran agar aku
dapat menentukan hukumnya!"
"Begini,
Pak! Pacaran itu diawali dengan suatu perjanjian untuk saling
mengenal satu
sama lainnya, terus dari kenalan tadi diharapkan masing-masing
pihak dapat
saling memahami pasangannya, terus ...", tiba-tiba saja aku
merasa buntu. Aku
coba mencari penjelasan yang tepat tentang pacaran, tapi
aku tak tahu.
Ternyata, pacaran yang selama ini aku inginkan tak pernah
kutahu apa
maknanya.
Melihat yang
ditanya kebingungan, Pak Kiai coba membantu, "Apa saja yang
dilakukan orang
ketika pacaran?"
"Banyak,
Pak! Ada yang ngobrol-ngobrol kadang tak tentu arah, sering-sering
menelpon
pacarnya, ada yang suka pergi berdua-duaan dan ... yah begitulah.
Pak Kiai saya
kira juga tahu. Tapi, tunggu dulu Pak Kiai, yang akan kulakukan
bukan seperti
itu. Aku akan membicarakan dengannya masalah agama, saling
menjaga diri
dengan saling mengingatkan bila berbuat khilaf, pokoknya yang
Islami-lah
Pak," sahutku.
"Ooh,
begitu. Lalu apa bedanya dengan berteman? Kau kira kau tidak punya
kewajiban seperti
itu terhadap seorang teman? Kau kira kepada teman kau boleh
berlaku tak
Islami?"
"Coba aku
tanyakan kepadamu, apakah kekuatan perjanjian itu sehingga tak dapat
memisahkan
pemilikan satu dengan lainnya? Apakah kau mengatasnamakan Allah
dalam perjanjian
tadi? Mengapa tak sekalian nikah saja? Khan dengan nikah kau
bahkan lebih
leluasa lagi. Tak seorang laki-laki pun berhak memiliki seorang
wanita tanpa
melalui nikah. Bahkan ayahnya sendiri yang membesarkan dan
memberi makan
serta pendidikan kepadanya. Sampai-sampai si ayah pun tak
berhak memaksa
anak wanitanya menikahi pria yang bukan pilihan sang anak.
Itulah yang
Islami!"" ucap Pak Kiai dengan cepat bagai rentetan peluru.
"Lalu apa
yang sudah kau berikan padanya sampai-sampai kau ingin memilikinya?
Lebih baik kau
tunjukkan rasa cintamu dengan tanggung jawab sebagai seorang
sahabat yang
Islami. Biarkan cinta bersemi dalam hatimu karena itu anugerah
Allah yang harus
kau syukuri, bukan ingkari. Cinta itu amanat Allah, maka
jangan kau
khianati. Pacaran yang kau maksud sebenarnya hanya kata tanpa
makna yang akan
menjerumuskan orang pada penghalalan zina dalam dirinya. Kau
mungkin sakit
hati mendengar perkataanku ini, tapi apa artinya menyenangkan
hatimu kalau yang
kusampaikan itu akan menjerumuskanmu dan membuatmu
menyesal
kelak."
Aku terdiam tak
tahu harus berkata apa. Kurasakan lidahku kelu untuk
mengucapkan
sesuatu.
"Sudahlah,
kalau kau ingin pacaran juga, silakan saja, aku tak berhak memaksa.
Aku hanya ingin
kau berpikiran dewasa dan tidak menghabiskan waktumu untuk
sesuatu yang kau
sendiri tak tahu manfaatnya."
*---*
*Muhammad revi*
"Mintalah
fatwa pada hatimu. Kebaikan adalah yang membuat hatimu
tenang, sedangkan
keburukan adalah yang membuat hatimu gelisah."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar